Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Jokowi, SBY, dan Infrastruktur

Kompas.com - 22/03/2016, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Mengapa Jokowi bisa meningkatkan anggaran infrastruktur secara signifikan? Bukankah kondisi penerimaan negara, terutama dari pajak tidak berubah?

Ternyata Jokowi mengambil langkah yang amat berani namun penuh perhitungan. Jokowi memangkas dan kemudian mencabut subsidi premium.

Langkah Jokowi tersebut makin mempermalukan SBY karena ternyata Jokowi mudah saja mengalihkan anggaran subsidi BBM untuk dijadikan anggaran infrastruktur.

Penghapusan subsidi premium yang dilakukan Jokowi hampir tanpa gejolak. Bandingkan dengan masa SBY, yang penuh demo berdarah saat harga BBM dinaikkan pemerintah.

Jadi jelas, sejak awal pemerintahannya, Jokowi ingin menonjolkan pembangunan infrastruktur, sebagai pembeda dengan pemerintahan SBY sekaligus ikon utama dalam pemerintahannya. Jokowi tentu ingin dikenang sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia.

Sebaliknya, bagi SBY, program infrastruktur Jokowi seperti menenggelamkan segala prestasinya. Dengan langkah Jokowi memberikan anggaran yang besar untuk infrastruktur, masyarakat tentu berpikir mengapa SBY tidak melakukannya sejak dulu?  Padahal infrastruktur amat dibutuhkan untuk mendorong pembangunan sekaligus memberantas kemiskinan dan pengangguran di negeri ini.

Kesimpulannya, persoalan infrastruktur sudah menjadi bibit polemik antara Jokowi dan SBY sejak akhir 2014.

Meleset dari Target 

Waktu kemudian berlalu dan Jokowi berhasil melewati tahun pertamanya, tahun 2015.

Ternyata, program ekonomi Jokowi tidak semulus yang diperkirakan.

Melemahnya perekonomian global yang kemudian berimbas pada Indonesia, penurunan daya beli masyarakat serta kejatuhan harga komoditas membuat perekonomian Indonesia terpuruk.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 hanya 4,71 persen, turun dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 5 persen dan 2013 yang sebesar 5,2 persen.

Rencana pembangunan infrastruktur yang dicanangkan Jokowi pun meleset.

Sebab, dana yang tersedia tidak mencukupi untuk membangun infrastruktur sesuai target.

Dari target penerimaan pajak  sebesar Rp 1.489,3 yang tercantum dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2015, ternyata realisasinya hanya Rp 1.235,8 triliun, atau meleset Rp 253,5 triliun.

Seiring jatuhnya harga migas dan komoditas tambang, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun jatuh dari Rp 390,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 252,4 triliun.

Artinya, meskipun anggaran subsidi menurun, pemerintahan Jokowi hampir tidak mendapatkan manfaat dari kondisi tersebut.

Sebab, sumber dana yang dulu dipakai untuk subsidi dan sekarang dialihkan ke infrastruktur, yakni dari pajak dan PNBP juga anjlok dan tidak bisa diharapkan.

Maka, di tahun pertamanya, tahun 2015, Jokowi bisa dibilang gagal merealisasikan pembangunan infrastruktur sesuai target.

Namun, Jokowi tidak menyerah mengingat infrastruktur merupakan pertaruhan dirinya.

Alih-alih diturunkan mengingat kondisi ekonomi yang tengah lesu, anggaran infrastruktur pada 2016 justru dinaikkan secara lebih ambisius.

Pada APBN 2016, anggaran infrastruktur ditargetkan sebesar Rp 313,5 triliun. Anggaran tersebut tersebar dalam pos belanja kementerian pemerintah pusat, transfer ke daerah, dan pos pembiayaan.

Tak hanya menganggarkan dana besar-besaran, keseriusan Jokowi dalam membangun infrastruktur juga ditunjukkan dengan pengadaan lelang secara dini. Harapannya, pembangunan infrastruktur sudah bisa dimulai pada awal tahun.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com