Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/06/2016, 15:40 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com – Bolehkah pekerja berat membatalkan puasanya pada bulan Ramadhan? Pertanyaan tersebut merupakan salah satu topik yang paling mengemuka setiap kali Bulan Suci tiba, apalagi di Indonesia tidak berlaku kebijakan libur kerja karena berpuasa.

Pertanyaan yang sama sudah muncul jauh-jauh hari, bahkan sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup. Para ulama pun terus membahas dan berhadapan dengan pertanyaan ini. Karenanya, sejumlah dalil dan fatwa ulama pun banyak bertebaran dari masa ke masa.

Tapi, dari semua pertanyaan dan dialektika terkait topik ini, jawaban boleh atau tidaknya membatalkan puasa Ramadhan bagi para pekerja berat kembali kepada definisi dan kondisi pekerjaan itu. Sejumlah alternatif solusi pun ditawarkan.

Merujuk sejumlah kitab para ulama, di antara persyaratan yang membolehkan pekerja berat membatalkan puasa Ramadhan adalah, bila pekerjaan itu ditinggalkan, maka yang bersangkutan akan kehilangan penghidupan. Selain itu, pekerjaan tersebut juga bisa mengakibatkan kematian bila dilakukan sembari berpuasa.

Adapun di antara solusi yang ditawarkan para ulama antara lain adalah mencari alternatif bertukar pekerjaan yang bisa dikerjakan pada malam hari, bekerja yang memungkinkan giliran pada malam hari, mengambil cuti selama Ramadhan sekalipun tidak digaji, atau bila memang ada pilihan lain dianjurkan untuk berganti pekerjaan.

Ketika semua alternatif untuk memudahkan puasa tidak memungkinkan, sementara pekerjaan berat yang digeluti sangat penting bagi dirinya atau orang lain, Nabi Muhammad SAW dan para ulama punya pendapat sama, yaitu boleh membatalkan puasa.

Dalam salah satu riwayat, Nabi Muhammad SAW bahkan menyebutkan para pekerja berat yang membatalkan puasanya pada siang hari tetap mendapatkan pahala, selama persyaratan untuk itu sudah terpenuhi.

Kitab Fathul Mu'in, misalnya, menyebutkan para pekerja berat diperbolehkan berbuka lebih awal pada siang hari saat berpuasa ketika dikhawatirkan puasanya menjadikan bahaya bagi dirinya. 

Namun, seperti dikutip dari I’anah At-thalibin, Syaikh Al-Adzra’i berfatwa bahwa para pekerja berat ini tetap wajib berniat puasa dan hanya boleh membatalkan puasanya pada tengah hari ketika benar-benar sudah kepayahan.

Satu hal yang perlu digarisbawahi pula, keringanan yang diberikan kepada para pekerja berat untuk mempercepat buka puasa pada siang hari ini bukan tanpa catatan lanjutan.

Merujuk kitab yang sama, misalnya, para pekerja ini tetap harus mengganti puasa yang batal tersebut pada hari lain, seperti halnya ketentuan bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan jauh (safar) dan terpaksa membatalkan puasa.

Lihat sisi terang

Topik ini pun terasa sangat relevan bagi mereka yang "hidup" di ladang minyak dan gas di lepas pantai. Sudah diterpa haus dan dahaga, selama berhari-hari harus berpisah jauh dengan keluarga, mereka juga tetap harus fokus pada pekerjaan yang risikonya tak ringan pula.

Thinkstock/curraheeshutter Ilustrasi

"Ini risiko pekerjaan yang saya ambil," ujar Irfan Firmansyah, salah satu pekerja di anjungan Uniform, ketika disinggung soal ibadah puasa di lepas pantai ini, beberapa waktu lalu.

Anjungan tempat Irfan bekerja selama delapan tahun terakhir itu berlokasi di perairan Laut Jawa, di utara Subang, Jawa Barat. Untuk mencapai tempat itu dibutuhkan waktu empat jam perjalanan laut dari pelabuhan terdekat.

Di sana para pekerja bertugas secara bergiliran dengan 12 hari di lokasi lepas pantai dan 12 hari berikutnya libur. Solidaritas teman-teman seprofesi menjadi salah satu cara mereka tetap tangguh di pekerjaan sembari menjalankan ibadah puasa.

"Lihat sisi terang dari semua peristiwa" pun menjadi ungkapan yang mendapatkan tempat di sini. Setidaknya bila merujuk pendapat Yosdevi Herman, pekerja di anjungan lepas pantai yang sudah sembilan tahun menjalani pekerjaannya itu.

Seiring waktu, kebersamaan menjalankan tantangan yang sama dengan teman-teman, misalnya, telah menghadirkan "keluarga kedua" bagi Yosdevi.

"Suasana sepi dan jauh dari hiruk pikuk Jakarta membuat ibadah jauh lebih khusyu," tuturnya.

Soal rindu dengan keluarga yang berjauhan, sekarang sudah lebih dimudahkan dengan kehadiran teknologi telepon genggam. Dulu, pekerja satu anjungan harus mengantre bergantian menggunakan satu telepon untuk itu.

Namun, ada aturan yang harus ditegakkan pula.

"Penggunaan telepon genggam hanya dibatasi di ruang aman di anjungan," kata Yosdevi.

Aktivitas di anjungan pun diakui tak berbeda antara hari-hari pada Ramadhan dengan bulan lain. Tak ada cerita bobot tanggung jawab pekerjaan dan risikonya menjadi berkurang di tengah lautan.

"Namun, saya selalu mengingatkan teman-teman untuk tidak memaksakan diri dan istirahat sejenak saat lelah untuk kembali menyegarkan diri dan fokus dalam bekerja," ujar Offshore Installation Manager (OIM) Jimmy Juliandhika yang bertugas memimpin pekerja di anjungan Uniform.

Salah satu yang juga diupayakan Jimmy adalah penukaran jadwal libur bagi para pekerja muslim di anjungannya pada hari raya. 

Mayoritas asing?

Betul, anjungan lepas pantai memang banyak mempekerjakan orang Indonesia yang juga mayoritas muslim. Anggapan bahwa ranah pekerjaan ini didominasi orang asing kebanyakan merupakan salah kaprah yang bermula dari kehadiran Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) penggarap proyek pemerintah. 


Thinkstock/James Hindermeier Ilustrasi pekerja berat

Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) bekerja berdasarkan kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). Menurut kontrak ini, pemilik proyek hulu migas adalah negara, sedangkan perusahaan—baik nasional maupun asing—bertindak sebagai kontraktor yang mengoperasikan proyek negara itu.

Karena proyek negara, semua program kerja Kontraktor KKS harus mendapat persetujuan dari pemerintah yang diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Persetujuan tersebut mencakup pula rencana penggunaan tenaga kerja, baik dari Indonesia maupun asing. Dari persetujuan itu akan keluar rekomendasi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Tenaga Kerja.

Dalam praktiknya, penggunaan tenaga kerja asal Indonesia merupakan prioritas berdasarkan prinsip efektivitas dan efisiensi. Penggunaan tenaga kerja asing dibatasi ketat, hanya diperbolehkan ketika belum ada tenaga kerja lokal yang bisa menangani pekerjaan terutama terkait peningkatan produksi migas nasional.

Itu pun, tenaga kerja asing harus memenuhi sejumlah persyaratan seperti masa kerja minimal 10 tahun di bidang yang sama. Dalam catatan SKK Migas, per 2015 tercatat ada 31.745 tenaga kerja asal Indonesia yang bekerja pada Kontraktor KKS, sementara pekerja asing hanya 1.024 orang.

Mengoptimalkan potensi minyak dan gas merupakan tantangan Indonesia ke depan, di tengah lonjakan konsumsi bahan bakar minyak sekaligus anjloknya harga minyak dunia. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berkecimpung di bidang ini pun menjadi konsekuensi yang harus dihadapi pada kondisi tersebut.

Ibarat kepala koki di dapur yang memastikan para tukang masaknya memiliki kecakapan memadai, SKK Migas pun melakukan sejumlah inisiatif untuk meningkatkan kapasitas para pekerja di sektor hulu migas, terutama mereka yang berasal dari Indonesia.

Tujuan dari sejumlah inisiatif itu adalah memastikan pekerja anak bangsa menguasai kompetensi kegiatan hulu migas yang padat modal, padat risiko, dan padat teknologi.

Inisiatif itu mulai dari kontribusi penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) hingga upaya mendorong Kontraktor KKS mengirimkan tenaga kerja dari Indonesia ke unit bisnis di luar negeri.

Sejumlah inisiatif tersebut membuahkan hasil HRD Excellence Award 2015 dari Organisasi Artdo International bagi SKK Migas. Ekonomi yang sedang tak memihak sektor migas disikapi SKK Migas dengan mendorong Kontraktor KKS mengedepankan upaya efisiensi selain pemecatan pegawai. 

Kalaupun semua upaya lain untuk efisiensi tak mencukupi sehingga pemecatan tak terhindarkan, pelaksanaannya diharapkan melalui mekanisme kesepakatan bersama. Jangan sampai, bukan puasa di lepas pantai yang menghilangkan penghidupan para pekerja berat ini melainkan keputusan yang terburu-buru dalam situasi ekonomi terkini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com