Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Kata Pengamat, Praktisi, dan Pengusaha soal Kemelut Daging Sapi

Kompas.com - 29/06/2016, 12:00 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Isu kekurangan pasokan dan masih tingginya harga daging sapi menjelang Lebaran hingga masalah swasembada sapi mendapat sorotan tajam dari Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB).

Dalam diskusi yang berlangsung di Sekertariat IA ITB Pusat Kebayoran Baru, Jakarta membahas mengenai beberapa hal.

Mulai dari inseminasi buatan dan pembibitan, kebijakan tarif sapi impor, perlunya mengembangkan integrasi peternak sapi, sampai potensi pengembangan teknologi gudang pendingin (cold strorage) oleh para alumni teknis mesin.

Ketua Umum IA ITB, Ridwan Djamaluddin mengatakan, diskusi tersebut merupakan respon IA ITB terhadap permasalahan daging sapi yang dilontarkan Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan IA ITB pekan lalu.

"IA-ITB seharusnya bisa memberikan sumbangan pemikiran untuk membantu pemerintah. Bahkan pemikiran bagaimana agar bisa mencapai swasembada sapi, khususnya dari aspek teknologinya," ujar Ridwan dalam laporan tertulisnya kepada Kompas.com, Rabu (29/6/2016).

Selain membahas persoalan jangka pendek seperti impor daging, diskusi yang digagas IA-ITB juga mendukung kebijakan pemerintah mengenai swasembada sapi yang diharapkan bisa dicapai dalam 10 tahun mendatang.

Chairman Advisory Board Sekolah Ilmu & Teknologi Hayati, ITB, Artissa Panjaitan mengatakan, untuk mencapai swasembada sapi, Indonesia perlu mengembangkan peternakan skala besar agar efisien dan bisa bersaing secara global.

Disamping itu, pemerintah perlu menjamin energi untuk pusat peternakan agar mereka bisa menghasilkan produk-produk olahan yang bernilai tambah tinggi dan siap masuk pasar swalayan.

"Kalau membawa sapi hidup dari peternakan ke pasar, itu tidak efisien, biayanya juga mahal dan peternak kita tidak bisa sejahtera," tambah Artissa.

Oleh karena itu, pemerintah harus menyediakan listrik di daerah produksi komoditi pertanian, peternakan, perikanan atau kehutanan.

"Listrik atau energi diperlukan untuk mempertahankan hingga meningkatkan nilai tambah produk komoditi agar jangkauan distribusi menjadi luas. Contoh, tanpa kemasan yang steril, distribusi susu hanya seluas kelurahan saja. Juga Thailand tidak akan ekspor durian ke Indonesia kalau tidak dibersihkan, dikeringkan, dikemas agar bebas hama," imbuhnya.

Sementara untuk peternakan sapi, skala usaha yang efisien adalah skala yang besar karena berguna untuk menyerap biaya teknologi pengolahan dan tenaga kerja dengan kualifikasi tinggi.

"Pemilik sapi individual bisa ikut serta dengan pemilik Abattoir sebagai pemasok, sekaligus mendapat pengalihan teknologi. Oleh karena itu penting untuk menetapkan zona produksi yang efisien. Dan saat ini, wilayah yang cocok untuk peternakan sapi ada di luar Jawa," tutur Artissa.

Peternakan Kecil

Sementara itu pengusaha ternak sapi, Sri Darmono Susilo, menuturkan, untuk swasembada sapi, pemerintah perlu mendorong peternakan terintegrasi skala kecil agar bisa diperoleh nilai tambah tinggi. Jika semua terintegrasi maka hal ini sangat efisien.

Misalnya kotoran sapi dapat dimanfaatkan i untuk berbagai keperluan di peternakan tersebut.

"Pengembangan integrasi peternak sapi harus didorong karena akan menciptakan efisiensi, mengingat sebagian besar peternakan sapi dimiliki oleh petani dengan jumlah kecil," ucap Sri Darmono.

Solusi Jangka Pendek Dalam diskusi ini, Fadzri Sentosa, Direktur Komersial Bulog yang juga alumni ITB tahun 1986 menyampaikan beberapa up date informasi mengenai upaya pemerintah mengejar target harga daging sapi di pasaran senilai Rp 80.000/kg.

Salah satu langkah yang segera dilakukan Bulog adalah menambah jumlah impor daging. Bahkan, kata Fadzri, dalam beberapa hari mendatang akan tiba daging kerbau yang diimpor dari India.

"Kebijakan membuka kran impor daging dari India itu dalam rangka mengatasi masalah daging sapi," ucap Fadzri.

Dia mengakui kebijakan tersebut bisa menimbulkan pro kontra di masyarakat karena India tidak bebas dari penyakit hewan, khususnya penyakit mulut dan kuku.

"Tahap pertama akan diimpor sekitar 1.000 ton daging kerbau dari rencana impor 10.000 ton daging dari India. Impor daging itu akan masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok beberapa hari lagi," kata Fadzri.

Diakui bahwa berulangnya masalah harga daging sapi setiap menjelang Lebaran, antara lain, disebabkan karena tak adanya data akurat yang terkait dengan produksi dan kebutuhan sapi, termasuk berapa daging yang harus diimpor.

Impor

Seharusnya perencanaan tersebut dipersiapkan secara matang, setidaknya enam bulan sebelum Lebaran. Sementara itu, Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (Nampa) Ishana Mahisa mengatakan, pemerintah seharusnya tidak membatasi impor daging dengan membebaskan kuota untuk sektor swasta.

Pengaturannya cukup lewat bea masuk. "Kalau pemerintah terlalu banyak ikut campur keadaannya malah makin tidak jelas seperti sekarang," ucap Ishana.

Dikatakan, saat ini produsen sosis, anggota Nampa, sedang kesulitan karena pasarnya direbut produsen sejenis dari negeri jiran, Malaysia.

"Impor sosis dari Malaysia membanjiri pasar kita. Impornya naik sekitar 50 persen. Kita kalah bersaing, karena mereka mengimpor daging murah dari India, sementara kita tak boleh mengimpor dari India," pungkasnya.

Kompas TV Harga Daging Gagal Turun
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com