Presiden Jokowi sejak awal memerintah selalu mengatakan, pengalihan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) Premium untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur memang menyakitkan.
Namun, Jokowi meyakinkan seluruh rakyat Indonesia, putusan ini akan berbuah manis dalam beberapa tahun ke depan.
“Awalnya memang sakit, tetapi ini harus dilakukan agar perekonomian kita bisa tumbuh lebih cepat ke depan,” begitu kerap kali dikatakan Presiden Jokowi.
Namun, dalam perkembangannya, ternyata bukan pencabutan subsidi Premium itu yang membuat sakit. Sebab, seiring anjloknya harga minyak di pasaran dunia, harga Premium di Indonesia juga turun drastis sehingga pada akhirnya tidak terlalu memengaruhi daya beli masyarakat.
Sumber “sakit” itu kini datang dari pos yang lain, yakni dari pemotongan dana anggaran pemerintah pusat dan transfer ke daerah, termasuk dana desa. Pemangkasan anggaran ini dipastikan bakal memengaruhi daya beli masyarakat.
Awalnya, strategi pemerintahan Jokowi adalah hanya menggunakan dana pengalihan subsidi Premium untuk membangun proyek infrastruktur secara ambisius.
Dari proyeksi pengalihan anggaran itulah, pemerintahan Jokowi menaikkan anggaran infrastruktur secara drastis mencapai Rp 291 triliun pada 2015 dan dinaikkan lagi menjadi Rp 313 triliun pada 2016.
Seiring dengan itu, berbagai proyek infrastruktur pun dicanangkan, mulai dari waduk hingga pembangkit listrik, mulai dari jalan tol hingga pelabuhan dan bandara.
Namun, gara-gara harga minyak anjlok, pendapatan negara dari minyak juga anjlok sehingga “dana pengalihan” itu tidak benar-benar ada wujudnya.
Proyek infrastruktur adalah pertaruhan Jokowi, pembeda Jokowi dengan presiden-presiden sebelumnya.
Apa pun yang terjadi, proyek infrastruktur yang telah dicanangkan sejak semula harus jalan terus dan tidak boleh dipangkas anggarannya.
Orang boleh bilang, soal pengelolaan keuangan negara, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak akan begitu saja membeo dengan apa yang diinginkan Jokowi. Dengan ketegasan dan kepercayadiriannya, Ani, begitu Sri Mulyani biasa dipanggil, dinilai akan berani berkata “tidak” kepada Presiden jika memang diyakininya, anggaran negara tidak lagi realistis dan kredibel.
Namun, faktanya, Sri Mulyani tidak sedikit pun memangkas anggaran infrastruktur meskipun sebenarnya tidak ada dana untuk membangun infrastruktur secara ambisius mengingat “dana pengalihan” itu memang tidak ada.
Untuk menyelamatkan anggaran infrastruktur, pemerintah justru memangkas pos-pos lain yang totalnya mencapai Rp 137,61 triliun.
Untuk pemangkasan anggaran pemerintah pusat, Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tentang langkah-langkah penghematan belanja kementerian/lembaga dalam rangka pelaksanaan APBN Perubahan tahun 2016.
Total belanja kementerian/lembaga yang dipangkas mencapai Rp 64,71 triliun. Anggaran Kementerian Pertanian misalnya dipangkas Rp 5,9 triliun, Kementerian Kesehatan dipangkas Rp 5,5 triliun, Kemendikbud sebesar Rp 3,9 triliun, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar Rp 3,06 triliun, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dipangkas Rp 2,08 triliun.
Adapun dana transfer ke daerah dan dana desa dipangkas sekitar Rp 72,9 triliun. Sumber pemangkasan antara lain penghematan alamiah sebesar Rp 36,8 triliun, penundaan penyaluran dana alokasi umum (DAU) sebesar Rp 19,4 triliun, dan dana bagi hasil sebesar Rp 16,7 triliun.
Pemangkasan menyasar pada sejumlah kegiatan yang dinilai kurang strategis, seperti honorarium, perjalanan dinas, paket meeting, langganan daya dan jasa, honorarium tim/kegiatan, biaya rapat, iklan, peralatan kantor, dan pembangunan gedung kantor.
Pilihan pemerintah untuk memprioritaskan proyek infrastruktur ketimbang kegiatan yang kurang strategis tentu saja bukanlah kesalahan.
Bagaimanapun, Indonesia memang sangat membutuhkan infrastuktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi negara maju.
Persoalannya, strategi ini akan semakin menyakitkan masyarakat, membuat rakyat terus mengetatkan ikat pinggang.
Pasalnya, buah dari pembangunan infrastruktur baru akan dinikmati dalam jangka menengah panjang, sementara anggaran-anggaran, seperti perjalanan dinas, paket meeting, biaya rapat, dan iklan merupakan belanja yang bisa langsung memengaruhi konsumsi dan daya beli masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2016 memang lebih baik, mencapai 5,18 persen secara tahunan atau year on year (YOY). Pada kuartal I 2016, pertumbuhan ekonomi YOY hanya 4,9 persen.
Pertumbuhan tesebut didorong oleh belanja pemerintah yang PDB-nya tumbuh 14 persen. Namun, karena banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur, belanja pemerintah tersebut tidak bisa mendongkrak daya beli masyarakat.
PDB konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2016 hanya tumbuh 7 persen, di bawah pertumbuhan normalnya yang 10–12 persen.
Padahal, kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi adalah meningkatkan konsumsi masyarakat. Sebab, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 55 persen.
Di sisi lain, seiring kondisi ekonomi global yang masih lemah, investasi dan ekspor belum bisa diharapkan untuk mendongkrak perekonomian.
Jatuhnya daya beli masyarakat juga tecermin dari rendahnya inflasi inti. Normalnya, inflasi inti Indonesia 4–5 persen secara tahunan. Namun, per Agustus 2016, inflasi inti hanya 3,32 persen, terendah selama era reformasi.
Pemangkasan anggaran belanja pemerintah sebesar Rp 137,61 triliun yang dilakukan saat ini tentu saja akan makin merontokkan daya beli masyarakat. Terlebih lagi, anggaran yang dipotong merupakan anggaran yang bisa secara instan memengaruhi daya beli masyarakat.
Bahkan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sampai membalas surat cinta, tetapi menyakitkan, yang dikirim Sri Mulyani melalui Kompas.com.
(Baca: Surat Cinta Ibu Menkeu yang Menggemparkan)
Dengan adanya pemotongan anggaran ini, sudah pasti target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen dalam APBN-P 2016 tak akan tercapai.
Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pertumbuhan ekonomi tahun 2016 hanya akan mencapai 5,1 persen.
Sementara itu, Bank Indonesia juga merevisi turun pertumbuhan ekonomi turun menjadi 4,9–5,3 persen. Ini merupakan revisi turun kedua yang dilakukan bank sentral.
Sebelumnya, BI merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi 2016 dari 5,2–5,6 persen menjadi 5–5,4 persen.
Bahkan, sebelum ada pemotongan anggaran sebesar Rp 137,6 triliun, Center of Reform on Economics (CORE) memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,9 hingga 5 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun berpotensi bakal lebih lambat karena pemangkasan anggaran kemungkinan masih akan berlanjut.
Pasalnya, dalam APBN-P 2016, target penerimaan pajak masih terlampau tinggi. Realisasi penerimaan pajak tahun 2015 hanya 8,15 persen dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2014.
Pada APBN-P 2016, target penerimaan pajak dipatok sebesar Rp 1.539,16 triliun. Dengan memangkas belanja sebesar Rp 137,6 triliun, berarti pemerintah telah memperhitungkan penerimaan pajak tahun 2016 diperkirakan turun menjadi sekitar Rp 1.402 triliun.
Dibandingkan realisasi tahun 2015, target pajak sebesar Rp 1.402 triliun meningkat sekitar 12,9 persen.
Pertumbuhan pajak sebesar 12,9 persen dinilai masih terlalu tinggi mengingat kondisi ekonomi tahun 2016 tidak jauh berbeda dengan tahun 2015.
Pemerintah sebenarnya punya peluang untuk mendapatkan tambahan penerimaan pajak dari kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty.
Sayangnya, tingkat keberhasilan kebijakan ini belum bisa diprediksi meskipun para pengusaha besar telah berkomitmen untuk mendeklarasi dan merepatriasikan dana sebesar Rp 1.000 triliun dengan uang tebusan sekitar Rp 60 triliun.
Terlebih lagi, kebijakan tax amnesty sempat dikritik masyarakat karena penerapannya yang tak bijak di lapangan dan juga cenderung menyasar masyarakat biasa.
Padahal, prioritas tax amnesty seharusnya ditujukan kepada para konglomerat dan WNI superkaya yang menyimpan dananya di luar negeri.
Kalau sudah begini, mari kita siap-siap kencangkan lagi ikat pinggang....