Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Susi, Reformasi, dan Restorasi

Kompas.com - 10/10/2016, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

KOMPAS.com - Wilayah perairan Indonesia, mulai dari laut teritorial hingga zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil kini tengah merestorasi dirinya sendiri.

Ikan-ikan pelagis besar macam tuna, cakalang, dan tongkol, juga pelagis kecil seperti ikan kembung dan ikan layang kini dapat berkembang biak dan berparade dengan leluasa di laut Aru, Laut Maluku, Laut Jawa, Samudera Hindia sebelah barat Sumatera, dan perairan lainnya.

Sebelum ini, hampir semua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia merupakan zona merah bagi ikan dan biota laut lainnya. Artinya, telah terjadi eksploitasi berlebihan (over-exploited) terhadap sumber daya di laut.

Over-exploited menyebabkan tangkapan nelayan terus berkurang dan jika dibiarkan, sumber daya ikan akan habis.

Kondisi over-exploited bukan disebabkan kapal-kapal lokal, melainkan akibat pencurian ikan oleh kapal-kapal asing dan penangkapan ikan tak bertanggungjawab oleh kapal-kapal eks asing.

Gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Satuan Tugas (Satgas) 115 dalam memerangi penangkapan ikan tidak sah, tidak dilaporkan, dan tidak tertib aturan (illegal, unreported, and unregulated/IUU fishing) dalam dua tahun terakhir telah mengurangi angka pencurian ikan oleh kapal asing secara drastis.

Kebijakan moratorium perizinan kapal eks asing dan deregistrasi seluruh kapal impor dalam rangka penerapan IUU fishing juga dimaksudkan untuk mengembalikan eksploitasi ikan ke tingkat yang wajar atau moderat sehingga stok ikan dapat terjaga secara berkelanjutan.

Sumber : KKP Tingkat eksploitasi sumber daya ikan

Kapal eks asing

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dari 600.000 kapal ikan yang beroperasi di perairan Indonesia, ada sekitar 1.602 kapal yang merupakan eks asing.

Kapal eks asing merupakan kapal yang awalnya dimiliki asing atau kapal yang diimpor dari negara lain yang kemudian benderanya diganti dengan bendera Indonesia sehingga menjadi kapal nasional.

Penggantian bendera tersebut terjadi pada tahun 2005, tatkala pemerintah mewajibkan semua kapal ikan harus berbendera Indonesia namun tetap membuka ijin impor kapal asing.

Dalam perjalanannya, kapal-kapal eks asing ini justru menjadi sumber permasalahan dalam pengelolaan perikanan di Nusantara.

Sebab, pemilik dan para operator kapal eks asing kerap melakukan pelanggaran, mulai dari menggunakan bendera ganda (double flagging) hingga terlibat tindak pidana perdagangan orang.

Mereka juga memalsukan dokumen, penyelundupan, dan terlibat tindak pidana pencucian uang. Kapal-kapal eks asing tentu saja kerap melakukan penangkapan ikan secara ilegal dengan tidak melaporkan hasil tangkapannya kepada pihak otoritas.

Mereka pun melakukan transhipment atau memindahkan ikan di tengah laut untuk diekspor tanpa sepengetahuan otoritas setempat

Berdasarkan audit yang dilakukan KKP terhadap kapal eks asing, ternyata 100 persen kapal eks asing terbukti melakukan pelanggaran.

Dari 1.132 kapal ikan eks asing yang telah diaudit, diketahui pemiliknya hanya sebanyak 187 perusahaan atau pemilik izin.

Kapal-kapal eks asing tersebut berasal dari China (374 kapal), Thailand (280 kapal), Taiwan (216 kapal), Jepang (104 kapal), dan Filipina (98 kapal).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pemerintah pun melakukan deregistrasi terhadap seluruh kapal impor dan mewajibkan pengadaan kapal ikan yang baru dibuat oleh galangan kapal domestik.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com