Angka unreported catch bisa diestimasi dengan cara membandingkan angka tangkapan yang dilaporkan dan data penggunaan ikan oleh masyarakat dan industri.
Produksi hasil tangkapan umumnya digunakan untuk tiga hal yakni konsumsi masyarakat, ekspor, dan sebagai bahan baku unit pengolahan ikan (UPI). Ternyata, data konsumsi, ekspor, dan bahan baku UPI jauh lebih besar ketimbang data produksi yang dilaporkan. Selisih antara kedua data itulah yang digolongkan sebagai unreported catch.
Jadi, sebelum ada kebijakan IUU fishing, dapat dibayangkan berapa banyak potensi penerimaan negara yang hilang dari pajak dan bukan pajak.
Inilah yang menjelaskan mengapa penerimaan pajak dari sub sektor perikanan tahun 2014 hanya Rp 158,4 miliar.
Padahal, berdasarkan data Ditjen Pajak, potensi pajak penghasilan dari Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Muara Baru Jakarta saja mencapai Rp 108,2 miliar atau 68,2 persen dari total realisasi penerimaan pajak negara dari sektor perikanan.
Ironisnya, PPS Nizam Zachman hanya satu dari 816 unit pelabuhan perikanan di Indonesia. Kesimpulannya, jika seluruh tangkapan ikan dilaporkan dan tercatat dengan baik, maka penerimaan pajak dari sektor perikanan akan meningkat drastis.
Pro dan kontra
Reformasi perikanan yang dilakukan Menteri Susi faktanya telah menempatkan pembangunan sektor perikanan ke level yang lebih tinggi secara nasional.
Perairan Indonesia tidak hanya terhindar dari bahaya over-fishing tetapi bahkan jumlah tangkapan lestari meningkat berkat restorasi alam.
Produksi perikanan secara nasional meningkat, ekspor ikan secara nasional naik, dan kesejahteraan nelayan secara aggregat juga semakin membaik.
Secara parsial, sejumlah kawasan perikanan yang selama ini bergantung pada kapal-kapal eks asing memang mengalami kejatuhan.
Kondisi tersebut terjadi antara lain di PPS Belawan, Nizam Zachman, Bungus, Bitung, Pelabuhan Ratu, Ambon, Karangantu, Pengambengan, Sungailiat, Tual, Brondong, dan Teluk Batang.
Namun PPS yang berbasis kapal domestik dan tradisional, meningkat produksinya. PPS-PPS itu antara lain Cilacap, Kendari, Kwandang, Pemangkat, Sibolga, Pekalongan, Prigi, Tanjungpandan, Ternate, dan Kejawanan.
Kejatuhan sejumlah kawasan perikanan memicu protes dari nelayan dan pelaku industri di kawasan bersangkutan.
Sejumlah asosiasi, paguyuban nelayan, dan pembudidaya ikan yang tergabung dalam Gerakan Nasional Masyarakat Perikanan Indonesia (Gernasmapi) mengancam mogok pada Senin (10 Oktober 2016) jika KKP tidak mencabut peraturan mengenai moratorium kapal eks-asing, larangan transhipment, larangan penggunaan alat tangkap cangkrang, dan kebijakan lain yang dikeluarkan selama era Menteri Susi.
Susi mengatakan, dirinya tidak memiliki kepentingan apapun dalam melakukan reformasi perikanan kecuali kepentingan bangsa dan negara.
“Kepentingan negara itu terdiri dari tiga pilar yakni kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Intinya, bagaimana kita berdaulat di laut, produktivitas perikanan lestari, dan sektor perikanan memberi manfaat ekonomi sebesar-besarnya untuk bangsa,” kata pemilik perusahaan penerbangan Susi Air itu.
Susi pun mengajak seluruh stakeholder perikanan di Nusantara untuk bergandengan tangan mewujudkan era baru pengelolaan perikanan yang transparan, tertib aturan, ramah lingkungan, dan menguntungkan semua pihak, mulai dari nelayan, pelaku industri, hingga pemerintah pusat dan daerah.