Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

Berbagi Frekuensi Menguras Energi

Kompas.com - 12/11/2016, 11:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Polemik mengenai revisi Peraturan Pemerintah (PP) no 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP No 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit berkepanjangan tak ada habisnya, dimulai sejak akhir 2015 hingga saat ini.

Menguras energi karena melibatkan terlalu banyak pihak sembari melebarkan masalah sampai ke soal nasionalisme, padahal industri dan bisnis yang efisien kerap tidak mengenal batas nasionalisme.

Margin industri telekomunikasi mulai menipis tetapi masih tetap menggiurkan (lucrative), menyangkut perputaran dana lebih dari Rp 160 triliun tahun ini yang melibatkan ratusan ribu pemain mulai dari tujuh operator sampai ke pengecer yang “berkantor” di ponsel.

Industri yang membuat neraca perdagangan kita defisit sekitar 5 miliar dollar AS per tahun itu dinikmati oleh 170 juta pelanggan lewat 362 juta nomor ponsel.

Beda dengan dua dekade lalu ketika teknologi telekomunikasi nirkabel digital bangkit dan pemilik lisensi operator seolah memiliki tambang emas, sejak lima tahun pertama milenium ini industri telko mulai mengais uang recehan dari pasar.

Perkembangan teknologi telekomunikasi yang harganya relatif makin murah tidak membuat tambang emas makin berkibar, justru industri makin ketat yang dipicu oleh perang tarif sejak 2006, sempat mereda lalu muncul lagi dua bulan terakhir.

Tak ada lagi gebyar gemerlapan yang dipamerkan operator karena semua mengencangkan ikat pinggang. Menurut hitung-hitungan kasar, siapa yang bisa hidup dengan menawarkan tarif Rp 1 per detik (Indosat) atau Rp 59/menit (XL Axiata), jika biaya interkoneksi – keterhubungan antaroperator – saja sudah Rp 204/menit?

Secara kasat mata, operator yang hidup "normal" hanya Telkomsel, yang tahun lalu pendapatannya sekitar Rp 70 triliun dengan laba sekitar Rp 19 triliun. Indosat dan XL Axiata masih berkutat pada bagaimana menekan kerugian dan kalaupun meraih laba, tidak lebih dari Rp 500 miliar, dengan pendapatan sekitaran Rp 20 triliun.

Telkomsel mampu melaju karena dengan 153,6 juta pelanggan, cakupan layanannya bahkan sampai perbatasan, daerah terpencil dan di di dalam kapal penumpang di tengah laut. Indosat (80 juta pelanggan) dan XL Axiata (42 juta), juga PT Telkom (layanan telepon kabel), Hutchison Tri Indonesia (Tri – 48 juta), dan Smartfren (15 juta) serta Sampurna Telecom (200 ribu) lebih berkutat di perkotaan, itu pun utamanya di Pulau Jawa.

Diangkut heli

Tak ada jalan lain, industri harus efisien. Pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informatika) pun ingin mengatur lewat penggunaan prasarana bersama (infrastructure sharing), baik menara BTS dan radio maupun frekuensi. Sharing menara sudah lama dilakukan, tinggal pola MOCN (mobile operator core network – sharing frekuensi) yang diatur lewat revisi PP tadi.

Intinya mulia, berbagi prasarana berupa BTS dapat menghemat biaya modal (capex/capital expenditure) sampai separuhnya. Ini menekan defisit neraca pembayaran dari pembelian BTS yang semula sekitaran 1,8 miliar dollar, ditambah kewajiban manufaktur ponsel membangun pabrik di Indonesia dengan 30 persen produksi berbahan lokal, perangkat keras atau perangkat lunak.

Juni lalu, Menkominfo Rudiantara menjamin bahwa PP mengatur sharing tidak wajib, namun ketika draft PP sudah sampai di Kementerian Koordinator Perekonomian, sharing aktif itu menjadi wajib, utamanya untuk jaringan tulang punggung (back bone). Kebijakan ini memicu polemik yang cukup melelahkan pelaku industri, dengan penolakan dari operator dominan melawan harapan efisiensi operator lain.

Kelompok PT Telkom (Telkomsel) sebagai operator yang jaringannya paling merata melalui 110.512 BTS merasa hanya akan jadi obyek berbagi frekuensi untuk operator yang "enggan" membangun. Indosat menggelar 52.336 BTS dan XL 59.040 BTS, kebanyakan di perkotaan.

Sementara membangun BTS di ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, Papua, semua peralatan menara, radio sampai yang sekecil-kecilnya harus diangkut lewat helikopter. Effort yang demikian ini yang tidak dilakukan operator lain karena biaya tinggi dan prospek bisnisnya tidak menjanjikan. Meskipun kenyataannya trafik nirkabel di pedalaman cukup tinggi dengan hasil yang lumayan sebab rata-rata di daerah pinggiran tarif Telkomsel lebih mahal dibanding di Jawa.

Jika PP revisi sudah diundangkan, berarti operator lain tinggal menyewa beberapa megahertz frekuensi tanpa harus membangun jaringan BTS untuk bisa beroperasi. Telkomsel merasa cara ini akan menggerogoti pendapatan mereka, padahal anak perusahaan PT Telkom itu jadi andalan untuk mengisi kocek negara, tidak hanya dari dividen tetapi juga berbagai pajak, yang jumlah keseluruhan bisa mencapai sekitar Rp 30 triliun.

Tidak relevan

Dari sisi pemerintah, sharing prasarana back bone wajib, terutama jika di satu kawasan hanya ada satu jaringan tulang punggung serat optik, wajib disewakan jika ada operator yang minta.

Bagi operator yang akan meluaskan jaringan ke Papua, menyewa jaringan lebih efisien dibanding membangun sendiri dan harus ada hitungan investasi dan insentif jika operator lain akan menyewa jaringan tadi.

Hal sama akan terjadi di perkotaan padat ketika kapasitas jaringan Telkomsel berada di zona merah, sementara kapasitas operator lain masih tersisa. Pelanggan XL kurang dari sepertiga pelanggan Telkomsel namun keduanya memiliki lebar spektrum frekuensi yang sama, 52,5 MHz di rentang 900 MHz, 1800 MHz dan 2100 MHz.

Pendapatan operator yang menyewakan berpotensi tergerus karena operator penyewa mungkin lebih agresif agar meraup pelanggan lebih banyak dan pendapatan lebih besar. Namun memanfaatkan frekuensi yang mubazir selain boleh menetapkan sewa yang cukup tinggi menutup kemungkinan itu.

Isu "recehan" yang ditiupkan berbagai pihak soal tergerusnya pendapatan operator yang Indonesia asli sementara penyewa yang menggerogoti adalah operator milik asing, tidaklah relevan.

Memang 85 persen saham PT Indosat milik operator Ooredoo Qatar dan 65 persen saham XL Axiata milik kelompok Axiata, Malaysia, Tri milik Hutchison Hongkong, dan 35 persen saham Telkomsel pun milik SingTel Singapura.

Keniscayaan untuk berbagi prasarana tinggal menunggu waktu, karena lisensi modern mengatur ketat kewajiban operator penuhi janji membangun di seluruh kawasanTanah Air. Tinggal lagi sikap pemerintah – Menko Perekonomian – yang ditunggu, karena draft final revisi kedua PP ada di tangan mereka sudah lebih dari sebulan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com