Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Animo Masyarakat Indonesia Akan SUN Tak Setinggi Warga Jepang?

Kompas.com - 20/01/2017, 11:30 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Surat Utang Negara (SUN) merupakan salah satu instrumen investasi yang aman karena dijamin oleh pemerintah sehingga risiko gagal bayarnya kecil.

Bagi pemerintah, SUN merupakan salah satu sumber pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di beberapa negara maju seperti Jepang, masyarakatnya justru sangat senang berinvestasi di surat utang negara.

Selain jaminan aman, investasi di instrumen ini menjadi salah satu bentuk partisipasi konkret masyarakat dalam pembangunan.

Sayangnya, di Indonesia, animo masyarakat terhadap surat utang relatif kurang tinggi. Kenapa?

"SUN ini barang bagus yang kurang diapresiasi. Kenapa? Banyak masyarakat kita yang keliru dalam melihat utang," kata Direktur dan Kepala Ekonom Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, di Jakarta, Kamis (19/1/2017).

"Kalau diterbitkan statistik utang baru, mereka rewel, 'Ah, pemerintah ini kerjanya ngutang saja'," kata dia lagi.

Padahal, memang pemerintah memilih kebijakan pembiayaan defisit dalam APBN. Apabila tidak utang, kata Budi, maka rencana-rencana belanja tidak akan terealisasi.

Toh, Indonesia memiliki aturan dalam defisit APBN, yang menunjukkan batas aman, yakni tidak lebih dari tiga persen dari produk domestik bruto.

Lantas pertanyaannya, apakah utang tersebut digunakan untuk belanja produktif?

Budi menjelaskan, pemerintah dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Ani) melanjutkan reformasi fiskal baik dari sisi belanja maupun penerimaan.

Tiga tahun lalu -- sebelum Ani bergabung -- subsidi energi menembus Rp 350,3 triliun. Sementara belanja infrastruktur tercatat hanya sekitar Rp 177,9 triliun.

Sejak pemerintahan Joko Widodo, komitmen untuk belanja yang produktif dan berkualitas terus dikejar.

Subsidi energi turun menjadi Rp 77,3 triliun, di sisi lain belanja infrastruktur yang dapat menimbulkan banyak dampak turunan, seperti penyerapan tenaga kerja naik hingga Rp 387,3 triliun.

"Kalau pemerintah enggak utang, enggak belanja. Ekonomi bisa stag," ucap Budi.

Tentu saja banyak yang beranggapan, kalau tidak punya uang, tak usahlah belanja. Dalam hal ini Budi menyampaikan, percepatan pertumbuhan ekonomi harus dilakukan oleh pemerintah. Apa sebabnya?

Untuk menjadi negara maju pada 13 tahun yang akan datang, atau 2030, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2013 hingga 2030 harus di kisaran 10 persen.

Dengan rata-rata pertumbuhan ini, barulah Indonesia memiliki pendapatan per kapita sebesar 16.618 dollar AS.

Kalau rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam rentang waktu itu hanya mampu tumbuh enam persen, maka pendapatan per kapita baru menginjak 8.531 dollar AS, jauh dari persyaratan negara maju sebesar 12.000 dollar AS per kapita.

Budi mengatakan, bisa saja sebenarnya pemerintah menekan pembiayaan defisit atau utang, salah satunya dengan menggenjot penerimaan. "Bersediakah Anda dikenakan pajak lebih tinggi?" ujar Budi.

Sebagai jalan tengahnya, Budi menambahkan, daripada merutuki 'kerjaan utang pemerintah' atau keberatan jika dikenakan pajak ini-itu, lebih baik ikut berpartisipasi dalam mendanai pembangunan.

"Daripada ngomel, kenapa Anda tidak investasi? Kalau saya malah lebih suka opsi terakhir. Bagaimana memandang SUN ini sebagai sarana investasi," kata Budi.

"Daripada pajak tinggi, mending jadi investornya pemerintah. Lebih cuan, risiko gagal bayarnya kecil karena ini obligasi negara. Dan keuntungannya lebih tinggi daripada deposito," kata Budi.

Asal tahu saja, dalam 10 tahun terakhir, rata-rata bunga deposito hanya sekitar 4,6 persen. Sebagai perbandingan, dalam 10 tahun terakhir, rata-rata imbal hasil obligasi negara mencapai 12,2 persen, atau kinerjanya hampir tiga kali lipat bunga deposito.

Kompas TV Pemerintah Kembali Luncurkan Obligasi Ritel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com