JAKARTA, KOMPAS.com - Neraca perdagangan masih surplus 1,24 miliar dollar AS pada April 2017. Angka ini lebih besar dari surplus April 2016 yang hanya sebesar 667,2 juta dollar AS.
Namun Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Dzulfian Syafrian menuturkan ancaman defisit perdagangan masih nyata. Mengingat harga minyak yang terus merangkak naik secara perlahan.
"Jika harga minyak terus naik seperti ini, bukan tidak mungkin neraca perdagangan kita akan kembali defisit," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (16/5/2017).
Hari ini saja (16/5/2017), harga minyak kembali melonjak ke posisi tertinggi sejak beberapa pekan terakhir mencapai 52 dollar AS per barel.
Kenaikan ini menyusul kesepakatan baru Arab Saudi dan Rusia. Kedua negara ini sepakat memperpanjang pemangkasan produksi minyak mentah. Awalnya pemangkasan hanya sampai pertengahan 2017, namun diperpanjang hingga 2018.
Dzulfian menuturkan, jika defisit perdagangan kembali terjadi, maka stabilitas rupiah akan terganggu yakni mengalami pelemahan. Hal itu diyakini akan membuat membuat dunia bisnis diliputi ketidakpastian.
"Oleh karena itu, penguatan strategi perdagangan harus dilakukan pemerintah agar neraca perdagangan kita lebih sehat," kata dia.
Pada April lalu, penurunan nilai impor lebih disebabkan oleh rata-rata harga aggregat barang impor, baik migas maupun nonmigas dibandingkan bulan sebelumnya.
Artinya, tutur Dzulfian, surplus perdagangan masih terbantu oleh harga minyak yang masih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, kenaikan harga minyak harus menjadi perhatian pemerintah untuk menjaga surplus neraca dagang Indonesia.
(Baca: Harga Minyak Dunia Lanjutkan Penguatan)
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.