Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Saat Petugas Pajak Berburu di Kebun Binatang

Kompas.com - 23/05/2017, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia hanya sekitar 12 – 13  persen. Padahal, negara lain yang perekonomiannya serupa dengan Indonesia umumnya memiliki tax ratio sekitar 20 persen.

Artinya, masih banyak wajib pajak di Indonesia yang tidak membayar pajak dengan sebenarnya. Dengan kata lain, praktik penggelapan pajak dan penyembunyian aset masih marak di Indonesia.

Industri perbankan dan lembaga keuangan lainnya disinyalir telah dijadikan tempat untuk menyembunyikan dana dari kejaran pajak. Sejumlah fakta mengindikasikan hal tersebut, salah satunya dari pelaporan harta selama tax amnesty.

Selama tax amnesty, pelaporan harta dalam bentuk kas dan setara kas di dalam negeri mencapai Rp 1.284,9 triliun. Harta ini sebagian besar merupakan aset yang disimpan di perbankan dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro.

Ini berarti ada ribuan triliunan rupiah simpanan di perbankan yang tidak pernah dilaporkan ke otoritas pajak sebelum pemberlakuan tax amnesty. Dengan kata lain, dulunya aset-aset  tersebut sengaja disembunyikan, mungkin karena diperoleh dari transaksi ilegal atau semacamnya.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total simpanan di perbankan dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro per akhir Januari 2017 mencapai  Rp 4.836,76 triliun.

Artinya, sebelum penerapan tax amnesty, minimal 26 persen atau seperempat dari seluruh simpanan masyarakat Indonesia di perbankan merupakan harta yang disembunyikan atau ilegal.

Dikatakan minimal karena diketahui masih banyak wajib pajak yang tidak mengikuti tax amnesty atau tidak melaporkan hartanya yang disimpan di bank dengan jujur.

Fakta yang yang terungkap dari pelaksanaan tax amnesty tersebut juga sejalan dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selama ini, PPATK rutin menyampaikan laporan hasil analisis (LHA) dari transaksi-transaksi keuangan mencurigakan yang umumnya terjadi di sistem perbankan.

Dalam LHA tersebut, terdapat banyak transaksi keuangan yang tidak pernah dilaporkan atau dibayarkan pajaknya kepada negara. Dana atau transaksi tersebut umumnya tidak jelas asal usulnya dan diduga terkait dengan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan penggelapan pajak.

Pada tahun 2015 saja, PPATK menemukan transaksi senilai Rp 26 triliun di perbankan yang tidak pernah dilaporkan kepada otoritas pajak. PPATK mengestimasi ada ribuan triliun rupiah transaksi atau aset lainnya di perbankan yang belum ditarik pajaknya.

Dengan masih banyaknya dana ilegal yang disembunyikan di perbankan dan sistem keuangan, maka kini Ditjen Pajak ibarat akan berburu di kebun binatang. Tanpa bersusah payah, Ditjen Pajak akan menemukan banyak wajib pajak nakal.

Di sisi lain, dengan AEoI, pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan pajak dari WNI yang menyembunyikan hartanya di luar negeri. Sebab, disinyalir pula masih banyak harta WNI di luar negeri yang belum dilaporkan pasca-tax amnesty.

Selama penyelenggaran tax amnesty, harta WNI di luar negeri yang hanya dideklarasi sebesar Rp 1.032 triliun, sementara yang dideklarasi sekaligus direpatriasi senilai Rp 147 triliun. Jika ditotal, harta di luar negeri yang dilaporkan sebesar Rp 1.179 triliun.

Padahal, pemerintah pernah mengungkapkan, harta WNI yang disimpan di luar negeri mencapai 250 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.250 triliun (kurs Rp 13.000 per dollar AS). Sebagian besar harta tersebut belum dilaporkan kepada otoritas pajak.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com