Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Lorem Ipsum Kompas, Lord of Broken Heart, dan Kekuatan Netizen di Era Mobilisasi

Kompas.com - 29/07/2019, 05:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Harian Kompas menampilkan kesalahan karena muncul tulisan Lorem Ipsum di bagian kuping kanan halaman 1 pada 10 Juli 2019. Sesuatu yang awalnya tak disengaja, kemudian menjadi viral dan membuat netizen penasaran.

Banyak dari teman-teman saya yang membeli Kompas terbitan hari itu. Mereka yang sebagian besar sudah tak lagi membaca koran, pada hari itu mereka beli dan membaca Harian Kompas. Mereka rela melakukannya untuk melihat langsung momentum unik yang belum tentu terjadi lagi.

Alih-alih mendapatkan sorotan negatif, banyak pihak yang justru mengapresiasi Kompas setelah satu-dua netizen memaklumi munculnya tulisan Lorem Ipsum tersebut. Kesalahan adalah hal yang manusiawi.

“Mungkin editornya butuh liburan,” tulis seorang netizen mengomentari munculnya Lorem Ipsum tersebut.

Baca juga: Salah Cetak Lorem Ipsum di Harian Kompas, Begini Asal-usul Teksnya

Netizen lainnya mengatakan, “Ini edisi collectable.”

Foto-foto yang memuat tulisan Lorem Ipsum ramai bertebaran di media sosial maupun grup-grup WhatsApp, hingga menjadi hype. Bahkan sempat menjadi trending topic di salah satu platform medsos.

Manajemen Kompas pun pada akhirnya ikut “menunggangi arus” yang muncul di medsos, yakni dengan menebar diskon 30 persen untuk pembelian sejumlah produk. Dan, hal itu cukup efektif menjaring konsumen baru.

Lord of Broken Heart

Beranjak dari Lorem Ipsum Harian Kompas, publik belakangan sedang demam lagu-lagu Didi Kempot. Lagu-lagu berbahasa Jawa melankolis yang menggambarkan kesedihan karena patah hati dan segudang pengkhianatan lainnya.

Ya, penyanyi campursari asal Solo ini menjadi buruan para netizen. Ke manapun Didi Kempot pentas, anak-anak milenial selalu berjejal. Tak peduli hafal atau tidak dengan lirik yang dibawakan, mereka bergoyang. Tak lupa, merekam aksi panggung dan suasana pentas Lord of Broken Heart ini.

Mereka lantas mengunggahnya di status WhatsApp, Instagram story, Facebook, hingga Twitter. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari komunitas yang belakangan terus membesar: sad boys dan sad girls.

Baca: Didi Kempot, The Godfather of Broken Heart Asal Solo yang Ciptakan 800 Lagu

Sejak didirikan di Solo Jawa Tengah beberapa waktu lalu, komunitas sad boys dan sad girls penggemar Didi Kempot ini terus menyedot perhatian publik. Netizen yang menyatakan menjadi fans dari Lord of Broken Heart ini jumlahnya makin bertambah tiap hari.

Puncaknya adalah ketika seorang You Tubers, Gofar Hilman berkolaborasi dengan Didi Kempot. Dalam acara tersebut, Gofar menayangkan aksi panggung Lord of Broken Heart dari awal hingga akhir. Setelahnya, makin banyak orang termobilisasi, terutama para millenials yang mungkin sebelumnya tidak akrab dengan karya-karya si Bapak Patah Hati Nasional ini.

Pada pentas Didi Kempot yang ada di Jakarta baru-baru ini, terlihat pengunjung membeludak. Nama Didi Kempot pun semakin berkibar.

Di You Tube, lagu-lagu Didi Kempot semakin laris dan jumlah viewer-nya terus mengalami kenaikan belakangan ini.

Joyfull Traffic Management ala Pemkot Depok

Dari Didi Kempot, kita perlu sedikit menyinggung kabar yang muncul di Depok. Para netizen yang tinggal di selatan Jakarta ini, beberapa waktu belakangan ramai berkomentar terkait rencana Pemkot Depok yang menerapkan Joyfull Traffic Management. Caranya, yakni memutar lagu yang dinyanyikan Wali Kota M Idris di berbagai perempatan lampu merah lantas di kota ini.

Mendengar rencana itu, netizen bereaksi. Mereka berpendapat bahwa Pemkot Depok menempuh langkah yang ngawur.

Kota yang kini sedang menghadapi masalah kemacetan lalu lintas parah serta tata ruang yang amburadul, wali kotanya justru menggagas kebijakan yang jauh dari substansi masalah.

Baca: Wali Kota Depok: Kalau Warga Tak Senang Ada Lagu di Lampu Merah, Ya Kami Cabut...

Mereka yang menolak, sedikit-demi sedikit mulai bersuara. Alih-alih menyalurkan aspirasinya lewat DPRD, publik lebih senang menyampaikan pendapatnya lewat medsos.

Berbagai postingan dibuat oleh netizen. Mulai hanya dari sekedar status, hingga meme dibuat sebagai respons atas kebijakan tersebut.

Satu-dua postingan, lama-lama diikuti oleh postingan netizen lainnya hingga muncul mobilisasi opini di media sosial. Mobilisasi yang bergaung menjadi sebuah gerakan besar yang isinya menolak pemasangan lagu di setiap perempatan lampu merah.

Ramainya penolakan netizen kemudian membuat Pemkot Depot berpikir ulang untuk meneruskan kebijakannya itu.

Meninggalkan Marketing Konvensional

Inilah era ekonomi baru. Era di mana model bisnis secara signifikan berubah dari model sebelumnya. Yang membuat para pelaku bisnis kadang terkaget-kaget dan bahkan kebingungan melihat perubahan radikal yang ada.

Mengutip Rhenald Kasali, inilah era Mobilisasi dan Orkestrasi (MO).

Di ranah marketing, kita bisa melihat bagaimana aksi mobilisasi mulai menggantikan model marketing konvensional sebagaimana yang selama ini dilakukan.

Arus lalu lintas tersendat di Jalan Margonda, Depok, Kamis (11/4/2019).KOMPAS.com/CYNTHIA LOVA Arus lalu lintas tersendat di Jalan Margonda, Depok, Kamis (11/4/2019).

Jika sebelumnya konten komersial dibuat oleh korporasi maupun institusi lainnya dengan melibatkan agensi iklan dan didistribusikan lewat media konvensional, kini berganti dengan konten-konten yang dibuat oleh netizen sendiri dan didistribusikan lewat media sosial. Entah berupa review produk, meme, dan berbagai konten lain yang lebih punya proximity terhadap audience.

Berangkat dari satu-dua kali postingan yang menarik berikut tagarnya, kemudian disambar oleh netizen lain. Mereka menambahi komentar dan penilaian. Semakin lama obrolan semakin membesar dan akhirnya bisa menjadi viral dan mampu memobilisasi warnaget untuk melakukan tindakan tertentu.

Tulisan Lorem Ipsum yang berujung pada ramainya netizen membeli harian Kompas hari itu, serta riuhnya komunitas sad boys dan sad girls yang bermuara pada berkibarnya nama Didi Kempot di kalangan milenial adalah beberapa contoh bagaimana mobilisasi mampu membawa dampak positif bagi pihak tertentu. Dan itu dilakukan tanpa melalui metode marketing konvensional.

Di luar itu, ada pula mobilisasi yang memang dilakukan untuk merespons negatif atas sejumlah isu. Polanya juga sama, berawal dari konten yang dibuat oleh netizen sendiri yang kemudian menjadi viral hingga memunculkan kegeraman pada pihak tertentu. Penolakan atas rencana pemutaran lagu di lampu merah di Depok adalah contohnya.

Memang ada mobilisasi yang gagal, namun banyak punya yang berhasil. Dan semua itu terjadi karena kehadiran platform media sosial. Platform yang memungkinkan semua orang bisa membuat content sendiri, mengomentari, membagi konten yang didapat dengan menambahi sesuai selera (sharing shaping) dan sebagainya.

Medsos adalah salah satu platform yang belakangan berhasil merevolusi pola-pola bisnis lama. Dan yang paling jelas adalah mampu mengubah cara-cara marketing yang selama ini dilakukan oleh banyak perusahaan.

Butuh Persiapan

Begitulah. Zaman sudah berubah. Kebiasaan konsumen pun tak lagi seperti waktu-waktu sebelumnya. Hanya mereka yang mampu paham saja yang bisa bertahan menghadapi perubahan.

Hal ini tak hanya untuk koorporasi. Di dunia politik, keberadaan platform perlahan-lahan juga mulai menyisihkan peran para politisi. Jika beberapa waktu lalu publik selalu berharap pada legislator untuk menyampaikan semua aspirasinya, kini semuanya telah diwakili medsos.

Melalui medsos, semua aspirasi bisa disalurkan dan bahkan bisa mendorong mobilisasi opini yang berujung pada aksi konkret publik jika dikemas dengan cara yang tepat.

Bagaimanapun, saat ini semua telah masuk dalam era mobilisasi. Era yang membuat semuanya berubah dengan cepat: naik pamor secara tiba-tiba, maupun jatuh dalam waktu yang tak begitu lama.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com