Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wamen BUMN Buka-bukaan soal Kondisi Garuda Indonesia yang Terus Merugi

Kompas.com - 04/06/2021, 06:02 WIB
Yohana Artha Uly,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS - Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo buka-bukaan tentang kondisi keuangan terkini PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.

Beban biaya maskapai penerbangan pelat merah ini mencapai 150 juta dollar AS per bulan.

Namun, pendapatan yang dimiliki Garuda Indonesia hanya 50 juta dollar AS.

Baca juga: Menurut Erick Thohir, Ini Penyebab Keuangan Garuda Indonesia Terpuruk

Artinya, perusahaan merugi 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,43 triliun (kurs Rp 14.300 per dollar AS) setiap bulannya.

Oleh sebab itu, diperlukan penanganan segera untuk menyelamatkan Garuda Indonesia, salah satunya dengan restrukturisasi seluruh utang.

Lewat restukturisasi, diharapkan utang perseroan bisa turun dan kinerja keuangan bisa membaik.

"Setiap bulan itu rugi 100 juta dollar AS, memang tidak mungkin kita lanjutkan dalam kondisi yang sekarang. Ini yang kami harapkan (dukungan) dari Komisi VI, kalau masuk proses restrukturisasi berat dan melalui proses legal yang cukup kompleks," ujar pria yang akrab disapa Tiko itu dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (6/3/2021).

Tiko mengungkapkan, saat ini utang Garuda Indonesia mencapai Rp 70 triliun atau sekitar 4,5 miliar dollar.

Baca juga: Hadapi Situasi Sulit, Dirut Garuda Indonesia: Kami Fokus Pemulihan Kinerja

Jumlah utang itu pun harus dipangkas setidaknya menjadi 1-1,5 miliar dollar AS melalui resturkturisasi yang sifatnya fundamental.

“Secara sederhana, kalau EBITDA tidak sampai 200-250 juta dollar AS, itu secara kondisi keuangan yang normal maksimum rasionya 6 kali. Jadi sekitar 250 juta dollar AS dikali 6, maka 1,5 miliar dollar. Di atas itu Garuda enggak bisa going concern karena enggak akan mampu bayar utang-utangnya,” jelas dia.

Tiko mengatakan, saat ini Kementerian BUMN terus berkoordinasi dengan manajemen Garuda Indonesia, termasuk Kementerian Keuangan dan pemegang saham minoritas, dalam upaya memproses resturukturisasi maskapai pelat merah ini.

Dia menuturkan, restrukturisasi utang ini memerlukan negosiasi dengan sejumlah pihak dan proses hukum yang kompleks. Lantaran melibatkan 36 lessor atau perusahaan penyewa pesawat dan pemegang global sukuk bond yang merupakan pihak asing.

"Sehingga kalau kita negosiasi internasional, mau enggak mau harus melalui proses legal internasional karena mayoritas utang Garuda kepada lessor dan pemegang sukuk internasional," kata dia.

Baca juga: Akankah Nasib Garuda Indonesia Sama seperti Merpati Airlines?

Restrukturisasi tersebut, lanjut Tiko, memang memiliki risiko yang harus dihadapi yakni jika tidak mencapai kesepakatan dengan para kreditur, maka Garuda Indonesia terancam mengalami kebangkrutan.

“Memang ada risiko apabila dalam restrukturisasi ada kreditur tidak menyetujui atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda. Bahkan bisa terjadi tidak mencapai kuorum dan akhirnya bisa akan menuju kebangkrutan. Ini yang kami hindari sebisa mungkin dalam proses legalnya,” jelas dia.

Oleh sebab itu, saat ini pihaknya tengah dalam proses penunjukan konsultan hukum dan keuangan untuk memulai proses restrukturisasi.

Sebab, Garuda Indonesia memang membutuhkan moratorium atau penundaan pembayaran utang dalam waktu dekat.

Langkah moratorium harus diambil karena kas keuangan maskapai pelat merah ini akan segera habis dalam waktu dekat jika harus terus membayarkan tagihan seperti biasanya.

Baca juga: Garuda Indonesia dan Sengkarut Problematika di Dalamnya

"Memang harus segera untuk mulai melakukan moratorium atau stand still dalam waktu dekat. Karena tanpa moratorium, maka kasnya akan habis dalam waktu yang sangat pendek sekali," ungkap Tiko.

Ia menambahkan, masalah keuangan Garuda Indonesia ini sudah terjadi sejak lama yang disebabkan oleh berbagai faktor.

Utamanya, karena terlalu tingginya beban biaya penyewaan pesawat dari lessor yang melebihi biaya wajar.

Kemudian, jenis pesawat yang digunakan terlalu banyak yaitu mulai dari Boeing 737-777, A320, A330, ATR, hingga Bombardier sehingga efisiensi menjadi bermasalah.

Serta, faktor banyaknya rute penerbangan Garuda Indonesia yang justru tidak menguntungkan.

Baca juga: Rachmat Gobel Harap Likuidasi Jadi Opsi Terakhir Selamatkan Garuda Indonesia

"Seperti penerbangan di dalam negeri sebelum Covid-19, itu pada tahun 2019 untung tapi yang luar negeri malah rugi," kata Tiko.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com