Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sutawi
Dosen

Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Harga Beras Mahal

Kompas.com - 19/01/2023, 10:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Survei BPS juga menyebutkan sebanyak 57,97 persen petani hanya memiliki lahan di bawah 0,1 hektare dan 29,47 persen petani memiliki 0,1 sampai 0,49 hektare.

Ini berarti sebanyak 87,44 persen petani padi Indonesia hanya berpenghasilan antara Rp 123.000 sampai Rp 615.000 per bulan.

Penghasilan tersebut jauh di bawah UMP Jawa Timur tahun 2022 sebesar Rp 1,89 juta per bulan dan garis kemiskinan sebesar Rp 2.187.756 per rumah tangga miskin per bulan.

Rendahnya pendapatan mengakibatkan petani tidak mampu mengimbangi kebutuhan sosial ekonomi rumah tangga yang terus meningkat, sehingga terjerumus dalam perangkap kemiskinan (poverty trap).

Perangkap kemiskinan merupakan sistem ekonomi yang sangat menyulitkan masyarakat petani keluar dari lingkaran kemiskinan karena rendahnya pendapatan.

BPS (2021) mencatat jumlah rumah tangga miskin di Indonesia sebagian besar (46,30 persen) berpenghasilan utama berasal dari sektor pertanian.

Harga beras harus murah

Bagi pemerintah dan penduduk Indonesia, harga beras memang harus murah. Pertama, beras merupakan bahan pangan paling pokok bagi penduduk Indonesia.

Saat ini konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 97,36 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut menjadikan Indonesia negara konsumen beras terbanyak di dunia, jauh di atas rata-rata konsumsi beras dunia sebesar 60 kg, dan negara tetangga Malaysia 80 kg, Thailand 70 kg, serta Jepang 58 kg/orang/tahun.

Jika konsumsi beras tersebut dibagi harian, maka orang Indonesia mengonsumsi beras 267 g/orang/hari atau 89 g sekali makan.

Dengan jumlah penduduk 275 juta jiwa, maka setiap tahun harus tersedia beras sebanyak 26,774 juta ton untuk konsumsi rumah tangga di Indonesia.

Jika ditambah konsumsi di luar rumah tangga sebesar 17,24 kg/kapita/tahun, maka kebutuhan beras Indonesia mencapai 31,515 juta ton/tahun.

Kedua, sekitar 50 persen pengeluaran penduduk Indonesia digunakan untuk konsumsi pangan, di mana sebagian besar di antaranya untuk konsumsi beras.

BPS (2021) mencatat pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp 603.236, di mana sebanyak Rp 66.789 (11,07 persen) digunakan untuk membeli beras.

Atas dasar dua alasan tersebut, pemerintah Indonesia berusaha sekuat tenaga menjadikan harga beras selalu murah dan terjangkau oleh masyarakat, baik dengan mendorong peningkatan produksi, intervensi harga, maupun mengimpor beras.

Kenaikan harga beras dan pangan pada umumnya, berdampak menurunkan kesejahteran masyarakat. Pertama, meningkatkan angka kemiskinan penduduk.

Hasil kajian Faharudin (2020) menyebutkan kenaikan harga 5 persen menyebabkan peningkatan persentase penduduk miskin berturut-turut sebesar 0,124 poin (beras), 0,111 poin (ikan segar), 0,050 poin (sayuran), 0,042 poin (buah-buahan), dan 0,289 poin (pangan lainnya).

Kenaikan harga pangan 15 persen menyebabkan meningkatnya persentase penduduk miskin masing-masing sebesar 0,581 poin (beras), 0,386 poin (ikan segar), 0,124 poin (sayuran), 0,124 (buah-buahan), dan 2,095 poin (pangan lainnya).

Kedua, permintaan (konsumsi) pangan menurun karena daya beli menurun. Elastisitas harga merupakan cara mudah untuk mengukur pengaruh perubahan harga terhadap permintaan pangan.

Elastisitas harga pada kelompok komoditas padi/umbi-umbian, sayur/buah-buahan, minyak/kacang-kacangan dan pangan lainnya bersifat inelastis (bernilai kurang dari 1).

Berarti jika terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen, maka rumah tangga akan merespons dengan menurunkan permintaan kurang dari 1 persen (Mayasari dkk, 2018).

Pada kelompok komoditas ikan/daging/telur/susu dan kacang-kacangan/minyak bersifat elastis, masing-masing memiliki nilai 1,1023 dan 1,0943.

Artinya, jika terjadi kenaikan harga sebesar 1 persen, maka rumah tangga akan merespons dengan menurunkan permintaan lebih dari 1 persen.

Dengan demikian, kenaikan harga pangan juga mengakibatkan penduduk miskin terjerumus ke dalam kelompok rawan pangan karena menurunnya konsumsi pangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com