Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Hilal Ekonomi Lebaran

Kompas.com - 17/04/2023, 07:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LEBARAN bak berkah musiman bagi ekonomi Indonesia. Setahun sekali, Lebaran menjadi bahan bakar penggenjot mesin pertumbuhan ekonomi (engine of growth).

Periode Ramadhan dan Lebaran, konsumsi masyarakat meningkat. Dari sisi PDB keluaran, konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari 50 persen.

Lebaran tak sekadar “puncak kemenangan” bagi yang berpuasa, karena manusia oleh Al-Qur’an dikatakan kembali ke fitrahnya. Digahar oleh tempaan spiritual selama sebulan penuh berpuasa.

Tumpahan kegembiraan—menuju kemenangan, disambut dengan baju baru, mudik, THR (tunjangan hari raya), ketupat dan opor ayam serta aneka kuliner lainnya.

Glorifikasi spiritual Idul Fitri dan semarak menyambutnya, menjadi asbab pertumbuhan konsumsi setiap periode Ramadhan dan Lebaran. Hal tersebut bisa dilihat dari data historis BPS (badan Pusat Statistik) selama 2018-2022.

Data BPS diambil pada kuartal ke dua, karena periode waktu ini lebih menggambarkan geliat ekonomi selama periode Ramadhan dan Lebaran yang rata-rata jatuh pada bulan April-Mei beberapa tahun belakangan. Dan tampak bahwa ekonomi dalam periode di maksud, menggeliat.

Secara data historis, hingga kuartal II 2022, pertumbuhan konsumsi RT tumbuh positif 5,51 persen (year on year/yoy) dengan kontribusi terhadap PDB 51,47 persen. Melampaui konsumsi RT pada pra Covid-19 sebesar 5,17 persen.

Karena porsi distribusinya yang besar terhadap PDB, maka ketika konsumsi RT mengalami kontraksi, berimbas pada kontraksi PDB, demikian pun sebaliknya.

Hal tersebut bisa dilihat pada data historis kuartal II 2020. Kala itu, konsumsi RT mengalami kontraksi -5,51 persen. Dalam periode waktu yang sama, kinerja PDB mengalami kontraksi sebesar -5,32 persen.

Dari data-data historis tersebut, maka pendapat bahwa konsumsi RT menjadi tulang punggung (backbone) ekonomi nasional terjawab.

Efek berkah ekonomi dari periode Ramadhan dan Lebaran terlihat dari peredaran uang (money supply) dalam arti luas (uang M2).

Dari data BPS, rata-rata uang yang beredar pada periode Ramadhan dan Lebaran 2019-2022 adalah Rp 6.796,7 Triliun. Peredaran uang M2 yang meningkat selama periode Ramadhan dan Lebaran menandakan terjadinya transaksi ekonomi.

Peredaran uang M2 pada kuartal 2022 adalah yang tertinggi, sebesar Rp 7.854.1 Triliun. Hal ini merefleksikan tingginya aktivitas ekonomi dengan capaian kinerja PDB di kuartal 2022 yang mencapai 5,44 persen atau lebih tinggi dari periode yang sama pada prapandemi Covid-19.

Pertumbuhan PDB yang kembali terpacu pada kuartal II 2021 dan 2022, tak luput dari geliat konsumsi RT yang mulai bergairah setelah ditopang berbagai program social safety net dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Demikian pun direlaksasikannya mobilitas masyarakat. Oleh sebab itu, kunci dari penyelamatan ekonomi nasional adalah menjaga daya beli masyarakat (purchasing power) melalui inflasi yang terkendali agar konsumsi RT tetap menyokong mesin ekonomi.

Yang patut diapresiasi selama periode Ramadhan 2019-2022 adalah kemampuan otoritas moneter menjaga inflasi persisten di bawah pertumbuhan ekonomi.

Artinya, jumlah uang yang beredar, sejalan dengan permintaan barang dan jasa. Pada periode Ramadhan 2019-2022, rata-rata pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen, sementara inflasinya 3 persen.

Hilal ekonomi 2023

Setiap periode Ramadhan likuiditas di masyarakat selalu meningkat seiring meningkatnya konsumsi dan transaksi ekonomi. Hal tersebut terlihat dari peredaran uang M2.

BI mentaksasi selama periode Ramadhan dan Lebaran 2023, uang M2 yang beredar mencapai Rp 8.573 triliun. Artinya, terjadi peningkatan peredaran uang dari periode Ramadhan tahun lalu sebesar Rp 243 triliun.

Tumbuhnya likuiditas di masyarakat, menggambarkan meningkatnya aktivitas transaksi ekonomi. Hal ini dipicu oleh normalisasi ekonomi yang ditandai dengan menggeliatnya dunia usaha pascapembatasan mobilitas masyarakat melalui PPKM berakhir.

Indeks manufaktur atau PMI (Prompt Manufacturing Index) yang selalu bergerak di atas 50 poin selama 2019-2022, menggambarkan terjadi ekspansi output.

Kecenderungan meningkatnya aktivitas ekonomi selama periode Ramadhan juga dapat dilihat dari ekspektasi harga umum terhadap barang dan jasa yang terekam melalui Indeks Ekspektasi Harga umum (IEH) di dalam periode Ramadhan tahun ini.

Berdasarkan data BI, Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) April 2023 tercatat sebesar 145,1, meningkat dibandingkan dengan indeks IEH Maret 2023 sebesar 139,1.

Hal ini didorong oleh kenaikan harga selama periode HBKN (Hari Besar Keagamaan Nasional) Ramadhan dan Idul Fitri 2023. Dus, kenaikan harga selama Ramadhan, didukung oleh meningkatnya permintaan (demand side).

Deru mesin ekonomi

Agar akselerasi konsumsi terus meningkat tahun 2023, maka yang perlu dijaga adalah daya beli masyarakat (purchasing power).

Memang pemerintah sejak pandemi Corona mempertebal anggaran Bansos dalam APBN. Namun program social safety net ini bersifat terbatas dalam memacu deru mesin ekonomi.

Oleh sebab itu, penciptaan lapangan kerja (job creation), menjadi kunci agar terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.

Dalam era suku bunga tinggi, likuiditas masyarakat menjadi tergerus. Biaya dana (cost of fund) kegiatan usaha pun meningkat.

Dunia usaha terpaksa melakukan rasionalisasi. Salah satunya melalui pengurangan tenaga kerja atau PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Hal ini menyebabkan terjadinya pengangguran, kemiskinan dan pendapatan masyarakat menurun.

Menurut data BPS terbaru, kemiskinan Indonesia saat ini 9,57 persen. Lebih tinggi dari prapandemi 9,22 persen. Setali tiga uang dengan pengangguran sebesar 5,86 persen atau lebih tinggi dari pengangguran prapandemi 5,23 persen.

Konsumsi RT berdasarkan data BPS masih 4,93 persen atau di bawah prapandemi 5,04 persen. Dengan pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi dari prapandemi, menggambarkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi masih terbatas.

Kita berharap, kinerja PDB makin berkualitas; memiliki trickle down effect. Ekonomi yang tumbuh berbasis penciptaan lapangan kerja.

Dengan demikian, program-program padat karya perlu terus ditingkatkan melalui anggaran dan proyek pemerintah.

Bila preferensi ekonominya demikian, maka mesin ekonomi akan kian menderu di tengah ketidakpastian global yang masih terjadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com