Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Nasir
Dosen

Dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Jember

"Dedolarisasi", Tantangan dan Kendalanya

Kompas.com - 10/07/2023, 17:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENGARUH Amerika Serikat (AS) sebagai penggerak multilateralisme global semakin berkurang. Di sisi lain pengaruh China semakin meningkat terutama dalam aspek perdagangan internasional.

Di tengah pertarungan pengaruh geopolitik AS-China yang akan terus berlanjut, diharapkan ASEAN, termasuk Indonesia, akan mendapatkan peluang dalam perdagangan dan investasi, mengingat netralitas geopolitik dan kedekatan geografis. Di tengah tingginya ketidakpastian global, kekhawatiran investor di Tanah Air tertuju pada upaya Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral untuk menjaga inflasi dan stabilitas mata uang, serta dampaknya terhadap respons suku bunga bank sentral ke depan.

Isu lain yang mengemuka, antara lain, dampak tren penurunan harga komoditas dan kebijakan hilirisasi terhadap prospek PDB dan neraca berjalan, serta dampak twist operation terhadap arus masuk modal asing. Investor juga terus mencermati risiko geopolitik dan keberlanjutan reformasi struktural, termasuk reformasi fiskal terkait Pemilu 2024.

Ketidakseimbangan Global

Ketidakseimbangan global yang berlarut-larut mengandung beberapa masalah. Pertama, ketergantungan pada dolar AS telah menyebabkan model pembangunan global bergantung pada dana murah akibat pelonggaran kuantitatif dan tingkat utang yang lebih tinggi.

Kedua, masalah mendasar dalam sistem moneter internasional jika AS mengakhiri defisit neraca pembayaran, masyarakat internasional akan kehilangan tambahan sumber cadangan terbesarnya. Dilema ini seringkali menyebabkan kebijakan moneter The Fed menjadi kurang efektif bagi ekonomi AS dan global.

Ketiga, bagi negara berkembang seperti Indonesia yang mengalami defisit transaksi berjalan karena kebutuhan investasi yang besar, hegemoni dolar menyebabkan ketergantungan pada arus modal asing yang semakin fluktuatif.

Saat ini, dolar AS masih memiliki fundamental yang relatif kuat dibandingkan dengan pesaing terdekatnya, euro dan yen. Uni Eropa dan Jepang adalah importir energi yang mata uangnya cenderung tertekan jika harga energi naik.

Sementara itu, AS relatif mandiri karena produksi ladang minyak lepas pantai yang melimpah. Ditambah harga energi dalam denominasi dolar AS menyebabkan kenaikan harga energi yang juga akan menyebabkan peningkatan permintaan mata uang ini.

Selanjutnya, pasar sekuritas pemerintah AS masih tak terkalahkan. Investor di seluruh dunia tercatat memegang sekuritas senilai total 24 triliun dolar AS, jauh melampaui Jepang dan China yang didominasi investor domestik.

Pasar sekuritas yang memadai itu menciptakan sistem keuangan yang sangat efisien dan merupakan referensi bebas risiko dalam sistem keuangan global. Hal ini juga menyebabkan dolar AS menjadi mata uang pilihan untuk penyelesaian utang luar negeri dan seringkali menjadi mata uang utama cadangan devisa di sebagian besar negara.

Apalagi, The Fed masih cukup dipercaya oleh investor global dibandingkan Bank Sentral Eropa dan Bank Rakyat China dalam memberikan arahan kebijakan untuk menciptakan persepsi publik.

Jika peran dolar AS diambil alih oleh mata uang lain, misalnya renminbi China, ini akan menimbulkan tiga konsekuensi penting. Pertama, perilaku konsumen dan pemerintah harus berubah menjadi net spending dengan defisit fiskal yang sangat besar.

Kedua, permintaan mata uang akan meningkat drastis, yang dapat membuat ekspor menjadi tidak kompetitif. Ketiga, pasar modal negara, khususnya sekuritas pemerintah, harus merupakan aset yang likuid.

Tren Dedolarisasi

Saat ini, tren dedolarisasi semakin banyak dibicarakan di kalangan publik dan pembuat kebijakan. Dedolarisasi mengacu pada fenomena negara-negara di seluruh dunia yang mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS untuk berbagai kegunaan seperti alat menyimpan kekayaan, alat tukar dan penyimpan nilai, kemudian beralih ke mata uang lainnya.

Dalam jangka pendek, penurunan permintaan dolar AS akan menyebabkan dolar melemah terhadap mata uang utama, termasuk rupiah. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya tekanan inflasi impor serta berkurangnya beban bunga utang luar negeri bagi pemerintah dan korporasi.

Baca juga: Ramai Dedolarisasi, Greenback Tetap Dinilai Mata Uang Paling Stabil

Pelemahan dolar AS juga cenderung meningkatkan permintaan komoditas andalan dan sumber energi, terutama batu bara dan minyak sawit.

Dalam jangka menengah dan panjang, dedolarisasi kemungkinan memiliki dampak yang beragam. Fragmentasi sistem moneter global dan masa transisi kemungkinan besar akan ditandai dengan krisis keuangan global yang diikuti dengan tingginya inflasi.

Hal itu dapat berdampak pada aliran modal asing yang semakin fluktuatif dan menekan rupiah, meskipun ditopang oleh tingginya nilai ekspor komoditas. Kebijakan internasional berupa kerja sama keuangan internasional akan mampu meningkatkan ketahanan keuangan Indonesia, terutama dalam menghadapi dampak permasalahan geopolitik negara lain.

Langkah BI

Mitigasi tren dedolarisasi telah dilakukan oleh BI dan pemerintah. Salah satu kebijakan yang diintensifkan adalah skema local currency settlement (LCS). Kebijakan LCS adalah kerja sama penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dalam transaksi perdagangan.

Namun saat ini penggunaan LCS masih terbatas, terlihat dari jumlah transaksi bulanan dan volume transaksi LCS secara keseluruhan masih relatif rendah dibandingkan dengan total perdagangan antar negara. Hal itu terjadi karena terbatasnya jumlah bank yang Appointed Cross Currency Dealers (ACCD) yang ditunjuk dan kurangnya informasi dan pemahaman pelanggan tentang kebijakan LCS.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, penggunaan LCS perlu didorong terutama dalam transaksi perdagangan atau investasi langsung termasuk pengiriman uang dan penguatan intensifikasi LCS yang sudah ada.

Beberapa program dapat dilakukan melalui inisiatif untuk memperluas kerja sama dengan negara baru dan mengoptimalkan LCS yang sudah ada. Misalnya dengan memperkuat peran pemerintah daerah sebagai agen atau penyedia informasi bagi perusahaan yang masuk ke sektor strategis, berkolaborasi dengan kantor cabang bank ACCD di setiap wilayah untuk mendorong LCS, mengedukasi dan mendorong peliputan LCS melalui media lokal untuk mempercepat pemahaman masyarakat tentang LCS dan mengelaborasi skema LCS.

Saat ini BI bersama beberapa bank sentral negara ASEAN lainnya sedang mendorong integrasi pembayaran regional menggunakan kode QR. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi perekonomian daerah, seperti peningkatan efisiensi pembayaran, pendalaman pasar keuangan dan peluang pasar, pemberdayaan sektor informal dan pengurangan aliran dana ilegal.

Penggunaan kode QR merupakan bentuk implementasi dari kerja sama Regional Payment Connectivity (RPC) yang akan terus dikembangkan guna mendorong penguatan konektivitas pembayaran di kawasan.

Indonesia telah berkerjasama dengan Thailand dan Malaysia untuk menggunakan pembayaran lintas negara berbasis QR.

Upaya lain yang telah dikembangkan Indonesia dalam mengurangi ketergantungan terhadap dollar adalah skema Local Currency Transaction (LCT). Kerangka LCT merupakan mekanisme penyelesaian transaksi dua negara dengan menggunakan mata uang negara tersebut.

Saat ini Indonesia telah bekerja sama dengan Malaysia, Thailand, Jepang, dan Tiongkok untuk skema LCT. Sedangkan untuk Singapura dan Korea Selatan masih dalam proses pembangunan kerangka kerja sama.

BI menyatakan bahwa nilai transaksi yang berhasil dilakukan dengan LCT di tahun 2022 sebesar Rp 57,34 triliun. Angka itu menunjukkan peningkatan sebesar 52 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Kondisi tersebut menggambarkan potensi pengembangan LCT di kawasan karena setiap negara berusaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar dan berusaha menciptakan mata uang negaranya lebih berdaulat.

Skema RPC dan LCT juga selaras dengan upaya G20 dan agenda prioritas ASEAN 2023 (KTT Ke-4 ASEAN 2023 di Labuan Bajo).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com