Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Program Gas Murah untuk Industri Tertentu Belum Tentu Tingkatkan Daya Saing

Kompas.com - 18/08/2023, 11:00 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta Pemerintah tak buru-buru dalam mengambil kebijakan terkait subsidi gas murah untuk industri tertentu. Perlu perlu adanya kesepakatan sejak awal bahwa penerima subsidi akan memberikan kontribusi kepada negara maupun perekonomian nasional berdasarkan parameter-parameter tertentu.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyampaikan, sejak program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dijalankan pada 1 April 2020, pemerintah telah menghabiskan subsidi lebih dari Rp 29,39 triliun. Besarnya subsidi itu disebabkan oleh kebijakan HGBT yang dipatok sebesar 6 dollar AS per MMBTU. 

Sesuai ketentuan dalam kebijakan HGBT, pemerintah wajib menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara, sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontraktor

“Setiap program subsidi harus selalu dievaluasi, karena daya saing industri tidak tergantung harga gas. Apalagi jika kontribusi dari penerima gas murah tidak sesuai target, pemberian stimulus harga gas murah sebaiknya tidak dilanjutkan, ketimbang hanya membikin kantong negara bolong,” kata Tauhid kepada Kompas.com, Kamis (17/8/2023).

Baca juga: Indonesia Gas Society Usul Harga Gas Industri Dinaikkan, Ini Alasannya

Berdasarkan data kementerian ESDM, pendapatan pajak yang berhasil dikumpulkan dari industri penerima HGBT hanya sebesar Rp 15,3 triliun. Sementara sejumlah perusahaan yang mendapatkan alokasi gas subsidi ini terus menebar keuntungan dalam jumlah besar.

Menurut Tauhid, ada beberapa parameter yang bisa digunakan untuk mengukur kontribusi perusahaan penerima insentif harga gas murah. Selain kontribusi terhadap perekonomian nasional, parameter lainnya adalah kontribusi terhadap penerimaan negara dan penciptaan lapangan kerja.

Dari sisi industri, parameter yang digunakan antara lain peningkatan produksi, peningkatan daya saing, penciptaan nilai tambah, termasuk juga kontribusinya terhadap penurunan impor.

“Kalau tujuh sektor industri penerima insentif ternyata tidak berhasil memenuhi parameter, ya harus dievaluasi. Kalau gagal, kebijakan harus direvisi. Jika memang perusahaan tidak berhasil memanfaatkan insentif, sebaiknya harga gas untuk perusahaan tersebut dikembalikan sesuai harga pasar,” tegas Tauhid.

Baca juga: Ada Usul Dinaikkan, Menteri ESDM Tegaskan Harga Gas Industri Tak Berubah

Menurut Tauhid, kebijakan HGBT seharusnya menjadi kebijakan sementara yang ditujukan untuk memperkuat daya saing industri. Jika insentif diberikan dalam jangka panjang, dikhawatirkan industri penerima kebijakan HGBT justru tidak bisa bersaing. Karena perusahaan dininabobokan oleh stimulus tersebut.

Tauhid mengungkapkan, dalam jangka panjang, perlu ada penyesuaian secara berkala hingga perusahaan mampu bersaing dan bisa lebih adaptif untuk mengikuti harga gas sesuai mekanisme pasar.

“Daya saing industri tak cuma ditentukan oleh harga gas. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi daya saing perusahaan, seperti efisiensi produksi, permintaan pasar, maupun keterampilan dan teknologi,” lanjutnya.

Baca juga: Kebijakan Harga Gas Industri Belum Optimal, Ini Penyebabnya

 


Tauhid meminta pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam mengambil kebijakan terkait subsidi gas murah untuk industri tertentu. Dia menyarankan, perlu adanya kesepakatan sejak awal bahwa penerima subsidi akan memberikan kontribusi kepada negara maupun perekonomian nasional berdasarkan parameter-parameter tertentu.

Jika ternyata dalam pelaksaan program HGBT ini belum seluruhnya berhasil, pemerintah sebaiknya tidak menambah jumlah industri penerima. Selain itu, perlu ada batas maksimum pemberian subsidi harga gas. Yang tak kalah penting, sebesar apa kontribusi penerima subsidi itu untuk rakyat dan negara.

“Jangan sampai pemberian subsidi membikin kantong penerimaan negara berkurang,” tegas dia.

 

IGS minta naikkan harga gas

Senada, himpunan pengusaha gas bumi dalam Indonesia Gas Society (IGS) sebelumnya mengusulkan kenaikan harga gas industri dalam skema harga gas bumi tertentu (HGBT) dari sebesar 6 dollar AS per Metric Million British Therman Unit (MMBTU) ke angka lebih tinggi.

Penyebabnya, target pemerintah dengan pemberlakuan HGBT tersebut belum tercapai walau aturan ini sudah berlaku dua tahun.

"Mungkin ada pertimbangan bagaimana harga 6 dollar AS per MMBTU dapat sedikit lebih tinggi sehingga harga tersebut bisa juga berpihak pada sektor hulu (migas). Pengorbanan pemerintah (di hulu) belum sebanding dengan manfaat yang dihasilkan pada sektor hilir," kata Chairman Indonesia Gas Society, Aris Mulya Azof di acara Media Briefing IPA Convex 2023 Jakarta, Kamis (16/3/2023).

Lifting migas "seret"

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan dalam pidato Pidato Pengantar RAPBN Tahun Anggaran 2024 beserta Nota Keuangannya di DPR RI, Rabu (16/7/2023), bahwa lifting minyak mentah tahun depan, sebesar 635.000 barrel per hari (bopd), dan gas bumi 1,03 juta barrel.

Sementara itu harga minyak mentah RI atau Berita Indonesian crude price (ICP) dipatok menjadi 80 dollar AS per barrel. Hal ini tertuang dalam dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024.

"Harga minyak mentah ICP diperkirakan berada pada 80 dollar AS per barrel, disisi lain lifting minyak dan gas masing-masing mencapai 625.000 barrel per hari dan 1,03 juta barrel setara minyak per hari," kata Jokowi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Ajang Apresiasi Industri Kreatif dan Periklanan Bakal Digelar di Jakarta

Ajang Apresiasi Industri Kreatif dan Periklanan Bakal Digelar di Jakarta

Whats New
2 Cara Mengatasi Lupa PIN ATM BRI Tanpa ke Bank Antiribet

2 Cara Mengatasi Lupa PIN ATM BRI Tanpa ke Bank Antiribet

Spend Smart
BEI Tunjuk Mantan Petinggi OJK Jadi Komisaris Utama

BEI Tunjuk Mantan Petinggi OJK Jadi Komisaris Utama

Whats New
Masuk Semester II 2024, Upbit Optimis Aset Kripto Tumbuh Positif

Masuk Semester II 2024, Upbit Optimis Aset Kripto Tumbuh Positif

Whats New
Shopee Bantah Lakukan Monopoli Jasa Kurir di Platformnya

Shopee Bantah Lakukan Monopoli Jasa Kurir di Platformnya

Whats New
4 Tips Menggunakan Kartu Kredit ala Renata Kusmanto

4 Tips Menggunakan Kartu Kredit ala Renata Kusmanto

Spend Smart
Nilai Rata-rata Transaksi 'Paylater' di Indonesia Masih di Bawah Rp 500.000

Nilai Rata-rata Transaksi "Paylater" di Indonesia Masih di Bawah Rp 500.000

Whats New
Rupiah Kembali Terkapar, Dollar AS Tembus Rp 16.400

Rupiah Kembali Terkapar, Dollar AS Tembus Rp 16.400

Whats New
Permudah BPR Ajukan Perizinan Kelembagaan, OJK Luncurkan Aplikasi SPRINT

Permudah BPR Ajukan Perizinan Kelembagaan, OJK Luncurkan Aplikasi SPRINT

Whats New
Sepanjang 2023, Aplikasi Investasi Pluang Catat Kenaikan Nilai Transaksi 22 Kali Lipat

Sepanjang 2023, Aplikasi Investasi Pluang Catat Kenaikan Nilai Transaksi 22 Kali Lipat

Whats New
KPPI Mulai Penyelidikan soal Impor Ubin Keramik

KPPI Mulai Penyelidikan soal Impor Ubin Keramik

Whats New
Karier.mu dan Women’s World Banking Luncurkan Modul Kapabilitas Keuangan dan Digital, Bisa Diakses Gratis

Karier.mu dan Women’s World Banking Luncurkan Modul Kapabilitas Keuangan dan Digital, Bisa Diakses Gratis

Whats New
Bersama Mentan Amran, Presiden Jokowi Lakukan Peninjauan Program Pompanisasi di Kotawaringin Timur

Bersama Mentan Amran, Presiden Jokowi Lakukan Peninjauan Program Pompanisasi di Kotawaringin Timur

Whats New
IHSG Menguat di Akhir Sesi, Rupiah Koreksi

IHSG Menguat di Akhir Sesi, Rupiah Koreksi

Whats New
Membandingkan Anggaran Makan Siang Gratis Rp 71 Triliun dengan Pembangunan IKN

Membandingkan Anggaran Makan Siang Gratis Rp 71 Triliun dengan Pembangunan IKN

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com