Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
David Firnando Silalahi
ASN Kementerian ESDM

Pelayan rakyat (ASN) di Kementerian ESDM, Kandidat Doktor pada School of Engineering, Australian National University, dengan topik penelitian "100% Renewable Energy Integration for Indonesia"

Potensi Energi Surya dan "Energy Storage" Indonesia Sangat Besar

Kompas.com - 21/08/2023, 11:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini, Jakarta sedang menjadi sorotan karena polusi udara yang pekat. Atmosfer ibu kota Indonesia diselubungi asap kotor.

Meski dalam hati miris, saya berpikir hal ini terjadi untuk mengingatkan seluruh pemangku kepentingan. Ini contoh nyata kalau tidak ada aksi untuk menyelamatkan bumi Indonesia.

Berbagai pihak tampak mencari penyebab polusi udara, namun tidak mengambil tanggung jawab. Seolah-olah polusi terjadi layaknya bencana alam yang kita hanya bisa pasrah, karena tidak bisa menduga kapan terjadi. Polusi nyata-nyata akibat dari aktivitas manusia.

Pembangkit batu bara pun ikut disalahkan. PLTU yang dekat dengan Jakarta dikambinghitamkan, sebagai penyebab polusi yang menyelubungi Jakarta.

Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung dengan kapasitas 145 MW, yang sudah terpasang di Cirata, Jawa Barat, seakan luput dari berita. Seakan keberadaan proyek besar ini tidak penting untuk dibicarakan.

Rp 1,7 triliun mengapung di air, tulis Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil pada twitternya @ridwankamil, dikutip Sabtu (12/8/2023).

Potensi PLTS terapung di laut

Keberhasilan pembangunan PLTS terapung di waduk Cirata berhasil meyakinkan PLN untuk membangun lebih banyak lagi PLTS terapung.

Dalam rencana usahanya (RUPTL 2021-2030), setidaknya pada tujuh waduk akan dibangun PLTS terapung.

Yakni Waduk Gajah Mungkur Wonogiri, Jawa Tengah (100 MW), Waduk Sutami Karangkates, Jawa Timur (122 MW), Waduk Jatiluhur, Jawa Barat (100 MW), Waduk Mrica Banjarnegara, Jawa Tengah (60 MW), Waduk Saguling, Jawa Barat (60 MW), Waduk Wonorejo Tulungagung, Jawa Timur (122 MW), dan Danau Singkarak, Sumatera Barat (48 MW).

Potensi PLTS terapung di Indonesia cukup besar, yaitu 28,4 GW (Kompas.com, 10 Juni). Perhitungan tersebut diperoleh dari potensi pemanfaatan 5 persen luasan permukaan waduk dan danau di Indonesia.

Angka ini bisa bertambah dua kali lipat seandainya pemanfaatan bisa ditoleransi menjadi 10 persen. Jika ditambahkan dengan potensi PLTS terapung lepas pantai, maka potensi yang dimiliki Indonesia menjadi sangat besar. Terbesar di dunia.

Riset terbaru dari The Australian National University, pada artikel Global Atlas of Marine Floating Solar PV Potential, menemukan bahwa Indonesia memiliki perairan laut yang tenang (calm sea), sangat cocok untuk implementasi PLTS terapung.

Luas perairan tersebut mencapai 140.000 kilometer per segi bentang laut, kira-kira seluas Pulau Jawa ditambah dengan Pulau Bali.

Apabila perairan ini dimanfaatkan untuk PLTS terapung, potensinya setara dengan 35.000 terawatt-jam (TWh) per tahun.

Sebagai gambaran, potensi PLTS lepas pantai lebih dari 100 kali lipat produksi listrik PLN tahun 2022 (308 TWh). Potensi 35.000 TWh per tahun hanya untuk perairan lepas pantai paling aman (ombak < 4m, kecepatan angin < 10m/s).

Jika panel mampu mentoleransi ombak maksimal 6m, dan kecepatan angin maksimal 15m/s, maka potensi produksi energi mencapai 600.000 TWh per tahun. Setara dengan tiga kali lipat konsumsi energi dunia saat ini (200.000 TWh).

Singkatnya potensi PLTS terapung pada perairan tawar atau lepas pantai di Indonesia, sangat luar biasa besarnya!

Pasokan 100 persen energi terbarukan

Berdasarkan data Kementerian ESDM, jika elektrifikasi seluruh kegiatan ekonomi tercapai, transportasi, industri, semua beralih pada energi bersih, maka Indonesia akan membutuhkan energi listrik sebesar 4.250 TWh per tahun. Kebutuhan ini sekitar 14 kali lipat dibandingkan dengan produksi listrik PLN tahun 2022 (308 TWh).

Saat ini bauran energi terbarukan di Indonesia sebesar 14 persen (ESDM, 2022). Jika nanti energi fosil semua dihentikan (phase out), maka energi terbarukan harus 100 persen siap menggantikan.

Potensi sumber energi terbarukan nonsurya lainnya (panas bumi, air, arus laut, angin, biomas) akan memenuhi sekitar 1000 TWh. Selebihnya akan bergantung dari energi surya yang saat ini telah menjadi yang paling murah sepanjang sejarah.

Hanya dengan memanfaatkan 10 persen saja dari potensi PLTS terapung (3500 TWh), maka total kebutuhan listrik net zero emission dapat dicukupi. Dalam konteks jumlah energi yang dibutuhkan, tidak ada keraguan.

Skenario pasokan 100 persen energi terbarukan bukan lagi mimpi semata. Pada skenario ini, porsi bauran energi surya atau angin akan dominan dalam produksi listrik Indonesia, tantangan intermitensi membutuhkan solusi.

Semua kita mengetahui bahwa energi surya atau angin tidak tersedia 24 jam. Ada saatnya matahari bersinar cerah atau angin bertiup kencang.

Ada pula saat cuaca buruk, hujan turun berhari-hari, atau awan yang pekat di langit menutupi panel surya dari paparan sinar matahari. Kondisi cuaca seperti ini bukan hal baru, sudah terjadi sejak bumi diciptakan.

Tantangan intermitensi sebetulnya bisa ditangani dengan flexible power generation. Misalnya menggunakan genset, pembangkit gas yang dicadangkan untuk dapat dinyalakan sewaktu-waktu dibutuhkan.

Namun biayanya mahal, selain itu masih berbahan bakar fosil dan mengemisikan karbon. Dengan demikian, butuh solusi lain yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan.

Teknologi penyimpanan energi menjadi solusi. Kelebihan produksi listrik saat siang hari, matahari bersinar cerah, angin bertiup, harus ‘ditabung’ untuk digunakan pada malam hari atau pada saat produksi listrik dari panel surya dan turbin angin berhenti.

Terdapat beragam teknologi penyimpan energi, namun hanya dua yang paling populer. Baterai dan PLTA pumped hydro storage.

Baterai sangat familiar dengan kehidupan sehari-hari. Perangkat elektronik seperti jam, smartphone, laptop, dan sebagainya menggunakan baterai sebagai sumber listriknya. Prinsip yang sama juga dapat diterapkan di jaringan listrik.

Battery energy storage sytem (BESS) difungsikan menjadi penyimpan energi saat ada kelebihan produksi listrik dari panel surya atau pembangkit tenaga angin.

Namun, kapasitas baterai tidak memungkinkan menyimpan energi dalam skala besar secara aman. Baterai lebih cocok digunakan untuk memasok kebutuhan singkat pada orde detik hingga jam.

PLTA pumped hydro storage satu-satunya opsi yang paling ekonomis untuk menyimpan energi dalam jumlah besar. Cadangan untuk kebutuhan lebih dari 8 jam, 1 hari atau 1 minggu.

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) teknologi pumped storage (PLTA pumped hydro storage) adalah teknologi penyimpanan energi tertua dan paling banyak proporsinya hingga kini.

Pumped hydro storage mendominasi teknologi penyimpan energi di seluruh dunia. Sebanyak 96 persen dari 176 GW penyimpanan energi secara global pada 2017 adalah PLTA PHS.

Pumped storage hydropower adalah teknologi baterai terbesar di dunia, terhitung lebih dari 94 persen kapasitas penyimpanan energi global terpasang, jauh di atas lithium-ion dan jenis baterai lainnya.

International Hydropower Association (2022) memperkirakan bahwa proyek hidro yang dipompa di seluruh dunia menyimpan hingga 9.000 gigawatt jam (GWh) listrik.

Baterai (BESS) dan PLTA pumped hydro storage bukan lah teknologi yang saling berkompetisi. Keduanya dapat dioperasikan dengan prinsip saling melengkapi.

Misalnya, saat terjadi kekurangan pasok dari panel surya karena tutupan awan, baterai dapat merespons dengan cepat.

Pada saat sore hari menjelang malam, baterai dapat dioperasikan pada beberapa menit hingga satu jam pertama, hingga energi yang disimpannya habis.

Selanjutnya PLTA pumped hydro storage meneruskan memasok listrik sepanjang malam, menunggu matahari bersinar kembali pagi hari.

Singkatnya, dengan keunggulan masing-masing BESS dan PLTA pumped storage menjadi dua solusi yang saling melengkapi untuk menopang sistem 100 persen energi terbarukan.

Potensi off-river pumped hydro storage

Dengan dampak lingkungan yang besar, PLTA pumped hydro storage konvensional sangat rentan penolakan masyarakat.

Sebagai contoh, perencanaan dan pembangunan PLTA pumped hydro storage Cisokan, Bandung Barat, kapasitas 1.040 MW di Indonesia telah dimulai pada 2010.

Semula proyek Cisokan ditargetkan beroperasi pada 2014, namun mengalami berbagai kendala, hingga kini belum selesai.

Masih dari hasil penelitian kami di The Australian National University, Indonesia punya potensi yang sangat besar.

Kami memetakan lokasi terbaik untuk waduk PLTA pumped hydro storage tanpa membendung sungai (off-river). Jumlahnya ada banyak sekali, dan tersebar di seluruh negeri, termasuk di pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Total 26.000 lokasi setara 821 TWh.

Metode off-river yang kami tawarkan di penelitian tersebut mampu menjawab tantangan sulitnya membangun PLTA pumped storage konvensional, yang harus membendung sungai.

Kami menemukan lokasi-lokasi terbaik, dengan kapasitas penyimpanan terbesar dan perkiraan biaya termurah, dengan total potensi 321 TWh.

Biaya pembangunannya kurang dari 20 persen biaya baterai Lithium pada kapasitas yang sama, dan dapat ditekan lebih rendah lagi jika memanfaatkan danau alami sebagai pengganti salah satu waduk.

Untuk menopang sistem 100 persen energi terbarukan, Indonesia hanya butuh sekitar 25 TWh kapasitas penyimpanan energi.

Menurut Werner, seorang pakar panel surya dari Institute for Photovoltaics and Research Center, Germany, teknologi panel surya telah mencapai efisiensi optimal pada angka 23-24 persen. Efisiensi ini erat kaitannya dengan lahan yang dibutuhkan.

Semakin efisien, semakin sedikit lahan yang dibutuhkan. Kita punya lahan yang luas di Indonesia. Teknologi pembuatan panel surya dengan efisiensi 20 persen sudah murah harganya. Agar semakin murah, kita perlu memproduksi panel surya ini secara masif di dalam negeri.

Teknologi PLTA pumped storage bukan sesuatu yang baru. Ilmu pengembangan PLTA sudah lebih dari 100 tahun. Pelajari dan kuasai.

Melalui program Merdeka Belajar, kampus dan sekolah vokasi perlu diarahkan untuk menyiapkan kurikulum agar lulusannya sesuai semangat transisi energi. Tenaga kerja yang menguasai teknologi energi bersih.

Sekolah menengah kejuruan perlu diperbanyak untuk bidang-bidang pemeliharaan pembangkit listrik energi bersih.

Dengan segala potensi yang kita miliki, sumber daya manusia yang disiapkan dari sekarang, tidak ada keraguan bahwa Indonesia bisa mewujudkan target net zero emissions melalui pasokan 100 persen energi terbarukan. Target tahun 2060 malahan bisa kita percepat setidaknya ke 2050.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com