JAKARTA, KOMPAS.com - Transisi energi merupakan proses yang kompleks dan mempunyai implikasinya yang besar sehingga memerlukan dialog multi-stakeholder agar dapat mengantisipasi dan memitigasi dampak transisi energi di Indonesia. Hal itulah yang mendasari Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 yang akan diselenggarakan pada 18-20 September 2023.
Direktur Eksekutif Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, tema IETD 2023 berfokus pada sektor ketenagalistrikan yang merupakan sektor strategis untuk bertransformasi menuju energi terbarukan.
Menurut dia, Pemerintah Indonesia sedang meninjau draft dokumen dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif dari Just Energy Transition Partnership (JETP) di mana ada sejumlah target yang disepakati, seperti puncak emisi kelistrikan 290 juta ton CO2 dan 34 persen bauran energi terbarukan pada 2030, serta mencapai nol emisi karbon (net zero emission/NZE) sektor kelistrikan pada 2050.
"Untuk itu, kita perlu memastikan semua rencana dan target ini tercapai dengan proses yang adil serta mendapat dukungan seluruh pihak,” jelas Fabby Tumiwa dalam Media Briefing “Mempersiapkan Transisi Energi Indonesia dan Antisipasi Implikasinya serta Peluncuran Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023” di Jakarta, Rabu (13/9/2023).
Baca juga: Percepat Transisi Energi, Indonesia Tetapkan Tiga Prioritas
Gigih Udi Atmo, Direktur Konservasi, Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti salah satu upaya bertransisi energi yakni dengan pengembangan energi terbarukan.
Menurutnya, integrasi energi terbarukan membutuhkan ekspansi
jaringan yang dapat mengakomodasi energi terbarukan tersebut.
Ia menambahkan, konektivitas melalui ekspansi jaringan (grid) menghubungkan pusat beban dengan sumber energi terbarukan akan sangat strategis ke depan.
"Yang paling bisa dilaksanakan pada waktu dekat adalah interkoneksi antara Pulau Sumatera dan dan Pulau Jawa untuk memampukan evakuasi dari energi terbarukan berbasis surya, air, panas bumi yang ada di Sumatera, bisa melistriki permintaan (demand) yang ada, di
Jawa," ujar Gigih.
"Pasokan listrik di Jawa juga bisa digunakan sebagian melistriki sumber demand yang ada di Sumatera. Jadi, pertukaran daya, keseimbangan energi antara dua jaringan paling besar di Indonesia ini bisa dioptimalkan,” ujarnya.
Baca juga: Kolaborasi Diperlukan untuk Percepat Transisi Energi di ASEAN
Gigih menambahkan untuk mencapai target nol emisi karbon (net zero
emission/NZE), jika ada dukungan internasional maka pengakhiran operasional PLTU batu bara dapat dipercepat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.