Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Nugroho SBM
Dosen Universitas Diponegoro

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang

Mewaspadai Praktik "Predatory Pricing" di "Social Commerce"

Kompas.com - 25/09/2023, 13:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT ini tengah ramai dibicarakan keberadaan platform perdagangan melalui sistem elektronik (sistem digital atau online) atau e-commerce berbasis media sosial yang dianggap menganggu, bahkan mematikan UMKM di Indonesia.

Bahkan, Presiden Jokowi menyatakan bahwa keberadaan platform e-commerce tersebut sudah menganggu keberadaan UMKM di Indonesia.

Kelompok pedagang yang masuk kategori UMKM, misalnya, di Tanah Abang Jakarta, dagangannya sepi. Mereka mengeluh salah satu sebabnya karena keberadaan penjual di social commerce tersebut.

Salah satu sebab UMKM yang berjualan offline (luring) kalah bersaing adalah harga yang ditawarkan di social commerce jauh lebih murah dibanding harga pedagang luring.

Berkembang kemudian sinyalemen bahwa para penjual di social commerce melakukan strategi harga predator (predatory pricing).

Penetapan harga predator (predatory pricing) adalah penetapan harga serendah-rendahnya oleh penjual terhadap harga produknya. Tujuannya mematikan usaha para pedagang lain yang menjual barang sejenis.

Ketika perusahaan lain atau penjual lain mati atau menutup usahanya, maka perusahaan atau penjual yang melakukan predatory pricing akan menjadi satu-satunya penjual di pasar atau dengan kata lain ia menjadi monopolis di pasar untuk produk tersebut.

Ketika sudah jadi monopolis, maka ia akan dengan bebas menaikkan harga produknya secara bertahap sampai setinggi-tingginya untuk menutup kerugian ketika ia menetapkan harga predator.

Perusahaan atau penjual yang melakukan predatory pricing tentunya adalah perusahaan yang bermodal kuat.

Hampir semua negara melarang praktik predatory pricing yang kemudian menciptakan monopoli. Alasannya jelas bahwa predatory pricing akan sangat merugikan konsumen.

Konsumen pada akhirnya harus membayar harga lebih tinggi dari seharusnya ketika perusahaan yang melakukan predatory pricing sudah menjadi monopolis.

Sama dengan di negara-negara lain, di Indonesia pun predatory pricing dilarang. Dasar hukum yang melarang praktik predatory pricing adalah Undang-Undang No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Secara khusus larangan tersebut tercantum dalam Pasal 20.

Peraturan pelaksanaannya dijabarkan dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 20 (Jual Rugi) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam Pasal 20 UU No 1999 dan penjabarannya dalam Peraturan KPU No 6 Tahun 2011 secara tegas dinyatakan bahwa praktik predatory pricing atau jual rugi yang mengarah pada praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dilarang di Indonesia.

Di samping UU No 5 tahun 1999, pemerintah lewat Kementerian Perdagangan juga tengah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan tersebut konon salah satu materinya adalah soal penetapan harga dalam e-commerce atau PMSE.

Jadi jelas praktik predatory pricing yang mengarah pada praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dilarang di Indonesia.

Sehingga jika terbukti, maka para penjual di social commerce yang melakukan praktik predatory pricing bisa diberi sanksi pencabutan izin operasional.

Hati-hati

Namun tuduhan predatory pricing terhadap para penjual di social commerce harus secara teliti dibuktikan dengan bukti-bukti yang cukup dan sah secara hukum agar pemerintah tidak kembali digugat dan dituduh melanggar aturan dalam hukum perdagangan bebas internasional.

Perlu diingat juga bahwa harga lebih murah yang ditawarkan para penjual di social commerce hanya salah satu daya tarik mengapa konsumen lebih tertarik membeli secara daring (online) daripada belanja langsung secara luring (offline) di toko-toko UMKM, termasuk di Tanah Abang.

Pertama, di social commerce, antara penjual dan calon pembeli bisa berinteraksi secara langsung ketika keduanya sama-sama live di platform.

Pembeli bisa melihat barang yang ditawarkan secara langsung sehingga memperkecil tertipu karena barangnya tidak sesuai seperti di platform lain yang menawarkan barang tidak secara live, tetapi hanya lewat katalog.

Jadi meskipun secara daring, proses jual-beli di social commerce seperti jual-beli langsung secara luring.

Kelebihannya adalah penghematan biaya transportasi datang ke pasar serta hal lain yang membebani, misal, sulitnya mencari parkir.

Kedua, testimoni atau kesaksian dan penilaian para pembeli yang sudah melakukan pembelian di social commerce juga diunggah dalam bentuk video singkat yang menarik. Sementara di patform lain hanya disampaikan secara tertulis.

Ketiga, fitur-fitur di social commerce sangat memudahkan bagi penjual maupun pembeli atau ramah pengguna (users friendly) dibandingkan platform lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com