Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Pembiayaan Moneter Melemahkan Reformasi Kebijakan Fiskal

Kompas.com - 04/10/2023, 12:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TENGAH risiko dan kerentanan daya tahan eksternal, usulan pembiayaan moneter melalui penciptaan uang (money creation) tidaklah relevan sebagai kebijakan yang dibutuhkan saat ini.

Sebagaimana dalam artikel Pihrih Buhairah (Peneliti Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN) di harian KONTAN Edisi 9 Agustus 2023.

Pada dasarnya, teori ini (monetary financing), didukung oleh teori kuantitas uang, yang menyatakan bahwa jumlah uang yang beredar dalam perekonomian berbanding lurus dengan tingkat harga (Fisher : 1911).

Menurut teori ini, jika bank sentral mencetak uang baru tanpa diimbangi oleh peningkatan produksi barang dan jasa, maka tingkat harga akan naik seiring dengan jumlah uang. Sebaliknya, jika bank sentral menarik uang dari peredaran, maka tingkat harga akan turun.

Namun, teori kuantitas uang tidak selalu persis dengan praktiknya. Pasalnya, ada faktor-faktor lain ikut memengaruhi permintaan dan penawaran uang. Misalnya, tingkat bunga, ekspektasi inflasi, preferensi likuiditas (Keynes : 1936), dan perilaku perbankan.

Selain itu, ada juga efek histeresis yang menyebabkan output riil tidak kembali ke tingkat potensialnya, setelah terjadi perubahan jumlah uang.

Efek histeresis adalah fenomena di mana sejarah memengaruhi kondisi saat ini dan masa depan. Misalnya, jika terjadi resesi yang disebabkan penurunan jumlah uang, maka output riil akan turun di bawah potensialnya.

Kondisi ini bisa menurunkan investasi, produktivitas, dan pertumbuhan jangka panjang. Jika pun kemudian bank sentral mencetak uang baru untuk mendorong pemulihan ekonomi, maka output riil mungkin tidak akan kembali ke tingkat potensialnya karena telah terjadi kerusakan struktural pada perekonomian.

Obat penting untuk memulihkan kerusakan struktural ekonomi adalah reformasi struktural dan tak mesti pembiayaan moneter melalui money creation.

Hal ini membutuhkan komitmen dan konsistensi dari pemerintah dan semua pemangku kepentingan.

Selain itu, reformasi struktural juga harus didukung oleh kebijakan moneter dan fiskal yang akomodatif dan prudent.

Kebijakan moneter harus menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi, serta memastikan likuiditas yang cukup di pasar keuangan.

Kebijakan fiskal harus menjamin keseimbangan anggaran jangka panjang, serta mengalokasikan belanja publik untuk mendukung pemulihan ekonomi dan reformasi struktural.

Dengan demikian, perekonomian Indonesia dapat kembali ke jalur pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif.

Belum dibutuhkan

Dalam konteks saat ini, di tengah kondisi volatilitas global yang masih mengemuka, bank sentral membutuhkan ketahanan eksternal yang mumpuni. Pembiayaan moneter melalui money creation akan menekan cadangan devisa karena beberapa alasan.

Pertama, pembiayaan moneter dapat meningkatkan impor dan mengurangi ekspor, yang akan mengurangi penerimaan devisa dan meningkatkan pengeluaran devisa.

Argumen ini didasarkan pada teori permintaan uang, yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah uang beredar akan meningkatkan permintaan agregat terhadap barang dan jasa.

Jika penawaran agregat tidak dapat menyesuaikan diri dengan cepat, maka permintaan agregat yang tinggi akan menyebabkan kenaikan harga domestik, yang akan menurunkan daya saing ekspor dan meningkatkan daya tarik impor.

Hal ini akan mengakibatkan defisit neraca perdagangan, yang merupakan salah satu komponen dari neraca pembayaran.

Defisit neraca perdagangan berarti pengeluaran devisa lebih besar daripada penerimaan devisa, sehingga mengurangi cadangan devisa.

Memang komponen penawaran agregat saat ini masih bergerak pada zona ekspansi. Hal tersebut bisa dilihat dari rata-rata pergerakan indeks manufaktur yang ada di atas 50 pint (≥ 50 = ekspansi).

Namun pertumbuhan sektor manufaktur masih bergerak terbatas, karena faktor permintaan domestik dan global masih melemah.

Hal tersebut terlihat dari rata-rata kontribusi konsumsi rumah tangga dan pemerintah terhadap PDB yang masih di bawah level pra-Covid-19.

Terbaru, berdasarkan data BPS, konsumsi rumah tangga secara tahunan sedikit melambat di triwulan II 2023 sebesar 5,26 persen (y-on-y). Lebih rendah dari periode yang sama tahun 2022 sebesar 5,51 persen.

Sejauh ini, APBN masih mampu mendorong konsumsi rumah tangga. Hal tersebut terlihat dari berbagai program Bansos yang digulirkan.

Alokasi APBN untuk Bansos tahun 2023 adalah Rp 476 triliun. Hal ini dibutuhkan untuk mendorong permintaan nominal agregat.

Dengan sasaran defisit anggaran di bawah 3 persen terhadap PDB 2023, membuktikan kapasitas fiskal masih mumpuni dan belum relevan untuk membicarakan pembiayaan moneter.

Kedua, pembiayaan moneter atau pendekatan expansionary monetary policy sebagai kontra siklus, biasanya dilakukan pada saat kondisi penurunan daya beli masyarakat, tingkat pengangguran tinggi, inflasi rendah atau bahkan negatif.

Pada saat seperti ini, permintaan agregat (total permintaan barang dan jasa) lebih rendah daripada penawaran agregat (total penawaran barang dan jasa), sehingga terjadi kelebihan kapasitas produksi dan penurunan output.

Kebijakan moneter ekspansif bertujuan meningkatkan permintaan agregat dengan cara menambah jumlah uang yang beredar, sehingga mendorong konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor neto. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nasional, lapangan kerja, dan tingkat harga.

Dari data dan informasi oleh lembaga-lembaga kredibel, memperlihatkan fundamental RI saat ini masih resilien.

Terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang persisten di atas pra Covid-19 (rata-rata tumbuh 5 persen), surplus APBN hingga Juli 2023, output yang masih berada di zona ekspansi, konsumsi rumah tangga yang tumbuh rata-rata 5 persen, dan inflasi relatif stabil, terkendali dalam sasaran (3 persen ± 1 persen).

Dari data terkait ekonomi domestik, tak ada suatu kondisi khusus yang membuat pembiayaan moneter perlu dilakukan sebagai suatu counter siklus.

Pembiayaan moneter melalui money creation tidak efektif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi potensial, yang ditentukan oleh faktor-faktor seperti jumlah dan kualitas faktor produksi, teknologi, institusi, dan pertumbuhan potensial.

Faktor-faktor ini lebih dipengaruhi kebijakan fiskal dan struktural yang bersifat pro-investasi, pro-inovasi, dan pro-reformasi.

Ketiga, pembiayaan moneter melalui money creation tidak diperlukan karena perekonomian Indonesia sudah mulai pulih dari dampak pandemi Covid-19, dengan pertumbuhan ekonomi positif; di atas level pra Covid-19.

Pemulihan ekonomi ini didukung peningkatan permintaan domestik dan global, perbaikan iklim investasi dan iklim berusaha, serta stimulus fiskal dan moneter yang akomodatif.

Melemahkan reformasi fiskal

Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan dari kebijakan pembiayaan moneter. Pertama, ketergantungan pemerintah terhadap bank sentral.

Pembiayaan moneter dapat mengurangi insentif pemerintah untuk melakukan reformasi fiskal dan struktural yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja ekonomi jangka panjang.

Pembiayaan moneter juga dapat mengancam independensi bank sentral dalam menjalankan kebijakan moneter yang sehat dan kredibel.

Jika pemerintah dapat memperoleh pendanaan murah dari bank sentral melalui pembiayaan moneter, maka pemerintah akan cenderung mengabaikan reformasi fiskal dan struktural yang sulit dan tidak populer tersebut.

Pemerintah akan lebih memilih untuk mengandalkan stimulus moneter yang bersifat sementara dan tidak berkelanjutan daripada melakukan perbaikan struktural yang bersifat permanen dan berkelanjutan.

Pembiayaan moneter juga dapat menimbulkan ketergantungan fiskal terhadap bank sentral, sehingga mengurangi kredibilitas dan independensi bank sentral dalam menjalankan kebijakan moneter yang sehat dan kredibel.

Pembiayaan moneter dapat menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa akibat peningkatan jumlah uang beredar yang tidak diimbangi oleh peningkatan produksi.

Inflasi dapat menggerus daya beli masyarakat, menurunkan nilai tukar mata uang, dan meningkatkan biaya modal.

Pada 2020, Bank Indonesia melakukan pembiayaan moneter sebesar Rp 574,59 triliun untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19.

Pembiayaan moneter ini dilakukan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer dan sekunder, serta penyediaan likuiditas kepada bank umum melalui fasilitas repo dengan SBN sebagai jaminan.

Pembiayaan moneter ini menyebabkan jumlah uang beredar (M2) meningkat 12,1 persen (yoy) pada akhir 20202, sementara pertumbuhan ekonomi hanya -2,07 persen (yoy) pada tahun yang sama.

Artinya terjadi ketidakseimbangan antara jumlah uang yang tersedia dengan jumlah barang dan jasa yang diproduksi.

Jika permintaan melebihi penawaran, maka harga akan naik dan inflasi akan terjadi. Inflasi dapat menurunkan daya beli masyarakat dan mengurangi nilai riil uang.

Inflasi juga dapat meningkatkan suku bunga yang dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pembiayaan moneter harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan kebutuhan anggaran negara.

Pembiayaan moneter juga dapat menimbulkan tekanan devaluasi terhadap mata uang domestik, terutama jika kepercayaan investor terhadap perekonomian domestik menurun.

Nilai tukar yang tidak stabil dapat mengganggu perdagangan internasional, menimbulkan spekulasi, dan memperbesar risiko nilai tukar.

Selain itu, pembiayaan moneter dapat menimbulkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang domestik jika tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas dan daya saing ekonomi domestik.

Ketidakstabilan nilai tukar dapat berdampak negatif terhadap perdagangan internasional, spekulasi, dan risiko nilai tukar.

Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, otoritas moneter perlu menerapkan kebijakan moneter yang kredibel dan konsisten, menjaga cadangan devisa yang cukup, melakukan intervensi pasar jika diperlukan, dan berkoordinasi dengan pemerintah dan otoritas lainnya untuk mendorong reformasi struktural.

Terbukti, kebijakan pembiayaan moneter melalui money creation, seringkali gagal dan menyebabkan inflasi yang tinggi atau bahkan hiperinflasi, yang merusak nilai mata uang dan daya beli masyarakat.

Beberapa contoh negara yang gagal melakukan pembiayaan moneter melalui money creation adalah Rusia, Argentina, Zimbabwe, Korea Utara, dan Venezuela.

Negara-negara ini mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti penurunan harga komoditas, kegagalan reformasi, korupsi, konflik politik, dan sanksi internasional.

Akibatnya, negara-negara ini mengalami dampak negatif dari kegagalan pembiayaan moneter melalui money creation, seperti penurunan produksi, krisis pangan, krisis kemanusiaan, kebangkrutan, kemiskinan, dan migrasi massal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com