Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Brigitta Valencia Bellion
KOMPAS.com - Saat mendengar kata personal branding, fokus kita pun akan langsung tertuju kepada influencer di media sosial yang memiliki ribuan hingga jutaan pengikut.
Mereka bisa berada di titik itu karena dipercaya oleh pengikutnya dan ahli dalam bidang tertentu. Itulah alasan mereka membentuk personal branding yang membedakan dirinya dengan influencer lainnya yang serupa.
Nyatanya, personal branding pun tak hanya dimiliki oleh influencer. Seorang pekerja atau karyawan juga perlu membentuk personal branding untuk menunjang kariernya.
Hal ini diungkapkan dalam siniar Obsesif episode “Bangun Personal Branding untuk Kariermu” dengan tautan s.id/ObsesifBranding.
Saat ini, pekerja dan pekerjaan semakin tak ada batasnya. Hadirnya internet membantu menyatukan pekerja di luar jangkauan hingga melewati batas negara. Namun, hal ini tak mungkin bisa tercapai jika seorang pekerja tak mempromosikan dirinya.
Dalam hal ini, personal branding membuat proposisi nilai individu diketahui oleh audiens sasaran, yaitu klien atau perusahaan yang akan dituju. Karena, lingkungan kerja saat ini sangat mengutamakan fleksibilitas sehingga tiap individu dapat mengatur dirinya sendiri.
Baca juga: Sulitnya Menjadi Pekerja Perempuan di Indonesia
Sayangnya, tak banyak pekerja yang benar-benar mau membangun personal branding. Hal ini karena aktivitas ini bagaikan investasi yang harus dijaga konsistensi dari setiap prosesnya.
Namun, hal ini akan sangat berguna bagi karier kita di masa depan karena orang-orang sudah mengenal keahlian kita. Alhasil, kita pun jadi dipercaya karena mampu mengikuti perkembangan terkini dalam industri, dapat beradaptasi, dan memiliki keterampilan unik.
Penelitian Gorbatov, dkk. (2019) pun mengungkapkan personal branding mampu menghasilkan kepuasan karier yang lebih besar. Hal ini karena kita telah membentuk persepsi kelayakan kerja bagi orang-orang di sekitar.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk membangun personal branding bagi seorang pekerja. Menurut Harvard Business Review, kita bisa mulai mengidentifikasi tiga hal.
Pertama, adalah keunikan kita yang kita punya. Misalnya, kemampuan-kemampuan tambahan yang mungkin tak semua orang punya dalam bidang yang sedang digeluti.
Kedua, temukan nilai-nilai diri kita. Hal ini bisa dimulai dengan menilik kembali kira-kira pemahaman atau ideologi apa yang kita pegang. Misalnya, kita berpegang teguh pada hak asasi manusia sehingga kita memiliki toleransi yang tinggi.
Baca juga: Produktif Berkualitas, Bagaimana Caranya?
Ketiga, adalah pengalaman atau kontribusi yang telah kita lakukan. Kita bisa mengumpulkannya dalam satu portofolio serta keahlian yang dipunya dan menyebarkannya di media sosial, khususnya LinkedIn, yang merupakan platform bagi para pekerja.
Tak perlu khawatir jika kita belum memiliki banyak pengalaman atau sudah berada dalam usia yang tak produktif. Sebab, dalam membangun personal branding tidak ada kata terlambat.
Bagi para first jobbers, Forbes, memberikan satu cara ampuh yang dapat diaplikasikan, yaitu mengajukan pertanyaan di setiap rapat, workshop, atau kelas yang kita hadiri. Hal ini karena jika kita diam saja, orang lain tak akan memperhatikan kita.
Alhasil, kita tak akan dikenal selain sebagai “orang yang pendiam”. Oleh karena itu, aktiflah bertanya dan berpendapat agar meningkatkan value diri dibandingkan rekan lainnya.
Dengarkan informasi lengkap seputar komunikasi asertif dalam siniar Obsesif episode “Bangun Personal Branding untuk Kariermu” dengan tautan s.id/ObsesifBranding.
Dengarkan pula episode lainnya yang tak kalah menarik dan menginspirasi dalam siniar Obsesif di Spotify, Noice, dan juga TipTip (khusus konten LED Talk) melalui tautan berikut tiptip.co/p/ObsesifLEDTalk.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.