Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gary Khoeng
Partner

Gary Khoeng joined Vertex Ventures Southeast Asia & India in 2017. He focuses primarily on covering Indonesia’s burgeoning startup ecosystem. Prior to joining Vertex, Gary was actively investing in early-stage opportunities entrepreneurs at an Indonesian fund across various sectors including e-Commerce, Fintech, Media and SaaS.

Lanskap Startup Asia Tenggara: Awal Kelesuan atau Potensi Menjanjikan?

Kompas.com - 05/12/2023, 10:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APAKAH benar kita sedang berada di akhir era kejayaan startup? Faktanya, ekosistem startup di Asia Tenggara masih tergolong amat muda, dan baru saja memperlihatkan tren pertumbuhan satu dekade terakhir ini.

Apakah kita tertinggal jauh dari pergerakan startup raksasa di Silicon Valley? Apa rahasia di balik optimisme pertumbuhan startup di wilayah ini?

Artikel ini ditulis untuk mengkritisi apakah keadaan startup Asia Tenggara yang ada sekarang merupakan ‘tamparan’ realita yang pahit, atau justru menggambarkan potensi pertumbuhan yang menjanjikan pada masa depan.

Semua proses perubahan selalu disertai dinamika yang naik dan turun, terlebih karena kita sedang melalui tren yang belum pernah ada sebelumnya.

Mari kita kupas lapisan ekosistem startup di Asia Tenggara, untuk memprediksi pertumbuhan di jangka pendek dan jangka panjangnya.

Gambaran umum

Meskipun sektor teknologi global sedang fluktuatif, perkembangan inovasi di Asia Tenggara masih menarik minat investor untuk menjajaki peluang baru.

Menurut prediksi Forbes, pada 2025, pertumbuhan valuasi dari startup Asia Tenggara bisa mencapai 1 triliun dollar AS, meningkat pesat dari 340 miliar dollar AS pada 2020.

Indonesia – sebagai pasar e-commerce terbesar di kawasan ini – menguasai hampir setengah dari seluruh pangsa pasar yang ada (e-Conomy SEA 2022, Straits Times).

Selain itu, perekonomian Indonesia diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,8 persen pada 2023 dan 5 persen pada 2024, seiring dengan berkurangnya volatilitas komoditas dan normalisasi permintaan domestik (Bank Pembangunan Asia, ADB).

Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem startup Asia Tenggara masih memiliki prospek pertumbuhan yang menjanjikan.

Di sisi lain, jumlah investasi di Asia Tenggara mengalami penurunan. Lima bulan pertama 2023, total pendanaan dari Venture Capital adalah 4 miliar dollar AS, menurun drastis hingga 65 persen dari periode sama tahun sebelumnya, sekaligus menjadi titik terendah sejak paruh kedua tahun 2019 (Preqin, Nikkei).

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah dampak dari kenaikan suku bunga yang dipicu oleh inflasi. Para ekonom cukup khawatir melihat level pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara yang meleset lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.

Karena itu, diperlukan pengamatan yang mendalam dan perencanaan strategis untuk bisa menavigasi kelesuan pasar ini (Reuters).

Walaupun kondisi pasar sedang memprihatinkan, namun adanya aset likuid dari VC dan kombinasi faktor demografis yang mendukung di Asia Tenggara memberikan secercah harapan dan optimisme.

Vertex VSEAI pun telah berhasil menggalang dana kelolaan ke lima senilai 541 juta dollar AS barusan ini di kuartal ketiga 2023 (Bloomberg).

Asia Tenggara juga mempunyai beberapa karakter unik yang membuatnya lebih tangguh menghadapi krisis ekonomi dan kelesuan sektor teknologi dibandingkan kawasan lain (seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Eropa).

Demografi

Populasi Asia Tenggara yang besar dan relatif muda merupakan keunggulan tersendiri. Generasi muda di negara-negara seperti Indonesia dan Filipina mempermudah adopsi teknologi baru, sehingga menciptakan pasar menjanjikan untuk jasa dan produk inovatif.

Tren ini bisa terlihat dengan kemunculan aplikasi social e-commerce yang semakin menjamur, sejalan dengan semakin banyaknya jumlah kreator konten di dunia virtual.

Konten ini sangat populer di kalangan anak muda, dan menjanjikan potensi pertumbuhan signifikan.

Di Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, jumlah Gen-Z dan Milenial saat ini mencapai 145 juta orang, yang merupakan 53,8 persen dari total populasi.

Dalam satu dekade ke depan, generasi ini akan memasuki tahun produktif, sehingga mereka akan menjadi faktor utama yang mendorong konsumsi global.

Sebagai contoh, salah satu startup dalam portofolio kami, Tiptip, bekerja sama dengan para kreator konten untuk berinteraksi dengan penontonnya yang mayoritas merupakan Gen-Z dan Gen-Y dengan sistem monetisasi.

Seiring dengan berkembangnya ekonomi berbasis kreator di Asia Tenggara, Tiptip bertujuan menciptakan peluang penghasilan bagi para kreator dengan mengenalkan cara-cara inovatif agar mereka dapat berinteraksi langsung dengan para fans melalui video interaktif.

Sektor apa saja yang berpotensi tinggi di Asia Tenggara dalam lima tahun ke depan? Apa alasannya?

Ketika populasi muda mulai memasuki tahun produktif dan berpenghasilan, permintaan untuk produk teknologi akan ikut meningkat, seperti yang terjadi di negara-negara maju. Gen-Z yang dikenal sebagai ‘digital native’ akan menjadi pendorong utama dari peningkatan ini.

Penelitian dari Bain & Co mengungkapkan bahwa kelompok usia 18-29 tahun yang tinggal di daerah urban memiliki tingkat konsumsi 75 persen lebih tinggi daripada rata-rata populasi.

Selain itu, mereka juga mencatatkan tingkat adopsi teknologi tertinggi, di peringkat kedua setelah konsumen kelas atas di Asia Tenggara.

Selain itu, pola konsumsi diperkirakan akan bergeser ke platform online, untuk memudahkan akses produk teknologi ke konsumen yang tinggal di daerah pinggiran kota, atau di kota dan kabupaten yang lebih kecil.

Diperkirakan 43 persen populasi digital tinggal di daerah tersebut. Menariknya, masih ada kesenjangan yang cukup signifikan dalam hal penetrasi teknologi, seperti e-commerce dan pariwisata, antara konsumen non-urban dan konsumen di perkotaan.

Hal ini menunjukkan adanya kesempatan pasar yang belum dimanfaatkan sepenuhnya, sehingga masih ada peluang besar untuk tumbuh dan berkembang (e-Conomy SEA 2022).

Asia Tenggara juga merupakan kawasan yang tepat untuk memperluas inklusivitas di bidang teknologi keuangan atau yang kerap disebut fintech.

Hampir 70 persen populasi Asia Tenggara belum memiliki akses perbankan yang optimal (e-Conomy SEA 2022).

Startup fintech memanfaatkan keterbatasan ini untuk menghadirkan layanan perbankan digital bagi konsumen dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Fairbanc, salah satu perusahaan di portofolio kami, menyadari hal tersebut dan menawarkan sistem kredit bagi outlet UKM untuk menambah plafon stok produk dari distributor.

Pendekatan inovatif Fairbanc menghadirkan layanan pinjaman yang mudah diakses UKM, dan mendukung mereka untuk berkembang lebih pesat.

Apa saja tantangan yang bisa menghambat pertumbuhan startup di Asia Tenggara?

Human-resource, atau sumber tenaga kerja yang berkualitas tinggi merupakan tantangan yang cukup besar meski di tengah badai PHK di perusahaan-perusahaan besar.

Karyawan dengan keahlian tinggi di bidang teknologi seringkali direkrut oleh perusahaan konvensional yang sedang menjalankan transformasi digital. Sebagai akibatnya, startup harus berupaya mencapai target mereka dengan tenaga kerja yang terbatas (Nikkei).

Selain itu, di sektor tertentu seperti e-commerce dan logistik, potensi pertumbuhan startup sangat tergantung pada pengembangan infrastruktur.

Pemerintah pun aktif mengambil langkah untuk mengatasi tantangan ini, dengan memulai proyek pembangunan seperti Jalan Tol Trans Jawa dan Trans Sumatera di Indonesia.

Adanya infrastruktur dasar yang kuat menjadi faktor penting agar startup bisa memperluas operasional mereka secara efektif.

Walaupun pendanaan dari Modal Ventura (VC) terus bertumbuh di Asia Tenggara, ekosistem startup di kawasan ini masih relatif baru.

Di Indonesia, misalnya, lebih dari 70 persen pendanaan yang diumumkan di publik sejak tahun 2022 adalah untuk tahap awal (seed funding) hingga seri-A.

Sebagian besar perusahaan Dana Kelolaan (Funds) di Indonesia maupun regional pun berinvestasi di startup tahap awal.

Hal ini menunjukkan adanya kekurangan pendanaan untuk pendanaan startup di tahap selanjutnya, sehingga startup perlu lebih kreatif untuk menarik investasi dan mendukung rencana pertumbuhan mereka.

Bagaimana masa depan ekosistem teknologi Asia Tenggara?

Ekosistem teknologi Asia Tenggara masih dipenuhi dengan prospek dan peluang yang menarik. Ada beberapa area strategis yang akan terus bertumbuh.

Pertama adalah pertumbuhan investasi VC tahap awal. Investasi dari sektor swasta, terutama di Singapura, telah berjalan dengan baik, tapi negara-negara lain di Asia Tenggara juga mengalami pertumbuhan investasi yang positif (Straits Times).

Dengan kemunculan Indonesia dan Thailand yang semakin kompetitif menjaring pendanaan, kita bisa melihat lonjakan pertumbuhan startup yang lebih merata di kawasan ini.

Kemunculan VC yang semakin banyak bisa membuka jalan untuk kelahiran unicorn-unicorn baru dan mendukung ekosistem digital secara keseluruhan.

Salah satu area lain yang menarik untuk dicermati adalah ClimateTech. Pasalnya, 9 dari 10 negara anggota ASEAN telah berkomitmen untuk mencapai nol emisi pada tahun 2050.

Hal ini akan mendorong pertumbuhan pesat di sektor teknologi yang berkaitan dengan perubahan iklim.

Asia Tenggara akan berada di garis depan revolusi iklim, dengan menciptakan berbagai peluang bagi startup untuk mengembangkan solusi inovatif yang dapat mengatasi tantangan iklim.

Perusahaan portofolio kami, Fairatmos, yang berbasis di Indonesia, memudahkan masyarakat untuk mengembangkan proyek penyerapan karbon dan membiayai program penghijauan lokal.

Secara global, Natural Climate Solutions (NCS) seperti Agriculture, Forestry, and Other Land Use (AFOLU) berpotensi mengurangi 7 gigaton CO2e per tahun.

Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dapat berperan penting dalam mencapai target ambisius tersebut. Indonesia sendiri bisa menyumbang 20 persen penurunan emisi dari target yang ada.

Kesimpulannya, memang situasi startup Asia Tenggara yang notabene tergolong muda memang sedang menghadapi proses kalibrasi ulang.

Namun, dengan memaksimalkan potensi yang ada dan meminimalasi risiko, kawasan Asia Tenggara bisa bertransformasi menjadi ekosistem startup yang krusial.

Tentu proses ini tidak mudah maupun singkat, tapi dengan memadukan inovasi, visi jangka panjang, resiliensi, dan dedikasi, Asia Tenggara bisa mengembangkan ekosistem startupnya ke level yang lebih besar.

Kita tetap harus menavigasi dinamika perjalanan yang penuh dengan peluang dan tantangan, tapi jangan lupakan kesempatan emas yang menunggu di depan mata, karena Asia Tenggara bisa menjadi pusat startup yang signifikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com