Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Udin Suchaini
ASN di Badan Pusat Statistik

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Tingginya UKT, Pertumbuhan Ekonomi Tergadai

Kompas.com - 21/05/2024, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENERAPAN Uang Kuliah Tunggal (UKT) tak hanya membebani sebagian pihak. Kebijakan ini bakal berdampak jangka pendek peningkatan pendapatan, sekaligus jangka panjang menghambat target pertumbuhan ekonomi.

Padahal, selama ini pendidikan tinggi dan pertumbuhan ekonomi selalu berhubungan dan menjadi fakta dalam berbagai penelitian, sekaligus mudah dibaca melalui berbagai sumber.

Paradoksnya, petinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyebut kuliah sifatnya tersier (Kompas.com - 18/05/2024).

Baca juga: Soal UKT Mahal, Kemendikbud: Pendidikan Tinggi Bersifat Tersier, Tidak Wajib

Jika pemikiran ini representasi Kemendikbud, justru internal pemerintah sendiri yang menggadaikan target pertumbuhan ekonomi pemerintahan baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

Struktur pertumbuhan ekonomi

Struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini sebagian besar merupakan konsumsi rumah tangga, bahkan lapangan usaha pertanian menjadi bagian di posisi utama.

Kondisi ini mengisyarakatkan bahwa pendidikan tinggi membuka peluang peningkatan pendapatan menjadi syarat mutlak untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang direncanakan.

Sementara, meningkatkan kualitas tenaga kerja pada lapangan usaha pertanian juga perlu menjadi pertimbangan.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga masih mendominasi struktur pertumbuhan ekonomi di Indonesia, bahkan mengalami peningkatan.

Pada Triwulan I 2024, BPS mencatat distribusi dari Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) meningkat 2,04 persen poin dari 52,89 persen pada TW-1 2023 menjadi 54,93 persen pada TW-1 2024 terhadap Produk Domestik Bruto.

Secara historis, semakin tinggi tingkat pendidikan, peluang peningkatan kesejahteraan semakin terbuka, namun semakin menjauh dari pertanian. Hal ini terlihat dari distribusi PDB lapangan usaha pertanian konsisten menurun.

BPS mencatat, pada TW1-2024 sebesar 11,61 persen turun 0,17 persen poin dari TW1-2023 sebesar 11,78 persen. Tak hanya itu, lapangan usaha pertanian juga memberi pendapatan terendah.

BPS mencatat, pada Februari 2024, lapangan usaha pertanian merupakan satu dari tiga lapangan usaha dengan upah terendah.

Rata-rata upah lapangan usaha pertanian sebesar Rp 2,24 juta per bulan. Padahal, semakin tinggi pendidikan bakal mencari pendapatan lebih tinggi.

Fakta dapat dilihat dengan mudah, semakin tinggi jenjang pendidikan, upah yang diharapkan juga lebih tinggi.

Hasil Sakernas menunjukkan, buruh berpendidikan DIV/S1/S2/S3 menerima upah sebesar Rp 4,69 juta. Upah ini setara 2,45 kali lipat lebih tinggi dari pendidikan SD ke bawah menerima upah sebesar Rp 1,92 juta.

Sayangnya, struktur penduduk Indonesia dengan pendidikan tinggi di atas SMA masih rendah, kurang dari 10 persen.

Hasil kegiatan Sensus Penduduk Long Form 2020 menunjukkan, penduduk dengan pendidikan Diploma 1 hingga pascasarjana hanya sebesar 7,57 persen.

Sementara penduduk dengan ijazah SMA sederajat hanya 26,22 persen. Sisanya memiliki pendidikan SMP ke bawah, bahkan masih ada yang tidak sekolah.

Sederhananya, UKT yang tinggi berdampak pada dua sisi, menghambat peningkatan kesejahteraan, sekaligus menjaga ketersediaan buruh pendidikan rendah di negeri sendiri.

Implikasinya, jika UKT semakin tak terjangkau masyarakat menengah ke bawah, lapangan usaha dengan kriteria rendah diuntungkan dengan melimpahnya tenaga kerja. Padahal, saat ini banyak terjadi PHK pada perusahaan-perusahaan padat karya.

Sementara, jika UKT dibuat terjangkau, maka pemerintah perlu meningkatkan ekosistem pekerjaan yang bersifat formal dan soft skill. Apalagi, target pemerintah menjadi negara maju dan dalam aksesi menuju keanggotaan OECD.

Pendidikan Pertanian

Banyaknya penduduk dengan pendidikan tinggi memiliki dampak positif yang signifikan terhadap pertumbuhan PDB, setidaknya di 38 negara OECD.

Kajian yang dilakukan Li dkk (2024), peningkatan proporsi pendidikan tinggi berkontribusi positif dan signifikan pada pertumbuhan PDB.

Seiring dengan hilirisasi, peran pendidikan tinggi perlu disesuaikan melalui pengembangan bakat yang sesuai dengan situasi pembangunan aktual negara.

Namun, dalam rangka ketahanan pangan, juga perlu ditopang oleh kampus-kampus pencetak sarjana pertanian.

Kampus-kampus jurusan pertanian perlu penyesuaian, pasar kerja apa yang layak untuk difasilitasi. Karena seringkali muncul stigma negatif ”untuk apa kuliah tinggi kalau hanya menjadi petani?”

Selama ini, sarjana pertanian banyak bekerja di luar sektor pertanian. Hal ini hanya mempertegas bahwa pendidikan kita tidak sesuai kebutuhan pasar.

Sementara, lapangan usaha pertanian juga perlu dibenahi, dari arah konvensional menjadi industri pertanian modern. Supaya ada kebanggaan bahwa lulusan sarjana pertanian menjadi pahlawan garda terdepan ketahanan pangan.

Karena selama ini pendidikan pertanian kita tidak seirama dengan narasi yang disampaikan Nelson Mandela, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world."

Jika ekosistem pendidikan tidak berbenah sesuai kebutuhan pertumbuhan ekonomi, mudah saja tergilas negara lain di tengah kapabilitas penduduk yang terbatas.

Saat kuliah dianggap tersier dan UKT tetap tinggi dan terus meningkat setiap tahunnya, pengambil kebijakan seakan tutup mata dari banyak fakta masa lalu yang sebenarnya mudah dibaca.

Ada korelasi antara kualitas pendidikan dengan status ekonomi dalam suatu negara. Tak heran, banyak negara maju menawarkan pendidikan berkualitas lebih tinggi.

Menurut Kemitraan Global untuk Pendidikan, selama ini, AS selalu mendapatkan peringkat tinggi dalam survei sistem pendidikan.

Kekuatan infrastruktur pendidikan suatu negara menunjukkan apa yang ditawarkan negara tidak hanya kepada rakyatnya sendiri, tetapi juga kepada dunia.

Pada 2023, menurut Kemitraan Global untuk Pendidikan, beberapa negara bereputasi di bidang pendidikan. Seperti Amerika Serikat pada peringkat 1, United Kingdom peringkat ke 2, kemudian Jerman, Kanada, Perancis, Jepang, Switzerland, Australia, Swedia, hingga Denmark peringkat 3 hingga 10.

Sayangnya, Indonesia menempati ranking 58, jauh di bawah Malaysia (39), India (34), dan Brasil (32).

Bahkan, para pemikir masa lalu pun telah menempatkan pendidikan perguruan tinggi jauh lebih dari sekadar mengatasi tantangan mata pelajaran yang diajarkan.

Dalam pandangan Solow (1957), pertumbuhan output per kapita berasal dari stok modal per kapita untuk mengadopsi kemajuan teknologi demi pembangunan ekonomi berkelanjutan jangka panjang.

Hal ini diamini juga oleh Schultz (1961), bahwa sumber daya manusia berfokus pada keterampilan dan pengetahuan, dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

Pemahaman ini diteruskan oleh Lucas (1988) dan Romer (1990), bahwa stok modal manusia menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Sekarang, dunia sedang berubah. Teknologi berkembang melampaui impian terliar kita. Jika pengambil kebijakan tutup mata atas fakta-fakta yang mudah ditemukan ini, pertumbuhan ekonomi tujuh persen bakal tergadai oleh sistem pendidikan di negeri sendiri.

Terlebih, tingginya UKT menghambat peluang peningkatan kesejahteraan yang justru dilakukan oleh pengambil kebijakan sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com