LANGKAH yang berani dan mungkin terburu-buru, Menteri Perdagangan Indonesia Zulkifli Hasan telah mengumumkan wacana pemberlakuan tarif impor sebesar 200 persen pada produk-produk China.
Kebijakan drastis ini dimaksudkan untuk melindungi industri tekstil Indonesia yang sedang goyah karena barang-barang China yang membanjiri pasar akibat perang dagang AS-Tiongkok yang sedang berlangsung.
Inti dari inisiatif ini mencerminkan prinsip ekonomi proteksionisme yang telah lama ada—melindungi sekarang, tetapi dengan biaya masa depan apa?
Alasan langsung untuk intervensi semacam itu tampak jelas: sektor tekstil Indonesia berada di ambang kehancuran, nyaris bertahan di atas garis kontraksi dengan Indeks Manajer Pembelian (PMI) sebesar 50,7.
Banjir tekstil China yang lebih murah dan berlebih mengancam untuk mendorongnya ke jurang, membahayakan mata pencaharian banyak pekerja sektor ini, yang sangat penting bagi perekonomian negara.
Dalam jangka pendek, penerapan tarif mungkin tampak seperti langkah yang diperlukan untuk menahan banjir impor.
Namun, ketika dianalisis lebih dalam, efektivitas dan dampak dari langkah proteksionisme semacam itu menghasilkan campuran yang kompleks antara potensi bahaya ekonomi dan gesekan diplomatik.
Secara historis, proteksionisme berfungsi sebagai penopang pembangunan bagi negara-negara yang menumbuhkan industri baru, melindungi mereka dari persaingan internasional yang keras.
Namun, strategi ekonomi ini tidak tanpa jebakannya. Di Indonesia, tarif 200 persen yang diusulkan pada impor Tiongkok, meskipun tampak sebagai perisai, bisa berubah menjadi pedang yang tergantung di atas kepala ekonomi yang lebih luas.
Pertama, tarif semacam itu pasti akan meningkatkan biaya barang mengingat tekstil bukan hanya bahan baku industri, tetapi juga barang konsumsi.
Kenaikan harga akan membebani dompet konsumen Indonesia, terutama berdampak pada rumah tangga berpenghasilan rendah dan memperlebar kesenjangan ekonomi.
Lebih jauh lagi, efek riak dari tarif semacam itu kemungkinan besar akan meluas ke sektor industri Indonesia.
Banyak bisnis Indonesia, terutama usaha kecil dan menengah yang sudah berjuang dengan margin keuntungan tipis, bergantung pada impor China yang terjangkau untuk tetap kompetitif.
Tarif yang diusulkan dapat meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar global.
Selain itu, tarif protektif dapat secara tidak sengaja menghambat inovasi dan efisiensi di dalam industri domestik dengan mengurangi insentif untuk memperbaiki dan bersaing secara global, suatu fenomena yang dikenal sebagai "X-inefficiency."