Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Brigitta Valencia Bellion
KOMPAS.com - Saat ini, dunia kerja menjadi semakin inklusif sehingga singgungan dengan rekan kerja dari berbagai latar belakang pun semakin tinggi. Perbedaan ini harus dimaknai sepositif mungkin agar kita bisa saling menghargai.
Tak hanya pekerja, lingkungan yang positif ini juga harus dibangun oleh pemimpin. Itu sebabnya, mampu memahami inklusivitas merupakan salah satu kompetisi yang harus dimiliki pemimpin saat ini.
Melalui sikap ini, seorang pemimpin bisa beradaptasi dengan cepat pada berbagai situasi. Selain itu, mereka juga terbuka terhadap berbagai macam perspektif tanpa menghakimi.
Akibatnya, pemimpin yang inklusif pun jadi lebih dihargai oleh anggota timnya. Informasi ini pun dijelaskan secara lengkap dalam siniar Obsesif bertajuk “Kepemimpinan Inklusif Bikin Kamu Lebih Dihargai” dengan tautan akses dik.si/ObsesifS8EP8.
Penelitian Harvard Business Review menunjukkan kepemimpinan inklusif bisa membawa dampak baik pada tim, di antaranya mereka akan bekerja lebih baik karena meningkatnya potensi kolaborasi. Singgungan antaranggota akan berdampak pada membuat keputusan dengan mempertimbangkan argumen setiap anggota tim.
Baca juga: Peran Empati dalam Kepemimpinan
Hal ini juga relevan dengan sikap kerja para pekerja Gen Z yang lebih mengutamakan kolaborasi, menurut penelitian McKinsey. Dengan kolaborasi, mereka akan merasa dilibatkan dan diberdayakan karena pendapatnya diperlakukan adil dan setara.
Semakin banyak anggota tim yang dilibatkan, makin banyak pula karyawan yang mengungkapkan pendapatnya, berusaha lebih keras, dan berkolaborasi sehingga pada akhirnya meningkatkan kualitas kerja. Baik melalui pendekatan personal atau diskusi terbuka.
Kepemimpinan inklusif pun juga berguna saat berhubungan dengan pihak eksternal. Kemampuan unik sekaligus kritis ini mampu membantu tim beradaptasi mengembangkan produk atau jasa karena dapat memahami keinginan klien dan target konsumen.
Menjadi pemimpin yang inklusif memang memiliki singgungan tipis dengan pemimpin yang hanya sekadar baik. Namun, ia memiliki beberapa ciri spesifik yang menjadi pembeda.
Melansir Harvard Business Review, pertama adalah memperlihatkan komitmen yang tinggi. Komitmen ini diperlihatkan dengan sikap terbuka saat mendengarkan pendapat orang lain.
Selain itu, mereka juga tak akan merasa puas dan mengajak para anggota timnya untuk saling bertukar pendapat untuk memecahkan masalah. Di sana, pemimpin akan bertindak sebagai fasilitator dan memberikan masukan baru.
Kedua adalah memiliki kerendahan hati. Artinya, mereka tak membeda-bedakan pendapat anggota timnya, mau mengakui kesalahan, dan menciptakan ruang bagi orang lain untuk berkontribusi.
Ketiga adalah sadar akan potensi kegagalan atau kesalahan. Menjadi pemimpin yang inklusif bukan berarti harus jadi sosok sempurna setiap saat. Jika melihat anggota timnya melakukan kesalahan, mereka harus berani menegur dan mengarahkan ke jalan yang tepat.
Keempat, yaitu memiliki keingintahuan tentang orang lain. Pemimpin yang inklusif akan menunjukkan pola pikir terbuka dan rasa ingin tahu yang mendalam tentang orang lain. Mereka juga lebih banyak mendengarkan tanpa menghakimi, dan berusaha dengan empati untuk memahami orang-orang di sekitar.
Baca juga: Strategi Naik Gaji di Tahun 2023