Oleh: Renanto Putra Wijaya S.Si., M.Si.*
DALAM menyambut peralihan teknologi yang sangat besar pada dunia otomotif, yaitu elektrifikasi kendaraan, pemerintah Indonesia mencoba mengambil peran dengan memainkan kebijakan yang menguntungkan negara dengan proteksi dan eksploitasi nikel secara masif.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 secara tegas hendak meningkatkan hilirisasi industri nikel untuk nilai tambah dalam negeri dengan melarang ekspor langsung bijih nikel sejak 1 Januari 2020.
Akibat peraturan tersebut Indonesia sampai digugat oleh Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO), yang akhirnya WTO memenangkan Uni Eropa dengan alasan industri hilir yang belum matang.
Namun, pada akhirnya Indonesia akan mengajukan banding atas putusan tersebut dengan dalih pembangunan smelter dalam negeri sedang didorong terus mulai dari perizinan sampai dengan kemudahan lainnya.
Ketegasan pemerintah Indonesia tersebut tidak lepas dari manisnya pasar nikel yang terus meningkat setiap tahunnya untuk berbagai sektor industri terutama mobil listrik.
Pertumbuhan pasar nikel dunia sejak 2016 sampai 2022 mencapai 36 persen dari 1.850 kiloton menjadi 2.930 kiloton.
Sementara itu, peningkatan permintaan akan nikel untuk industri yang berkaitan dengan mobil listrik sebesar 500 persen pada periode sama.
Mimpi Indonesia kedepan adalah menjadi pemain utama dalam industri baterai, menjadikan Indonesia bagian dari rantai pasok penting dalam industri baterai.
Hal tersebut mulai menemukan titik terang di mana pada 2022 Indonesia dinobatkan menjadi produsen nikel terbesar di dunia.
Namun, di balik semua cerita kesuksesan Indonesia menjadi pemain global dalam industri nikel terdapat potensi yang tidak meguntungkan Indonesia kedepannya.
Hal tersebut karena para manufaktur utama mobil listrik dunia seperti Tesla dan BYD berencana meninggalkan teknologi baterai berbasis nikel, yaitu Lithium Nickel Manganese Cobalt (NMC) dan beralih ke teknologi lain, yaitu Lithium Iron Phospate (LFP).