Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akhmad Idris
Dosen

Dosen

Mengadopsi Budaya Bertani di Jepang

Kompas.com - 18/09/2023, 14:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEKTOR pertanian merupakan satu di antara kunci masa depan ketahanan pangan di Indonesia. Keberlanjutan regenerasi petani sebagai produsen pangan yang tidak dapat dipastikan, akan menjadi masalah besar bagi ketahanan sosial.

Logika sederhananya seperti ini: jika generasi muda Indonesia enggan berprofesi sebagai petani, maka rakyat Indonesia akan mengalami kesulitan memperoleh ketersediaan pangan.

Ketersediaan pangan bisa saja terpenuhi, lewat jalur impor, tetapi pilihan ini tentu akan membebani anggaran Negara yang ‘terbatas’.

Ditambah lagi, sebutan Negara Agraris, padahal secara data, Indonesia kini tak lagi agraris karena sektor industri yang paling banyak memberikan sumbangan pertumbuhan ekonomi yang telanjur melekat erat.

Rasa enggan untuk menjadi seorang petani di dalam benak para pemuda, membuat pemerintah segera berupaya mengatasi ancaman regenerasi petani lewat program pemagangan petani muda ke Jepang.

Program ini merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang diselenggarakan oleh BPPSDMP (Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian) Kementerian Pertanian sejak 1984.

Sistematika sederhana program ini adalah BPPSDMP melakukan seleksi terhadap para calon pemagang, lalu para peserta yang dinyatakan lolos seleksi (biasa disebut sebagai kenshuusei/trainee/pebelajar sambil bekerja) akan diberangkatkan ke Jepang untuk mempelajari pertanian modern di Jepang.

Tentunya mereka membutuhkan proses adaptasi selama 8 bulan/1 tahun/2 tahun. Ketika kembali ke Indonesia, mereka dapat mengadopsi segala ilmu yang telah diperoleh di Jepang untuk diterapkan di Indonesia.

Kelihatannya memang sederhana, tetapi fakta di lapangan kerap kali tak sesederhana kelihatannya.

Di luar itu, program ini tetaplah menjadi secercah harapan untuk keberlangsungan profesi petani di bumi pertiwi yang sering ‘dipandang sebelah mata’.

Penurunan minat bertani generasi muda disebabkan berbagai faktor. Satu di antaranya adalah alih fungsi lahan.

Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian pada 2015, dampak dari konversi lahan pertanian menjadi lahan perumahan adalah kehilangan sekitar 2 persen rumah tangga petani setiap tahunnya.

Mereka lebih memilih ‘berhijrah’ menjadi seorang pekerja pabrik, buruh bangunan, pedagang, dan lain sebagainya. Keuntungan profesi petani semakin sulit dicari jika lahan pertanian semakin ‘dilenyapkan’.

Faktor lainnya yang juga ‘cukup’ berpengaruh dalam penurunan minat bertani generasi muda, menurut Suyanto (2017) dalam tulisannya berjudul Krisis Regenerasi Petani Muda, yaitu asumsi yang memandang profesi petani identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidaksejahteraan.

Jika memang sudah seperti ini, maka program kenshuusei pertanian di Jepang diharapkan mampu mengubah persepsi ‘mengerikan’ tersebut sekaligus mampu menyiasati maraknya alih fungsi lahan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com