Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akhmad Idris
Dosen

Dosen

Mengadopsi Budaya Bertani di Jepang

Kompas.com - 18/09/2023, 14:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Orang tua ‘angkat’ Ishak selama di Jepang, dalam hal ini biasanya disebut dengan istilah Otosan, sering mengingatkan Ishak bahwa lahan adalah kehidupan bagi seorang petani, sehingga harus dijaga kelestariannya.

Pemahaman seperti ini justru berbanding terbalik dengan pemahaman yang beredar di masyarakat Indonesia, yakni kecenderungan lahan semakin menyempit karena dibagi-bagikan kepada anak-cucu sebagai bentuk warisan.

Memang benar warisan harus dibagikan kepada ahli waris, tetapi pembagian warisan tidak harus dengan cara mempersempit lahan.

Satu di antara cara membagi warisan tanpa mengurangi luas lahan adalah membagi hasil bumi atas lahan tersebut, sehingga lahan tetap terjaga kelestariannya alias tidak hilang dan ‘bermutasi’ menjadi nominal angka-angka yang kerap dipanggil dengan sebutan ‘uang’.

Adopsi pengetahuan dari Jepang untuk diaplikasikan di Indonesia memang dinanti oleh keluarga dan masyarakat, tetapi dalam praktiknya hal itu tidak semudah menjektikkan jari.

Perbedaan sudut pandang antara petani modern dan petani konvensional kerap kali menimbulkan konflik berkepanjangan yang ujung-ujungnya membuat para alumni kenshuusei pertanian menyerah dan patah semangat.

Peran pemerintah dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini lewat penyuluhan informasi dari desa ke desa bahwa ‘pengetahuan baru’ yang dibawa alumni kenshuusei tidak bertujuan menggilas budaya bertani yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Sebaliknya, untuk mengukuhkan eksistensi tradisi bertani agar mampu bersaing dengan zaman yang semakin modern ini.

Standar seleksi calon peserta kenshuusei juga perlu dievaluasi secara berkala agar peserta magang pertanian ke Jepang benar-benar tepat sasaran, bukan hanya sekadar peserta yang ingin mendapatkan uang saku yang memang cukup besar.

Akhir kata, semoga program kenshuusei pertanian di Jepang ini tetap berlangsung secara konsisten dan menjaga keberlangsungan profesi bertani di bumi pertiwi ini.

Dengan berbagai hal yang masih perlu dievaluasi, program ini tetaplah menjadi secercah harapan untuk keberlangsungan profesi petani di bumi pertiwi yang sering ‘dipandang sebelah mata’.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com