Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akhmad Idris
Dosen

Dosen

Mengadopsi Budaya Bertani di Jepang

Kompas.com - 18/09/2023, 14:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Adopsi budaya bertani di Jepang

Para kenshuusei yang telah diberangkatkan ke Jepang untuk belajar ihwal pertanian akan dihadapkan dengan bahasa dan budaya ‘baru’.

Komunikasi sehari-hari yang tidak lagi menggunakan bahasa Jawa, Sunda, dll, beralih menggunakan bahasa Jepang, akan menjadi langkah awal adaptasi mereka di Negeri Sakura.

Selain bahasa, kondisi cuaca dan penggunaan alat-alat pertanian di Jepang yang berbeda dengan di Indonesia juga menjadi PR untuk para kenshuusei.

Dari pelbagai kisah pemagangan inilah, diperoleh budaya bertani di Jepang yang dapat diaplikasikan oleh para kenshuusei ketika kembali ke Tanah Air mereka. Satu di antaranya adalah budaya disiplin terhadap waktu.

Kedisiplinan waktu di Jepang dirasakan oleh Nanang, salah satu alumni kenshuusei pertanian tahun 1999 yang diceritakan Devi Riskianingrum (2018) dalam tulisannya berjudul Kisah-Kisah Transformasi Pengetahuan Alumni Magang Jepang dalam Perspektif Sejarah.

Disebutkan oleh Nanang bahwa kehidupan di Jepang telah terjadwal dengan rapi, baik dalam urusan pekerjaan maupun kegiatan rutin harian.

Misalnya, waktu bekerja di ladang dimulai pukul 7 pagi dan berakhir di pukul 5 sore. Selalu seperti itu, tidak boleh terlambat.

Budaya ini agaknya perlu benar-benar diadopsi di Indonesia yang konon jam di Indonesia adalah ‘Jam Karet’. Artinya, jam atau waktu yang bisa dimajukan atau dimundurkan sesuka hati.

Ketika kegiatan telah dijadwalkan pukul 09.00, maka menjadi rahasia umum bahwa peserta akan berkumpul pada pukul 10.00. Hebatnya lagi, budaya seperti ini telah dianggap biasa. Luar biasa, bukan?

Tak hanya ihwal kedisiplinan waktu, ada pula konsep “bertani mulai dari pasar” seperti pengalaman alumni kenshuusei pertanian tahun 1987 asal Lembang bernama Ishak.

Selama 8 bulan di Jepang, Ishak memperoleh pemahaman baru bahwa tanaman yang diolah petani di Jepang ditanam berdasarkan kebutuhan pasar. Konsep semacam ini bertujuan menghindari kelebihan produksi.

Lalu, apa keuntungan dari ketiadaan kelebihan produksi? Logika sederhananya seperti ini: jika produksi tanaman terlalu banyak, maka harga komoditas tanaman tersebut menjadi rendah (karena stok teralu berlimpah) dan hal ini tentu saja merugikan petani.

Penggunaan konsep “bertani mulai dari pasar” akan lebih memberikan janji keberlangsungan pertanian dengan keuntungan yang lebih baik.

Pemahaman seperti inilah yang tidak ditemui oleh Ishak ketika berada di Lembang. Sang ayah dengan lahan seluas lima hektare selalu menanam komoditas yang sama, yakni kentang dan jagung, sebab tidak berani mengambil risiko.

Budaya Jepang selanjutnya yang tidak kalah penting adalah pengetahuan tentang kepemilikan lahan. Budaya ini masih berdasarkan kisah pengalaman magang dari Ishak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com