Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Titania Audrey Al Fikriyyah
Pegawai Negeri Sipil

Anggota Komunita Kemenkeu

Merancang Strategi Fiskal Daerah di Tengah Ketidakpastian Global

Kompas.com - 11/01/2024, 17:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETAHUN lalu, para pengamat ekonomi global memprediksi tahun 2023 akan menjadi “gelap”. Prediksi tersebut karena krisis ekonomi, pangan, energi, serta geopolitik yang secara bertubi-tubi terjadi pada tahun tersebut.

Kini setahun setelah pernyataan tersebut, di tengah rata-rata inflasi global yang diperkirakan mencapai 6,9 persen, Indonesia berhasil meredam laju inflasi di angka 2,61 persen.

Namun tantangan belum berhenti di sana. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pada dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PKF) Tahun 2024 bahwa ada empat tantangan besar yang sedang dan akan dihadapi perekonomian global ke depan.

Pertama, ketegangan geopolitik. Kedua, cepatnya perkembangan teknologi digital. Ketiga, perubahan iklim serta respons kebijakan yang mengikutinya. Keempat, Covid-19 telah menjadi bukti munculnya pandemi tidak terelakkan.

Dalam menghadapi situasi ketidakpastian global yang masih akan terjadi beberapa tahun ke depan, perlu ada penguatan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan program-program prioritas. Khususnya mendorong pertumbuhan konsumsi dan melindungi kelompok rentan.

Untuk mengakomodasi sinergitas program pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pada awal 2022 telah terbit Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Banyak harapan mengiringi terbitnya beleid baru ini sebagai solusi untuk memecahkan masalah desentralisasi yang belum terjawab selama dua dekade terakhir.

Karena selama dua dekade pelaksanaannya, sistem desentralisasi belum cukup menjawab isu kemandirian fiskal daerah, rendahnya rasio pajak daerah, ataupun ketimpangan yang terjadi antardaerah.

Di tengah ketidakpastian global akibat fragmentasi geopolitik dan geoekonomi yang terjadi, program pemerintah daerah perlu bersinergi dengan pemerintah pusat untuk memastikan visi Indonesia Emas 2045 dapat tercapai.

Salah satu amanat UU HKPD yang dapat dimanfaatkan untuk menghadapi situasi ketidakpastian global adalah pemberian insentif fiskal.

Pemberian insentif dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Misalnya, bagi daerah yang mempunyai tingkat penggangguran tinggi dapat memberikan insentif fiskal bagi usaha mikro, ultra mikro ataupun industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.

Ataupun bagi daerah yang memiliki tingkat kesenjangan kepemilikan rumah (backlog) yang tinggi, insentif fiskal dapat diberikan berupa pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk masyarakat berpenghasilan rendah dalam memperoleh hunian di rentang harga tertentu.

Namun, pemberian insentif fiskal juga perlu memperhatikan kinerja penerimaan daerah. Pemberian insentif harus bersifat timely, targeted, dan temporary sehingga dapat memberikan manfaat optimal bagi daerah tanpa menurunkan penerimaan daerah secara drastis.

Karena sesuai dengan ketentuan UU HKPD, pemerintah daerah wajib mengalokasikan belanja infrastruktur pelayanan publik paling rendah 40 persen dari total belanja APBD di luar belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada daerah dan/atau desa.

Artinya semakin besar penerimaan suatu daerah, maka semakin besar juga anggaran belanja infrastruktur. Adanya infrastruktur yang memadai akan mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com