Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bea Cukai, Dulu Tenar Jadi Sarang Pungli, Sempat Dibekukan Soeharto

Kompas.com - 01/05/2024, 14:03 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Sejak beberapa hari terakhir, institusi Bea Cukai menuiai panen kritik di media sosial. Sejumlah warganet memprotes sulitnya pengurusan pengeluaran barang yang dibeli dari luar negeri.

Beberapa waktu sebelumnya, Ditjen Bea Cukai juga sempat jadi sorotan publik. Gaya hidup mewah para pejabat Bea Cukai dan keluarganya jadi salah satu yang dikritik.

Setelah ramai, sejumlah pejabat eselon Bea Cukai juga turut dipanggil Inspektorat Kemenkeu hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan klarifikasi soal asal muasal harta kekayaannya.

Andhi Pramono, mantan Kepala Bea Cukai Makassar, belakangan bahkan divonis penjara 10 tahun karena terbukti menerima gratifikasi.

Kasus yang menimpa Andhi Pramono mencuat setelah putrinya pamer kekayaan di media sosial bersamaan dengan ramainya pemberitaan Mario Dandy, anak pegawai Pajak yang juga kerap memamerkan gaya hidup glamor.

Baca juga: Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Beberapa hari setelahnya, pejabat Bea Cukai lainnya bernama Eko Darmanto, juga ditangkap KPK. Diketahui, eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta ini sering mengunggah gaya hidup mewah di media sosialnya.

Dulu terkenal sarang pungli

Dikutip dari artikel yang ditulis di laman resmi Media Keuangan (MK+) Kementerian Keuangan, institusi Bea Cukai pernah dibekukan pemerintah Orde Baru karena menjadi sarang korupsi yang sedemikian parah.

Presiden Soeharto kala itu sangat gerah dengan praktik korupsi yang sangat marak di Bea Cukai. Meski tak sampai dibubarkan, Soeharto memutuskan membekukan institusi ini.

Di era Orba, praktik korupsi, terutama pungutan liar (pungli), dianggap begitu lekat dengan pegawai Bea Cukai. Mereka melakukan kongkalikong dengan pengusaha ekspor impor.

Banyak pengusaha menyuap pegawai Bea Cukai untuk memuluskan penyelundupan. Praktik ini kerap disebut dengan "Uang Damai".

Baca juga: Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Pada 6 Juni 1968, Menteri Keuangan dijabat oleh Ali Wardhana. Kala itu, terjadi banyak penyelewengan dan korupsi di Bea dan Cukai.

Menurut jurnalis Mochtar Lubis, praktik-praktik penyelundupan dan penyelewengan di Bea Cukai terjadi karena terjalin kongkalikong antara Bea Cukai dan importir penyelundup.

“Dan kerja Bea Cukai hanya mengadakan ‘denda damai’ belaka yang memuaskan semua pihak yang bersangkutan. Menteri Keuangan patut memeriksa praktik-praktik ‘denda damai’ ini, yang kelihatan telah menjadi satu pola kerja yang teratur,” tulis Mochtar di harian Indonesia Raya, 22 Juli 1969, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya.

Menurut Mochtar, pimpinan lama harus diganti dengan orang baru yang tak terlibat dalam jaring-jaring vested interest (kepentingan pribadi) yang telah berakar lama antara Bea Cukai dan importir-penyelundup.

Selain itu, perubahan bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga personalia pelaksananya. Namun nyatanya, keadaan demikian bertahan cukup lama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com