Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Soal China di Natuna, Pemerintah Disarankan Rekrut "Mata-mata"

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia saat ini lebih mengedepankan jalur diplomatik untuk penyelesaian masalah pelanggaran zona ekonomi eksklusif (ZEE) oleh China di Natuna Utara.

Selain itu, secara bersamaan, upaya pengetatan perbatasan dilakukan pemerintah mengirimkan tambahan lima kapal perang atau KRI ke Natuna guna menambah jam patroli laut.

Pendiri Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa mengatakan, laut Indonesia terlalu luas untuk diawasi jumlah kapal patroli gabungan yang ada saat ini baik yang berasal TNI AL, Bakamla, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

"Ada satu kekuatan yang masih belum dioptimalkan, yaitu kehadiran nelayan lokal. Di Natuna ini harus dimanfaatkan nelayan setempat. Nelayan lokal tidak hanya cuma sebagai sumber daya ekonomi saja," kata Mas Achmad kepada Kompas.com, Senin (6/1/2020).

Konsep pengawasan kedaulatan maritim dengan mengandalkan nelayan lokal, kata dia, sudah sejak lama diterapkan China. Apalagi, nelayan China juga dilatih bela negara.

"Jadi bukan lantas meniru China. Kita bisa manfaatkan nelayan kita sebagai mata-mata, mengintai kehadiran kapal asing, direkrut untuk membantu mengawasi," ungkap Mas Achmad.

Mantan Koordinator Satgas 115 ini berujar, di Natuna, perairan ini cakupannya sangat luas dan jauh dari pulau utama. Mengandalkan patroli kapalm TNI AL, Bakamla, dan KKP jelas masih jauh dari cukup.

"Pemerintah harus perbantukan mereka dengan menyediakan alat-alat komunikasi radio, kamera, GPS. Ini yang belum diberdayagunakan di Indonesia. Mereka ini penyuplai informasi yang efektif. Pendekatannya harus begitu," ungkapnya.

Di China, pemerintah menyediakan sarana pengawasan untuk nelayan-nelayan yang diperbantukan.

"Di China sudah jelas, nelayan itu dijadikan militia (milisi) bela negara. Dan mereka diakui (kelembagaan) karena didik untuk bela negara," ucap Mas Achmad.

Lanjut dia, KKP juga perlu mendorong lebih banyak nelayan berlayar ke Natuna. Selama ini, wilayah perairan Natuna cukup sepi bagi kapal-kapal nelayan lokal.

Berdasarkan data KKP, wilayah perairan Natuna masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711. WPP 711 di dalamnya termasuk perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan.

Dia menyarankan KKP, agar mendorong nelayan lokal seperti di Pantai Utara Jawa, agar lebih banyak yang melaut ke Natuna dengan beberapa insentif, seperti pengurangan atau bahkan menghilangkan pungutan hasil perikanan.

"Di WPP 711 ada sekitar 811 kapal yang beroperasi, cukup banyak, tapi masih belum sebanding dengan wilayahnya yang sangat luas. Rata-rata kapalnya juga antara 70-75 gross ton (GT). Jadi bisa diberi insentif," jelas Mas Achmad.

Kehadiran penting

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, menekankan perlunya KKP mendorong lebih banyak aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan-nelayan Indonesia di Laut Natuna.

"Dalam diplomasi internasional, kehadiran merupakan kata kunci yang harus dimenangkan," kata dia.

Untuk itu, Abdul Halim menyebutkan, KKP harus benar-benar membangun sektor kelautan dan perikanan nasional secara terus-menerus sehingga eksistensi NKRI betul-betul terasa nyata di Natuna.

Hal tersebut, lanjutnya, dapat dilakukan dengan membawa semua kementerian/lembaga negara menggelar kekuatan secara kolektif sesuai tupoksinya secara koordinatif di beranda negeri ini.

"Dengan cara itulah, kita bisa memenangkan pertarungan menghadapi klaim tak berdasar dari China atau negara lainnya," katanya.

https://money.kompas.com/read/2020/01/06/124639126/soal-china-di-natuna-pemerintah-disarankan-rekrut-mata-mata

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke