Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyederhanakan Struktur Tarif Cukai Rokok

Jumlah tarif cukai rokok dari 12 strata, akan disederhanakan menjadi 5 strata saja pada 2021.

Sayang, baru setahun berjalan, kebijakan ini dibatalkan pada 2018. Minimnya penjelasan inilah yang memunculkan berbagai spekulasi tentang kuatnya intervensi dalam menyetir pembatalan beleid ini.

Alasan yang banyak mengemuka adalah penyederhanaan struktur tarif cukai rokok merugikan pabrikan rokok menengah dan kecil. Tapi apakah faktanya benar demikian?

Berbeda dengan alasan yang dikemukakan para penentang simplifikasi, analisis atas peta jalan penyederhanaan struktur tarif cukai sesuai PMK 146/2017 justru sebenarnya menguntungkan seluruh industri, utamanya pabrikan kecil dan menengah.

Selain itu, struktur tarif cukai yang lebih sederhana akan mengoptimalkan pengawasan dan pengendaliannya.

Problematika struktur tarif cukai

Saat ini, pemerintah mengenakan tarif cukai rokok berdasarkan struktur tarif yang terdiri dari 10 strata.

Secara umum, pembagian golongan struktur tarif cukai dibagi ke dalam tiga jenis: sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT)/sigaret putih tangan (SPT).

Dalam golongan SKM dan SPM, terdapat 3 layer tarif berbeda sesuai jumlah produksi dan nilai harga jual eceran, sedangkan dalam golongan SKT/SPT terdapat 4 layer tarif berbeda.

Dalam SKM dan SPM, pembagian golongan diatur dengan jumlah produksi per tahun. Pabrikan yang memproduksi di atas 3 miliar batang rokok per tahun dikenakan tarif golongan 1 atau tarif paling mahal.

Pabrikan dengan produksi kurang dari 3 miliar batang per tahun, dikenakan tarif golongan 2 yang lebih murah.

Batasan jumlah produksi 3 miliar yang notabene bertujuan memisahkan pabrikan besar dan kecil pada praktiknya menjadi sumber persoalan. Pemisahan segmentasi struktur tarif dalam SKM dan SPM justru mendorong munculnya praktik penghindaran pajak.

Ada sejumlah perusahaan rokok multinasional yang membayar cukai SKM dan SPM di golongan 2 yang diperuntukkan pabrikan kecil dan menengah.

Sepanjang produksi dalam masing-masing segmen tersebut tidak melebihi 3 miliar batang per tahun, pabrik rokok raksasa yang beroperasi di banyak negara, justru bisa membayar cukai yang sama murahnya dengan pabrikan kecil dan lokal.

Rupanya pada struktur cukai saat ini, pemerintah tidak menetapkan skala besaran pabrik yang bisa menggunakan layer cukai golongan 2 dengan menghitung total produksi rokok dalam satu perusahaan/pabrikan. Yang terjadi ialah perhitungan produksi dilakukan terpisah untuk setiap jenis produk rokok.

Celah ini membuka peluang perusahaan rokok memproduksi rokok tidak lebih dari 3 miliar batang per tahun di masing-masing jenis agar dikenakan cukai lebih murah.

Dengan celah ini, satu pabrikan dapat memproduksi SKM lebih dari 3 miliar batang per tahun dan membayar cukai Golongan 1 SKM, tapi SPM yang kurang dari 3 miliar batang per tahun tetap boleh membayar tarif cukai SPM Golongan 2 yang lebih murah.

Padahal, berbagai studi menyebut jika pemerintah menggabungkan perhitungan total produksi SPM dan SKM sebagai basis penentuan golongan pabrikan untuk pembayaran cukai, negara akan mendapatkan tambahan penerimaan lebih dari Rp 1 triliun.

Angka ini semakin besar karena pada tahun 2020 pemerintah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 23 persen.

Kebijakan ini juga akan menyebabkan pabrikan besar yang memiliki kekuatan modal dan jaringan pemasaran yang luas "naik kelas" dan membayar tarif cukai rokok paling mahal.

Celah penghindaran pajak bukan hanya berpotensi merugikan keuangan negara. Celah ini juga mendorong perusahaan raksasa menjual produk lebih murah dan berkompetisi langsung dengan pabrikan menengah dan kecil.

Jadi struktur tarif cukai yang seperti saat ini justru menciptakan iklim kompetisi bisnis yang tidak sehat karena perusahaan menengah dan kecil bersaing langsung dengan perusahaan raksasa.

Simplifikasi dan penggabungan perhitungan total SKM dan SPM akan secara tegas memisahkan pabrikan besar dengan produksi di atas 3 miliar batang per tahun dan pabrikan yang benar-benar kecil, dengan total produksi SKM dan SPM di bawah 3 miliar batang/tahun.

Sementara untuk SKT dan SPT yang merupakan industri padat karya, penyederhanaan struktur tarif cukai rokok hanya menyederhanakan dari 4 strata menjadi 3 strata.

Yang terdampak hanya pabrik rokok SKT/SPT golongan I yang notabene pabrikan besar dengan produksi di atas 2 miliar batang/tahun.

Adapun Golongan II dan III, yakni pabrikan yang memproduksi rokok kurang dari 2 miliar dan 500 juta batang per tahun tidak terdampak sama sekali.

Fakta ini menunjukkan kebijakan simplifikasi struktur tarif cukai seperti tercantum dalam PMK 146/2017 hanya berdampak pada pabrik rokok besar yang memproduksi rokok menggunakan mesin baik SKM maupun SPM.

Pendapat yang menyatakan penyederhanaan akan merugikan pabrik rokok kecil dan menengah serta merugikan buruh dan petani tembakau, sesungguhnya tidak berdasar sama sekali. Justru penyederhanaan struktur tarif cukai menjadi kebijakan yang menyelamatkan nasib buruh dan petani tembakau.

Urgensi penyederhanaan dan komitmen kesehatan

Cukai pada dasarnya bukan sekadar instrumen kebijakan untuk penerimaan negara, namun juga berfungsi mengendalikan konsumsi barang tertentu seperti rokok.

Namun, struktur cukai yang rumit pada akhirnya justru mengurangi efektivitas cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok.

Bappenas, Kementerian Kesehatan, dan para ekonom telah merekomendasikan Kementerian Keuangan menyederhanakan struktur tarif cukai rokok. Lembaga penelitian kebijakan sosial, Prakarsa dan Bank Dunia juga menyarankan pemerintah menyederhanakan struktur tarif cukai rokok Indonesia yang saat ini salah satu yang terumit dunia.

Baik dari segi kesehatan maupun ekonomi, sudah tak terhitung banyaknya dukungan berbagai pihak agar pemerintah segera melaksanakan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok.

Apalagi, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah memberikan arah dan target yang jelas untuk menurunkan prevalensi perokok agar memperkuat kualitas sumber daya manusia.

Hal ini juga diperkuat dengan terbitnya PMK 77/ PMK.10/2020 tentang implementasi RPJMN di lingkungan Kementerian Keuangan dan diwujudkan dalam rencana strategis tahun 2020-2024 untuk melanjutkan peta jalan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok.

Pada akhirnya penyederhanaan struktur tarif cukai rokok akan berdampak positif bagi pengawasan usaha, penerimaan negara, dan sejalan dengan kepentingan kesehatan.

Jangan sampai penyederhanaan struktur tarif cukai rokok kembali tertunda dan memunculkan berbagai tudingan atas kuatnya setiran industri dalam mengintervensi kebijakan pemerintah seperti disebutkan dalam penelitian South East Asian Tobacco Control Alliance (SEATCA) serta Bank Dunia (2020) yang menduga intervensi industri tembakau di balik pembatalan kebijakan penyederhanaan struktur cukai.

Penyederhanaan struktur tarif cukai harus berjalan sesuai ketetapan pemerintah dalam RPJMN 2020- 2024. Yang diperlukan saat ini ialah menguatkan komitmen pemerintah atas kesehatan masyarakatnya di atas kepentingan lainnya.

Di sisi lain, sebaiknya kelompok-kelompok masyarakat madani dan lembaga pemerintahan turut bersama mengawal kebijakan ini hingga diimplementasikan.

Perlu ada komunikasi yang sangat erat antar pihak yang berwenang dan pembuat kebijakan agar kebijakan cukai rokok di masa mendatang bisa meminimalisasi kerugian negara.

https://money.kompas.com/read/2020/09/25/190500526/menyederhanakan-struktur-tarif-cukai-rokok

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke