Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gara-gara Rambut Susah Diatur, Akhirnya Mulai Bisnis Pomade Buatan Sendiri

JAKARTA, KOMPAS.com - Belakangan, bisnis pomade jadi tren seiring kebutuhan pria untuk menunjang penampilan rambutnya.

Tren yang lebih dulu muncul sebenarnya barbershop. Pomade datang belakangan sebagai salah satu produk yang dipakai untuk styling rambut. 

Awalnya, pomade hanyalah bagian dari pendukung styling rambut lelaki yang biasa digunakan di barbershop. Karena peminatnya banyak, akhirnya pomade dijual khusus. Maka dari itu, hampir tiap barbershop punya etalase yang isinya pomade.

Harganya bervariasi tergantung asal pabrikan. Pomade produksi impor biasanya dihargai lebih mahal.

Namun kini, etalase barbershop di Indonesia lebih banyak diisi oleh pomade produksi lokal yang harganya lebih terjangkau. 

Melihat peluang itu, banyak anak muda yang kemudian mencicipi bisnis ini. Salah satunya, Rizky Oktodio Pranata.

Dio, begitu ia biasa disapa mempelajari produksi pomade secara otodidak. Berbekal kreativitas, ia pun mencoba untuk menjadikannya bisnis rumahan. 

Perjalanan Dio berbisnis sebetulnya tidak dilakukan dengan sengaja. Ia mengaku memang membutuhkan pomade untuk rambutnya yang sulit diatur. Sayangnya, pomade yang ada di pasaran kerap tak cocok dengan rambut miliknya.

“Setelah coba beberapa produk pomade tetapi enggak cocok, akhirnya, muncul ide untuk bikin pomade sendiri," kata Dio kepada Kompas.com saat dihubungi melalui sambungan telepon, beberapa waktu lalu.

Sejak saat itu, Dio belajar meracik pomade dari berbagai akun Youtube. Mulai dari menentukan takaran yang tepat, jenis bahan baku, hingga proses pembuatan.

Adapun proses pembuatan dan uji coba pomade, kata Dio, hanya memerlukan waktu satu minggu.

Setelah sempat gagal meracik bahan pomade yang sesuai jenis rambut, ia akhirnya menemukan komposisi pomade yang cocok untuk dirinya.

Sejak itu, Dio tak pernah lagi membeli pomade. Ia pede dengan pomade racikannya. Bahkan, pomade itu menjadi benda yang wajib ada di dalam tas. Jadi ke mana pun, ia akan membawanya. 

Hingga suatu kali, rekan-rekan kerjanya memakai pomade yang ia bawa. Beberapa kali pakai, kemudian mereka bertanya apa merek pomade itu.

"Saya bilang ini produk (bikinan) sendiri," kisahnya. 

Hampir tak percaya, tapi yang membuatnya senang adalah komentar positif dari teman-temannya.

"Sejak itu, mereka mendorong saya untuk memproduksi pomade dalam jumlah banyak untuk dijual," sambung Dio.

Mulai berbisnis

Berawal dari situ, Dio kemudian memberanikan diri untuk memproduksi pomade dalam jumlah banyak.

Sebagai langkah awal, ia memproduksi pomade sebanyak tiga lusin untuk dijual kepada teman-teman di lingkungan kerja. Produk pomade buatannya itu kemudian diberi label dengan brand Poppert.

Bak gayung bersambut, pomade buatan Dio pun laris manis dan semakin dikenal dari mulut ke mulut.

"Dijual Rp 50.000 dan respons teman-teman juga bagus. Dari situ saya mikir, kayaknya bagus juga nih bisnis pomade. Lagi pula, jarang sekali yang berbisnis pomade homade," cerita Dio mengenang awal mula ia berbisnis.

Dibandingkan jenis produk lain, menurut Dio, pemain bisnis pomade masih terbilang sedikit, sementara kebutuhan pria pada produk ini cukup tinggi.

“Mereka membutuhkan pomade untuk menunjang penampilan setiap hari. Kesempatan itu bisa dimanfaatkan untuk mulai berwirausaha,” ujarnya.

Untuk memulai bisnis ini, Dio mengaku tak mengeluarkan modal banyak. Modal pertama yang ia pakai tak sampai Rp 1 juta. 

Meski sempat tak yakin, Dio meluruskan niat untuk memberanikan diri berbisnis. Akhirnya, ia mulai serius menjalani bisnis pomade. 

"Tantangannya ya itu, sudah ada produk-produk pomade yang  lebih dulu dan punya nama besar dengan jumlah produksinya sudah mencapai ribuan," ujarnya.

Meski begitu, ia tetap memberanikan diri untuk melanjutkan bisnis pomade yang ia rintis.

Dio menilai, dengan modal keberanian, ia terus penasaran dan akan mencari tahu langkah-langkah selanjutnya. Itu lah motivasi sehingga ia konsisten menjalani bisnis dan ingin mengembangkannya.

"Harus punya keberanian dulu dan bisa memotivasi diri sendiri. Kalau niatnya memang sudah gede, ya berani jalanin saja," tukasnya.

Dalam memasarkan pomade buatannya, Dio menitipkan produk ke sejumlah barbershop milik rekan-rekannya untuk ditawarkan kepada pelanggan.

Selain mendapat untung, Dio juga mendapat berbagai masukan dan saran agar terus berimprovisasi mengembangkan varian pomade lainnya.

Kini, Dio mampu memproduksi sebanyak lima lusin pomade. Adapun pomade buatannya terdiri dari variannya oil base dan water base.

"Oil base ada yang strong hold dan medium hold. Kalau untuk rambut lurus bisa pakai yang strong hold. Sementara, rambut bergelombang bisa pakai medium hold," jelasnya.

Kemauan menjadi kunci

Meski usia bisnisnya belum lama, Dio meyakini bisnis pomade adalah salah satu cara untuk melatih dirinya tangguh dan memantapkan jiwa wirausaha.

Saat ini, ia juga mengaku sudah mendapatkan jumlah pendapatan pasti dari bisnis itu. Hanya saja, ia memang belum menjadikan bisnis itu sebagai pemasukan utama.

Sembari mengembangkan bisnisnya, ia melakoni pekerjaan reguler sebagai salah satu staf di Bandara Soekarno-Hatta.

Bagi Dio, kemauan untuk belajar adalah kunci penting dalam menjalankan sebuah bisnis, termasuk bisnis pomade.

“Selain belajar dari internet, saya juga bisa belajar langsung dari praktisi di industri styling rambut. Cari kenalan yang ahli di bidangnya dan buat janji temu dengan salah satu pemilik barbershop, misalnya,” kata Dio membeberkan upayanya untuk mengembangkan bisnis.

Dengan begitu, lanjut Dio, ia bisa bertukar informasi seputar tren rambut dan berbagai produk styling rambut yang banyak diburu konsumen pria. Berbagai informasi penting ini bisa menjadi acuan untuk berinovasi.

Berbeda dengan pomade, clay merupakan produk styling rambut agar terlihat lebih necis.

“Pomade bahannya kan oli base dan water base untuk kinclongin rambut. Kalau clay lebih membentuk tekstur sehingga lebih natural look,” jelasnya.

Nasib bisnis di tengah pandemi

Di sela-sela ceritanya, Dio turut menceritakan bagaimana bisnis kecil-kecilannya itu ikut terdampak pandemi Covid-19. 

Penjualannya turun hingga 50 persen. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat bisnis barbershop temannya ikut tutup. Padahal, ia mengakui kalau pelanggan barbershop lah yang kerap membeli produknya. 

"Kalau pun ada yang pesan langsung, rata-rata jadi enggak sesering biasa (repeat order). Karena sering di rumah, pomade mereka (pria) jadi awet," tuturnya. 

Meski demikian, Dio tetap optimistis kalau bisnisnya bisa kembali bangkit. Selayaknya berbisnis, pasti ada risiko untung rugi. 

https://money.kompas.com/read/2020/11/25/212223626/gara-gara-rambut-susah-diatur-akhirnya-mulai-bisnis-pomade-buatan-sendiri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke