Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masa Depan Suram Petani Kita

Sebagian besar pekerja sektor pertanian telah beralih profesi ke sektor lain, terutama sektor jasa yang proporsinya pada 1976 sebesar 23,57 persen, lalu naik menjadi 48,91 persen di tahun 2019. Begitu pula dengan proporsi pekerja di sektor industri yang meningkat menjadi 22,45 persen di 2019 dari sebelumnya 8,86 persen di tahun 1976.

Masih menurut Bappenas, penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian sejalan dengan semakin berkurangnya lahan pertanian. Pada 2013 lahan pertanian mencapai 7,75 juta hektar tetapi di 2019 turun menjadi 7,45 juta hektar.

Salah satu faktor pendorongnya adalah perubahan tata guna lahan akibat pesatnya urbanisasi. Padahal di 2045 penduduk yang tinggal di perkotaan diperkirakan akan naik mencapai 67,1 persen. Berdasarkan pergeseran tren tersebut, profesi petani berpeluang hilang di tahun 2063, demikian dikatakan Plt Direktur Daerah Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas, Mia Amalia.

Beragam persoalan

Saat ini sektor pertanian memang masih menjadi salah satu kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional, apalagi untuk daerah-daerah yang menjadi sentra pertanian. Namun produktivitasnya kian menurun. Risikonya, tenaga kerja yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian kian tak pasti kehidupannya.

Sebagian persoalan yang dialami petani terletak pada masalah fluktuasi harga komoditas pertanian, sebagian lagi pada kondisi di masa panen. Siklus panen menjadi bagian dari kelangsungan hidup petani. Jika terjadi gagal panen, para petani akan terimbas masalah tambahan. Utang akan semakin menumpuk, beban hidup semakin berat, kelangsungan kehidupan keluarga mereka juga terancam.

Siklus hidup semacam ini akan terus membayangi kualitas regenerasi keluarga petani. Kualitas hidup dan kondisi kesehatan anak-anak petani sangat bergantung kepada kantong orangtuanya. Semakin baik penghasilan petani, akan semakin baik nutrisi yang didapatkan keluarga mereka. Namun jika terjadi gagal panen, asupan nutrisi kian tak pasti.

Persoalan lainya, jika para petani bisa melewati masa krisis, mampu meningkatkan taraf hidupnya dan menghasilkan anak-anak yang berpendidikan baik, anak-anak itu pindah ke daerah perkotaan. Ancaman selanjutnya adalah degenerasi. Petani akan kekurangan penerus.

Anak-anak yang sempat dikirim ke kota untuk menimpa ilmu, enggan kembali ke desa dan enggan memajukan usaha pertanian orangtuanya. Untuk petani yang punya lahan terbatas, pendidikan justru dianggap sebagai salah satu solusi untuk keluar dari jerat kemiskinan.

Dengan kondisi itu, praktis yang tersisa di sektor pertanian adalah mereka yang memang terpaksa menjadi petani karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan di luar sektor tersebut. Pertanian menjadi sektor turun-temurun yang dilakukan karena keterpaksaan. Tak heran, komoditas pertanian hasil garapan petani dinilai berkualitas di bawah standar.

Petani sawit misalnya, mereka cenderung mendapat harga jual yang jauh lebih rendah dibanding sawit hasil perkebunan milik korporasi. Sedikit beruntung bagi petani padi, sekalipun masih sering dilanda kejatuhan harga di saat panen.

Sementara untuk petani holtikultura, misalnya, tak sedikit yang mengeluhkan soal kurangnya sentuhan teknologi, kurangnya sumber pembiayaan untuk berproduksi, dan lemahnya institusi sosial pendukung. Dampaknya, kualitas komoditas yang dihasilkan kurang mendapat jaminan mutu dan pemasarannya tak terlembagakan dengan baik.

Cilakanya, penguasaan tengkulak atas harga jauh lebih besar ketimbang penghasil komoditas holtikultura. Tengkulak adalah pihak yang paling banyak mendapat untung dari disparitas harga jual di level petani dan harga jual di level konsumen.

Berkaca pada data BPS sampai Februari 2017, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian hanya 39,68 juta orang atau 31,86 persen dari jumlah penduduk bekerja Indonesia. Dari jumlah tersebut ternyata sebagian besar tercatat sudah berusia tua. Bahkan dari data yang ada, tercatat hanya ada 15,38 persen petani yang produktif untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan nasional.

Persoalannya ternyata tak sampai di situ, menurut catatan Kementerian Pertanian (Kementan), terjadi penurunan lahan pertanian 100.000 hektar per tahun, dengan 80 persen terjadi di sentra produksi pangan. Di tengah jumlah petani dan lahan garapan yang menurun, justru kemudian Kementan juga pernah mengklaim jumlah produksi pangan, terutama beras, terus meningkat bahkan surplus.

Terdengar kontradiktif memang, karena tak jarang isu impor juga muncul tanpa rasa bersalah dari para pihak di jajaran pemangku kepentingan. Saat dipertanyakan banyak pihak, ujuk-ujuk kebijakan impor dibatalkan sampai bulan tertentu untuk diaktivasi lagi di saat situasi sudah adem.

Tetapi katakanlah produksi memang meningkat seiring besarnya jumlah subsidi pertanian, intensifikasi, dan industrialisasi pangan. Dengan kata lain, anggap saja Kementan benar bahwa stok sejatinya tak bermasalah, sekalipun ada cerita soal gagal panen di beberapa daerah. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa dengan klaim surplus pangan, justru serapan Bulog tak pernah membaik. Kondisi serapan Bulog ini kemudian dijadikan alasan oleh pihak-pihak tertentu di dalam pemerintahan untuk sesumbar bahwa cadangan pangan nasional kurang memadai, meskipun terjadi surlus hasil panen di level petani.

Yang mengherankan, kapasitas serap Bulog ini sejak bertahun-tahun lalu tak pernah membaik, sehingga sewaktu-waktu akan kembali dijadikan alasan untuk lahirnya kuota impor baru.

Dari paparan data di atas, ada irisan bahwa penuruan dan penuaan pelaku pertanian berbanding lurus dengan pengurangan lahan pertanian, pengeringan sumber daya petani, dan kapasitas serap Bulog yang tak pernah membaik secara signifikan. Sementara kita tidak bisa memungkiri bahwa perut yang harus diberi makan dari waktu ke waktu semakin bertambah, penduduk Indonesia semakin banyak, sementara sektor yang harus memenuhinya justru mengalami pengerdilan akut. Lahan berkurang, SDM pun demikian, dan harga-harga yang didapat oleh pelaku produksi pertanian terus terganggu oleh harga-harga komoditas yang sama yang didapat dari impor.

Perlu perhatian

Untuk itu, harus ada yang benar-benar peduli dengan petani dan pertanian. Soal ancaman degenerasi petani, pemerintah perlu mendorong akselerasi inovasi dan transfer teknologi di sektor pertanian dengan memfasilitasi terjadinya sinergi dengan berbagai pihak, seperti kampus, start-up pertanian, lembaga penelitian pertanian, dan otoritas terkait.

Perpaduan kebijakan pengembangan SDM pertanian dan bauran inovasi teknologi pertanian, diyakini selain bisa membuat sektor pertanian menjadi semakin menarik bagi generasi muda, juga bisa meningkatkan kualitas dan produktivitas pertanian, sekaligus bisa memperbesar peluang pasar komoditas pertanian.

https://money.kompas.com/read/2022/06/28/064730726/masa-depan-suram-petani-kita

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke