Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengalaman Menghadapi Badai Krisis

Harga saham Wall Street berjatuhan, diiringi dengan kepanikan yang luar biasa dari para pialang dan pelaku pasar modal di Amerika Serikat.

Kebangkrutan demi kebangkrutan perusahaan raksasa terjadi di AS dan Eropa. Film ini menggambarkan mengenai korupsi sistemik pada sektor keuangan di AS dan konsekuensinya pada industri keuangan global.

Pada tahun 2000-an, industri jasa keuangan dunia didominasi oleh lima investment bank, yakni Goldman Sachs, Morgan Stanley, Lehman Brothers, Merrill Lynch, dan Bear Stearns, dua konglomerat sektor jasa keuangan (Citigroup, JPMorgan Chase), tiga perusahaan asuransi sekuritisasi (AIG, MBIA, AMBAC), dan tiga lembaga pemeringkat (Moody's, Standard & Poor's, dan Fitch).

Pada pertengahan tahun 2000-an, investment banks membuat skema budling antara kredit perumahan (mortgages) dengan pinjaman dan surat utang menjadi collateralized debt obligations (CDOs), kemudian mereka menjual kepada pihak investor.

Lembaga pemeringkat memberikan CDO dengan predikat peringkat sangat layak investasi (AAA). Maka terjadilah penggelembungan kredit perumahan yang masif dan membuat pembiayaan dalam bentuk surat utang menjadi mahal.

Pinjaman subprime berubah menjadi semacam pinjaman paksa (predatory lending). Banyak pemilik rumah yang tidak mampu menggembalikan pinjamannya.

Investor kelas kakap pemilik surat utang tersebut, lembaga-lembaga keuangan besar dan menengah mengalami kerugian, bahkan kebangkrutan.

Kejadiannya merembet ke investor dan bank kecil. Bank-bank dan investor berskala kecil, meskipun tidak masuk dalam kategori bank/investasi sistemik, namun tetap saja terkena dampaknya.

Sebagai tindakan preventif, otoritas moneter dan jasa keuangan di AS dan Eropa memberikan kebijakan suntikan dana dan melakukan kebijakan jaminan penuh nasabah.

Negara berkembang juga mengeluarkan kebijakan jaminan penuh bagi bank agar tidak terjadi pelarian nasabah.

Indonesia ikut memberikan jaminan keamanan dananya untuk memberikan kepercayaan nasabah.

Di Indonesia, pada akhir 2018, rupiah terdepresiasi sangat dalam, indeks saham di bursa efek mengalami kemerosotan, harga Surat Berharga Negara (SBN) berjatuhan, dan risiko bisnis naik tiga kali lipat.

Hampir dipastikan jika pada waktu itu tidak ada solusi global, multilateral dan respons kebijakan ekonomi domestik, Indonesia akan ikut terjerumus dalam krisis ekonomi berkepanjangan.

Tahun 2008, ditandai dengan suntikan modal the Fed, bank sentral AS bagi lembaga keuangan yang kesulitan permodalan. Ini merupakan suntikan modal bank sentral terbesar sepanjang masa.

Pada waktu yang sama dilakukan pembenahan dan perbaikan tata kelola di sektor keuangan dunia secara menyeluruh, serta reformasi lembaga keuangan multilateral.

International Monetary Fund (IMF) menyediakan fasilitas pembiayaan fleksibel bagi negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran dan cadangan devisa.

Lembaga Pembangunan Multilateral, Bank Dunia (WB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) memberikan pembiayaan siaga bagi negara anggota untuk akses pembiayaan kontigensi.

Fasilitas pembiayaan tersebut dipersiapkan untuk penanganan pembiayaan stimulus bagi negara yang memiliki kinerja ekonomi baik, tetapi mengalami gangguan akses pembiayaan di pasar keuangan global.

Tindakan-tindakan stimulus ekonomi dipersiapkan apabila terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi, kenaikan biaya utang SBN, dan krisis sistemik di sektor keuangan.

Jika terjadi keadaan demikian, maka pemerintah dan Bank Indonesia dapat mengambil langkah cepat melakukan pembahasan di DPR dalam waktu satu hari kerja. Pembahasan APBN di DPR biasanya memakan waktu lebih dari satu bulan.

Adapun tindakan cepat tersebut meliputi kenaikan suku bunga Bank Indonesia, perubahan postur APBN, dan langkah stabilitas pasar keuangan, serta akses pembiayaan siaga yang fleksibel dan murah dari WB dan ADB.

Walhasil, krisis global mereda, dunia selamat dari krisis finansial yang sistemik. Ekonomi Indonesia kembali dalam masa pemulihan.

Pelajaran krisis global

Saat ini, pascapandemi covid-19 kondisi ekonomi global membaik, lembaga multilateral sudah memiliki sumber sebagai last resort, tata kelola sektor keuangan global semakin pruden dan penanganan pandemik sudah semakin tertata.

Namun dampak dari Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina masih sangat menghantui. Harga energi naik, inflasi dunia meroket, dan Bank Sentral menaikkan suku bunga.

Kondisi krisis global sudah di depan mata, bisa datang dalam enam bulan atau bahkan lebih cepat.

Satu masalah yang saat ini mengganjal adalah kekacauan di pasar energi global dan merembet pada sektor keuangan global.

Belum ada tanda-tanda agresi Rusia akan berhenti. Tetapi upaya menurunkan harga minyak dunia yang tinggi dan cukup lama dapat dihentikan apabila ada tindakan bersama dalam kecukupan pasokan energi global.

APBN 2023 yang saat ini telah dikembalikan pada jalur normal, tampaknya sudah harus siap-siap disesuaikan dengan perubahan APBN yang ekspansif menghadapi kondisi krisis global.

Sektor keuangan harus terus diperkuat, baik permodalan, teknologi dan tata kelola. Intermediasi perbankan tetap dilanjutkan dengan kebijakan yang selektif dan aman.

Perkuatan sektor keuangan melalui Pengelolaan dan Perkuatan Sektor Keuangan (P2SK) harus tetap pruden, dan mengedepankan independensi kebijakan moneter dan integritas kebijakan di sektor keuangan.

Selanjutnya, Bank Indonesia harus dapat menjadi jangkar penurunan inflasi dan stabilitas makro ekonomi.

OJK terus mendorong sektor keuangan yang inklusif. Kebijakan Bank Indonesia dan OJK harus dapat memulihkan kondisi stabilitas makro dan intermediasi sektor keuangan bagi pelaku ekonomi.

Akhirnya semuanya terpulang kepada koordinasi dari kebijakan ekonomi nasional, Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Bauran kebijakan harus efektif untuk tetap memfokuskan diri pada upaya-upaya sinergi pencegahan dan penanganan krisis bersama dengan pelaku ekonomi.

Kebijakan populis harga energi, ekonomi dan sektor keuangan yang akan menjerat kita dalam ketidakpastian dan menambah biaya tinggi dalam pemulihan ekonomi dan perbaikan iklim bisnis sebaiknya ditanggalkan.

https://money.kompas.com/read/2022/11/14/070000726/pengalaman-menghadapi-badai-krisis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke