“Kalau kita bicara soal sektor jasa keuangan, kredit, dan pengembangan UMKM, kita ingin 35 persen PDB kita itu bisa meningkat dengan pesat. Indonesia ini negara besar, dari Sabang sampai Merauke, penduduknya 250-300 juta, enggak cukup kalau PDB-nya cuma 35 persen, jadi harus lebih besar,” kata Mirza di Nusa Dua-Bali, Kamis (16/3/2023).
Peningkatan porsi kredit tersebut perlu dinaikkan lebih dari 35 persen PDB, karena OJK ingin mengembangkan kredit di sektor pangan, mikro, hingga kredit perorangan termasuk kredit perumahan, pelajar, dan kredit lainnya.
Mirza mencontohkan, Thailand memiliki porsi kredit 50 persen dari PDB, sementara negara maju lainnya sudah diatas 100 persen PDB. Maka dari itu, untuk menjadi negara maju, dan mensejahterakan masyarakat, pihaknya akan mengejar target porsi kredit yang lebih tinggi lagi secara jangka panjang.
“Itu target jangka panjang. Kalau kita mau jadi negara maju, mau enggak mau pembiayaan kredit terhadap PDB harus lebih besar. Kalau bicara negara maju di atas 100 persen PDB, termasuk berbagai perusahaan, bahkan perusahaan kecil juga bisa menerbitkan surat utang,” ungkap Mirza.
“Kenapa perusahaan kecil bisa terbitkan surat utang? Karena informasinya bagus, sehingga yang mau beli surat utang memiliki informasi yang jelas, bahwa perusahaan itu layak untuk dibeli surat utangnya, dan ini tentu baik bagi perbankan, IKNB, dan masyarakat,” lanjut dia.
Di sisi lain, Mirza menekankan bahwa jika suatu lembaga keuangan ingin menyalurkan kredit atau pembiayaan, tentunya ingin agar pembiayaan tersebut sehat. Sehingga penting untuk meningkatkan manajemen risiko kredit.
Beberapa hal yang bisa dilakukan berkaitan dengan manajemen risiko kredit mencakup, pengembangan sistem SLIK, atau sistem informasi yang dikelola oleh OJK untuk mendukung pelaksanaan tugas pengawasan dan layanan informasi di bidang keuangan.
“Sistem SLIK yang sudah ada saat ini dikembangkan terkait dengan informasi-informasi terkait kredit, yang dimasukkan dan menjadi bagian dari SLIK,” ungkap dia.
“Kemudian, kita juga mengembangkan blue print berisi informasi yang bukan terkait kredit, seperti tagihan telekomunikasi, listrik, hingga pembayaran BPJS. Karena itu merupakan informasi penting apakah seseorang, UMKM, atau company layak mendapatkan kredit,” jelasnya.
Informasi penting lainnya yang akan ikut menjadi penilaian kelayakan kredit debitur, mencakup credit scoring, seperti paylater, e-commerce, dan media sosial. Menurut Mirza, untuk memastikan seseorang layak mendapatkan kredit, hal-hal tersebut dikombinasikan, dikembangkan, dan dianalisa.
https://money.kompas.com/read/2023/03/17/204000726/ojk-ingin-porsi-pembiayaan-kredit-nasional-capai-lebih-dari-35-persen-pdb