Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Marak Pungli Bea Cukai ke Pengusaha Jepang Bikin Soeharto Naik Pitam

KOMPAS.com - Institusi Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan tengah jadi bulan-bulanan kritik publik Tanah Air. Kekayaan pejabat hingga gaya hidup glamor keluarga ASN Bea Cukai pun jadi sorotan publik.

Bersama dengan Ditjen Pajak, Bea Cukai adalah instansi di bawah Kemenkeu yang menerima aneka tunjangan tinggi apabila dibandingkan dengan instansi pemerintahan lainnya. Itu sebabnya, keduanya kerap dipelesetkan dengan sebutan "Kementerian Sultan".

Dengan remunerisasi tunjangan tinggi, ASN di Bea Cukai diharapkan tak gampang tergoda dengan iming-iming suap maupun praktik korupsi lainnya seperti pungutan liar (pungli).

Sarang pungli di Era Orde Baru

Di era rezim Orde Baru, Bea Cukai sempat sangat tenar sebagai sarangnya pungli. Saking akutnya korupsi di instansi itu, Presiden Soeharto bahkan sempat membekukan Bea Cukai.

Ribuan pegawainya pun dirumahkan sementara. Berikutnya wewenang Bea Cukai dalam pengawasan keluar masuk barang dari luar negeri kemudian juga dipreteli. 

Dikutip dari laman Media Keuangan (MK+) Kementerian Keuangan, Soeharto sebenarnya sudah gerah dengan maraknya pungli di Bea Cukai sejak ia menjabat sebagai Presiden RI.

Pada 6 Juni 1968, Menteri Keuangan dijabat oleh Ali Wardhana. Kala itu, terjadi banyak penyelewengan dan korupsi di direktorat yang berkantor pusat di Rawamangun, Jakarta Timur itu.

Menurut jurnalis Mochtar Lubis, praktik-praktik penyelundupan dan penyelewengan di Bea dan Cukai terjadi karena terjalin kongkalikong antara Bea Cukai dan importir penyelundup.

Dari praktik kongkalikong itu, ada istilah pola kerja pemerasan dan pungli yang cukup populer hingga saat ini, yang dikenal dengan "Denda Damai". Damai sendiri merujuk pada pemberian suap oleh pelanggar ke aparat agar kasus pelanggaran tak diteruskan melalui mekanisme peradilan resmi. 

Soeharto kemudian mengganti banyak pejabat di Bea Cukai lantaran praktik kotor telah berakar lama antara Bea Cukai dan importir-penyelundup.

Selain itu, perubahan bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga personalia pelaksananya. Namun nyatanya, keadaan demikian bertahan cukup lama.

Contohnya, ketika Menkeu Ali Wardhana sidak ke kantor Bea dan Cukai di Tanjung Priok pada Mei 1971, dia melihat para petugas tengah bersantai. Dia juga mendapati kabar adanya penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal.

Padahal, pemerintah baru saja memberikan keistimewaan bagi para pegawai Bea Cukai, yakni menaikkan penghasilan dengan penambahan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji.

Ali Wardhana akhirnya melakukan mutasi pejabat eselon II antarunit eselon I. Pada 1978, Direktur Cukai digantikan pejabat dari unit eselon beberapa kali. Namun, ternyata cara ini tak memperbaiki kinerja Bea dan Cukai. Penyelewengan dan penyelundupan terus terjadi.

Soeharto marah

Kemarahan Presiden Soeharto pada maraknya praktik korupsi di Bea Cukai mencapai puncaknya pada awal tahun 1980-an. Saat itu, Menteri Keuangan telah beralih ke Radius Prawiro.

Saat melantik Bambang Soejarto sebagai Dirjen Bea Cukai, ia menekankan bahwa praktik pungli dan penyelundupan akan diperangi hingga ke akar-akarnya.

Apa mau dikata, penyelewengan dan penyelundupan Bea dan Cukai belum lenyap. Keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang, mengenai aparat Bea dan Cukai yang ribet, berbelit-belit, dan pada akhirnya melakukan pungutan liar.

Sebagai informasi saja, di era Presiden Soeharto, hubungan pemerintah Indonesia dengan Jepang sedang hangat-hangatnya, ditandai dengan investasi besar-besaran dari perusahaan Negeri Matahari Terbit.

Datang keluhan dari para pengusaha Jepang yang dipalak oknum pegawai Bea Cukai, membuat Presiden Soeharto geram.

Maka, setelah berdiskusi dengan para menteri dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.

Soeharto bahkan mempreteli kewenangan Bea Cukai dan mengalihkannya ke PT Surveyor Indonesia. BUMN ini kemudian bekerja sama dengan sebuah perusahaan swasta asal Swiss bernama Societe Generale de Surveilance (SGS).

Kewenangan itu kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan

https://money.kompas.com/read/2023/03/25/085333526/marak-pungli-bea-cukai-ke-pengusaha-jepang-bikin-soeharto-naik-pitam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke