Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tantangan Pengembangan "Megaport" di Tanah Air

Pelabuhan Singapura, Pelabuhan Tanjung Pelepas di Johor Baru, Malaysia dan Pelabuhan Shanghai di China merupakan sedikit contoh pelabuhan yang dapat dikategorikan sebagai megaport.

Sepanjang yang penulis ketahui, tidak ada kesepakatan di kalangan pelaku usaha, pemerhati dan pakar kepelabuhanan terkait apa kriteria baku sebuah megaport.

Kendati demikian, satu hal selalu muncul sebagai penanda megaport, yaitu kapasitas pelayanan (peti kemas)-nya yang sangat jumbo. Memang megaport terkait dengan peti kemas atau kontainer.

Kapasitas pelayanan peti kemas megaport bervariasi antara satu dan lainnya. Namun rata-rata paling tidak berkisar antara 10 juta hingga 20 juta twenty foot equivalent unit atau TEU per tahun.

Ambil contoh Pelabuhan Shanghai, China. Saat ini, megaport (kadangkala diistilahkan pula mega hub) Shanghai merupakan yang terbesar di dunia dengan throughput sekitar 50 juta TEU.

Disusul kemudian oleh Pelabuhan Singapura di posisi kedua dengan throughput sekitar 30 juta TEU.

Selain Singapura, di kawasan Asia Tenggara ada juga megaport lain, dalam hal ini Pelabuhan Tanjung Pelepas. Pelabuhan ini bertengger di posisi 15 dunia.

Malaysia punya satu lagi megahub: Pelabuhan Klang yang menempati nomor 12 dunia.

Pelabuhan Klang kini tengah menjadi perbincangan dalam komunitas kepelabuhanan dunia sehubungan dengan rencana pemerintah Malaysia mengembangkan Carey Island (yang masih satu kawasan dengan pelabuhan tersebut) sebagai megaport.

Menteri Transportasi Malaysia, Loke Siew Fook, mengungkapkan niatan tadi di hadapan audiens Langkawi International Maritime & Aerospace (LIMA) 2023.

Jadi jelas hal ini tidak main-main. Saking terpesonanya dengan rencana ini, salah satu media memberitakan niat pemerintah Malaysia tadi dengan headline berjudul “Malaysia moving ahead with ‘game changer’ Carey Island mega-port”.

Pelabuhan mega Carey Island dinilai mereka sebagai “perubah permainan” dalam bisnis kepelabuhanan yang ada saat ini.

Ke-mega-an Pelabuhan Carey Island itu dapat dilihat sisi investasi; disebut-sebut akan menelan biaya sebesar RM 28 miliar atau sekitar Rp 90 triliun lebih.

Proyek ini akan membangun Carey Island dengan fasilitas kepelabuhanan, terminal peti kemas dan konvensional, mulai dari nol alias greenfield.

Sayang, tidak ada informasi dari mana duit sebanyak itu berasal. Isu ini tentulah tidak menjadi persoalan.

Berkaca dari pengembangan Pelabuhan Tanjung Pelepas di Johor Baru, Malaysia punya pengalaman dalam bidang financial engineering bagi pembiayaan pelabuhan.

Kala itu, pembiayaan pembangunan Tanjung Pelepas dengan menggandeng pelayaran global.

Dari sisi kapasitas terminal, terminal-terminal yang akan dibangun di Pelabuhan Carey Island akan memilik kapasitas terpasang sebesar 30 juta TEU dan 20 juta ton untuk terminal konvensional.

Dermaga Carey Island akan sepanjang 15 km nantinya. Sekadar catatan, saat ini di Pelabuhan Klang terdapat terminal Northport, Westport dan Southport. Adapun groundbreaking akan dihelat tahun 2025 dan completion diharapkan pada 2055.

Mega port di Tanah Air dan tantangannya

Ada beberapa pelabuhan di Indonesia yang disebut hub oleh pemerintah. Tidak menggunakan istilah megaport.

Ambil contoh Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatra Utara. Direncanakan dan dibangun pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 2019, kapasitasnya sekitar 600.000 TEU. Rencananya, ini merupakan hub di kawasan Indonesia Barat.

Lalu ada Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara, yang dinyatakan sebagai hub untuk Indonesia Timur.

Terbaru adalah niat pemerintah mengembangkan pelabuhan Tanjung Pinggir di Pulau Batam, Kepulauan Riau sebagai hub. Kapasitasnya sekitar 18 juta TEU.

Beragam atau bergantinya lokasi megaport/hub mengindikasikan bahwa pemerintah memiliki persoalan dalam menentukan lokasi yang pas. Ini tantangan pertama.

Tantangan berikutnya adalah masalah konsesi yang relatif pendek. Pengembangan megaport itu menelan biaya yang amat sangat besar sehingga konsesi yang diberikan kepada pengembangnya sudah selayaknya berdurasi lama jika tidak hendak disebut selamanya.

Praktik yang berlangsung dalam pemberian konsesi dari pemerintah (Kementerian Perhubungan) memberikan konsesi mulai dari kisaran 20 tahun hingga 70 tahun. Setelah itu pelabuhan diserahkan kepada pemerintah.

Bisa jadi investasi mereka belum break even point saat masa konsesi berakhir.

Tantangan terakhir adalah bisnis pelabuhan atau terminal peti kemas di dalam negeri juga dilakukan oleh terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS) dan Terminal Khusus atau Tersus. Izin ini diberikan untuk sementara oleh Kemehub.

Masalahnya, setelah itu diperpanjang kembali oleh manajemen TUKS dan Tersus. Parahnya lagi, pengelola kedua fasilitas ini tidak dibebani biaya konsesi seperti terminal umum.

https://money.kompas.com/read/2023/06/23/161836826/tantangan-pengembangan-megaport-di-tanah-air

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke