Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tanpa Konsensus Menteri Keuangan G20 di India

Ini tentu mengagetkan karena kesannya pertemuan G20 di Indonesia tahun lalu, cukup meyakinkan bahwa perekonomian dunia akan lebih baik pada 2023.

“Indonesia tetap waspada terhadap tantangan eksternal. Di sisi lain, Indonesia juga memiliki berbagai tugas dan tantangan untuk memperbaiki struktur perekonomian Indonesia,” kata Menkeu Sri Mulyani setelah pertemuan Menteri Keuangan dan Bank Sentral negara G20 di India.

Menkeu menyebutkan pembangunan layanan infrastruktur masih tertinggal. Pemerintah juga harus terus membenahi berbagai regulasi dan birokrasi yang lebih efisien, termasuk dalam menjawab tantangan terkait kualitas sumber daya manusia.

Belum lagi soal disrupsi digitalisasi dan kontroversi hilirisasi. Pekerjaan rumahnya masih banyak dan belum memadai untuk menahan badai krisis keuangan yang akan datang.

Situasi tersebut, mudah-mudahan dapat dijadikan agenda dan kerangka kerja pemerintah untuk merumuskan kebijakan fiskal yang tepat sebagai instrumen ekonomi makro dan arah pembangunan nasional yang akan dicapai, termasuk menahan risiko krisis ekonomi dunia.

Konsensus G20 tanpa arah

Konsensus pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 20 di India, gagal menjembatani perbedaan mereka dalam perang Rusia di Ukraina.

“Kami masih belum memiliki bahasa yang sama tentang perang Rusia-Ukraina,” kata Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman kepada wartawan setelah pertemuan dua hari yang diakhiri di Kota Gandhinagar tanpa mengeluarkan pernyataan bersama.

Sebaliknya, India, yang menjadi presiden kelompok tahun ini, hanya mengeluarkan ringkasan pimpinan dan dokumen hasil yang menyimpulkan pembicaraan dan mencatat perbedaan pendapat.

Menurut ringkasan pimpinan, China dan Rusia keberatan dengan paragraf bahwa perang menyebabkan "penderitaan manusia yang luar biasa" dan "memperburuk kerapuhan yang ada dalam ekonomi global."

Kegagalan untuk mencapai kesepakatan bukanlah hal yang tidak terduga. Karena perang di Ukraina adalah masalah perbedaan diplomatik yang tajam, India belum dapat membuat dokumen konsensus di salah satu acara penting G20 yang diadakan sejauh ini.

Beberapa anggota G20 juga mengutuk Rusia karena menolak memperpanjang kesepakatan untuk mengizinkan ekspor biji-bijian Ukraina yang kritis melalui Laut Hitam, kata menteri Keuangan India pada konferensi pers.

Tampaknya Rusia tidak bergeming, bahkan mencari negara yang sepaham untuk menolak gagasan mayoritas anggota G20.

Pengunduran diri Rusia dari kesepakatan telah memicu kekhawatiran tentang dampaknya terhadap negara-negara berpenghasilan rendah di Asia dan Afrika. Harga pangan yang tinggi telah mendorong lebih banyak orang ke dalam kemiskinan.

Banyak menteri keuangan anggota G20 sebenarnya tidak terlalu tertarik kepada isu geo politik. Namun karena pengaruh dari isu geo-politik seperti konflik Rusia-Ukraina, perubahan iklim, energi dan pangan pascapandemi berdampak kepada tekanan utang, inflasi global, stabilitas dan perdagangan global, maka menjadi bahan perbincangan forum keuangan dan bank sentral.

Menkeu India mengatakan, para anggota membahas prospek ekonomi global secara keseluruhan, khususnya masalah pangan dan energi, pembiayaan iklim dan bagaimana meningkatkan bantuan untuk negara-negara yang tertekan utang.

Sejak G20 tahun lalu, yang dicapai tampaknya bukan kemajuan, tetapi malah kemunduran. Lebih dari setengah negara berpenghasilan rendah berada di dekat atau dalam kesulitan utang, dua kali lebih banyak dari 2015.

Menteri Keuangan AS Janet Yellen sebelum pertemuan dimulai mengatakan bahwa mengakhiri perang di Ukraina adalah “satu-satunya hal terbaik yang dapat kita lakukan untuk ekonomi global.”

Betapa sulitnya anggota G20 mencapai kesepakatan tertulis, apalagi menyangukut kedaulatan masing-masing negara.

Pertemuan G20 di Indonesia sebetulnya sama saja. Pertemuan menghasilkan kesepakatan tertulis, tetapi tidak dilaksanakan.

Ekonomi Pasca-G20

Managing Director IMF atau Dana Moneter Internasional, Kristalina Georgieva, menekankan perlunya proses restrukturisasi utang yang lebih efektif dan lebih cepat pada pertemuan tersebut.

Banyak negara menutup pembiayaan dari utang, baik utang luar negeri maupun dalam negeri. Bahkan banyak di antaranya sudah melampaui batas kelayakannya, dan menjadi pasien dari IMF saat ini.

Fakta ini sungguh sangat memperihatinkan. Indonesia termasuk yang bisa mempertahankan rasio utangnya pada batas 30-40 persen dan dalam kecenderungan menurun sejak tahun 2023.

Pertumbuhan global melambat dan perbedaan dalam kekayaan ekonomi negara menjadi perhatian terus-menerus, kata IMF.

Presiden Bank Dunia Ajay Banga menggemakan ketakutan serupa. Dia berbicara tentang "ketidakpercayaan yang diam-diam memisahkan Utara dan Selatan Global pada saat kita perlu bersatu."

"Kurangnya kemajuan berada dalam bahaya memecah ekonomi global hingga merugikan orang-orang termiskin di dunia,” tambah dia.

Bisa dibayangkan apabila banyak negara memiliki banyak utang dan tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan serta kehidupan yang layak.

Infrastruktur tidak bisa terbangun, sekolah dan fasilitas kesehatan serta ketersediaan pangan terbatas, akan menjerumuskan negara kedalam jurang kemiskinan yang dalam.

Dalam G20 di Jakarta, sudah ada deklarasi untuk meminta Bank Pembangunan Dunia seperti Bank Dunia, ADB, IsDB, IADB dan AFD untuk memberikan pendanaan murah kepada dunia ketiga.

Deklarasi itu belum terlaksana karena bank-bank tersebut mengalami keterbatasan modal dan negara maju belum setor modalnya.

Tindak lanjut komunike menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Indonesia belum menunjukkan akan dilaksanakan karena ganjalan geopolitik yang belum ada tanda-tanda solusinya.

Dari pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentra G20 mulai tampak bahwa prospek ekonomi dunia memang belum pulih dari satu krisis ke krisis yang lain.

https://money.kompas.com/read/2023/08/07/080140926/tanpa-konsensus-menteri-keuangan-g20-di-india

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke