Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perlukah Kereta Cepat Dilanjut ke Surabaya meski Harus Utang ke China?

KOMPAS.com - Pemerintah bakal meneruskan pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) hingga ke Surabaya, Jawa Timur. Saat ini, stasiun akhirnya berada di Tegalluar, Kabupaten Bandung.

Dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyebutkan, perjanjian Indonesia dengan China untuk meneruskan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung hingga ke Surabaya sudah berjalan.

Bahkan, kata Luhut, bunga pinjaman yang ditawarkan China pada proyek ini jauh lebih murah dibandingkan bunga yang ditawarkan negara-negara lain.

"Pak Jokowi mau Kereta Cepat Jakarta Surabaya diterusin, tadi saya dengar perjanjian dengan China juga jalan. Malah bunganya jauh lebih murah," ucap Luhut dalam sebuah video yang diunggahnya dikutip pada Rabu (1/11/2023).

Selain itu, teknologi yang dimiliki China juga sudah dapat dibuktikan bisa mewujudkan Indonesia memiliki kereta api cepat Jakarta-Bandung.

"Kita sudah buktikan dan kita sudah punya pengalaman. Kan ini masalah kunci pertama ini pembebasan tanah yang tidak jelas-jelas itu. Sekarang dengan kita punya pengalaman, we don't have a problem anymore," tuturnya.

Perlukah dilanjut sampai Surabaya?

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan, realisasi wacana menyambung Jakarta-Surabaya dengan kereta peluru bakal sangat sulit dilakukan.

Terlebih apabila melihat dari proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang hanya berjarak sekitar 140 kilomerter, biayanya membengkak sampai lebih dari Rp 110 triliun.

"Jelas berat meneruskan pembangunan Kereta Cepat Jakarta Surabaya. Secara komersial pengembalian modalnya sangat lama, sementara ketika APBN terlibat ruang fiskal sudah sempit," beber Bhima.

Bahkan, dalam proyek ini, kata Bhima, Pemerintah Indonesia sudah masuk jebakan utang. Karena ada dua hal yang dilanggar, yakni penggunaan uang APBN dan pembayaran cicilan utang yang dijamin pemerintah.

"Sudah masuk kategori jebakan utang. Pertama, indikasi proyek yang berbiaya mahal ditanggung APBN. Kedua, meski pemerintah bilang bentuknya adalah penjaminan utang, tapi memicu risiko kontijensi ketika KAI hadapi kesulitan pembayaran bunga dan pokok utang," tambah Bhima.

Ketiga, lanjut Bhima, dalam narasi yang dikemukakan pemerintah, utang pokok dan bunga yang diangsur ke China dalam proyek KCJB seolah dibebankan adalah utang murni BUMN (business to business), bukan utang pemerintah.

"Padahal, ini adalah indikasi hidden debt atau utang tersembunyi yang sama-sama bebankan keuangan negara secara tidak langsung," ungkap Bhima.

Potensi penumpang

Belum lagi, sejauh ini belum pasti bagaimana potensi penumpang KCJB yang nanti berpengaruh pada perkiraan balik modal, mengingat KCJB memiliki kekurangan, yakni jalur kereta tidak berhenti di Kota Bandung yang merupakan kantong penumpang terbesar.

Sementara, bila melihatnya saat ini, potensi penumpang dalam jangka panjang KCJB belum bisa diukur. Ini karena KCIC masih menerapkan tarif diskon separuh harga, yakni harga tiket sebesar Rp 150.000.

Agar bisa balik modal sesuai target, KCIC menargetkan bisa mengangkut 30.000 penumpang per hari. Sementara, data terbaru saat ini, dengan tarif diskon dan jumlah jadwal perjalanan yang sudah ada, jumlah penumpang berkisar 11.000 sampai 13.000 per hari.

"Kita lihat nanti berapa okupansi kereta cepat pasca-pengenaan tarif komersial diberlakukan. Kalau okupansinya meleset dari target ya pengembalian modalnya akan lama sekali," kata Bhima.

Dominasi perusahaan China

Selain itu, hal yang harus diperhatikan, pengerjaan proyek KCJB juga sangat didominasi perusahaan dan tenaga kerja asal China.

Dominasi China juga sangat tampak dari perusahaan kontraktor penggarap engineering procurement construction (EPC) proyek ini.

Di mana perusahaan BUMN China mendominasi sebesar 70 persen dari total EPC di proyek pembangunan KCJB. Pihak Indonesia kebagian sebesar 30 persen EPC yang digarap PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika.

Total ada enam perusahaan China yang menjadi kontraktor utama, yaitu Sinohydro, China Railway International (CRIC), dan China Railway Engineering Corporation (CREC).

Berikutnya CRRC Corporation Limited, China Railway Signal and Communication (CRCR), dan China Railway Design Corporation (CRDC).

"Pertimbangan selain penambahan utang adalah beban impor teknologi, besi baja, dan tenaga kerja akan melemahkan nilai tukar rupiah," ungkap Bhima.

https://money.kompas.com/read/2023/11/01/100958326/perlukah-kereta-cepat-dilanjut-ke-surabaya-meski-harus-utang-ke-china

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke