Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Koperasi Soko Guru Ekonomi Jepang

Statistik 2018 mencatat lebih dari setengah penduduk Jepang (65 juta orang) menjadi anggota koperasi; 37 persen rumah tangga memanfaatkan barang dan jasa dari koperasi konsumen, 25 persen populasi menjadi nasabah asuransi yang disediakan oleh koperasi.

Selain itu, 25 persen tabungan nasional disimpan di Bank Koperasi (Norinchukin Ginko), dan lebih dari 50 persen produk pertanian, perikanan dan perhutanan disalurkan melalui jaringan koperasi.

Kontribusi paling besar disumbang 75 persen oleh koperasi pertanian, perikanan dan perhutanan (Nokyo, Gyokyo, dan Shinrin kumiai); disusul 11 persen koperasi konsumen (Seikyo); 9 persen koperasi berbasis finansial; 3 persen koperasi pekerja dan pensiunan, serta 1 persen koperasi lainnya.

Prinsip dasar

Sama halnya di berbagai belahan dunia, koperasi di Jepang juga menganut prinsip dasar yang membedakan dengan korporasi, yakni, pertama one man one vote; kedua, tidak mengejar keuntungan, tapi memberikan dukungan penuh pada kebutuhan anggota.

Ketiga, investornya adalah anggota yang memiliki kepentingan dan potensi produktif yang sama; dan keempat dikelola oleh anggota atau perwakilan anggota.

Hal ini, jelas beda dengan korporasi yang bertumpu pada prinsip, pertama one share one vote; kedua mengejar keuntungan; ketiga, investornya adalah penyetor modal; dan keempat dikelola oleh tim manajemen atas nama pemegang saham.

Dari sudut pandang new institutionalism (Bonus, 1986; Hardjosoekarto, 1992), kekuatan prinsip one man one vote terletak pada pengelolaan sumber daya produktif yang dimiliki secara setara oleh orang per orang, yang sepakat mendirikan entitas bisnis dalam bentuk koperasi.

Ada empat jenis sumber daya produktif yang melekat pada setiap orang dan setiap entitas bisnis, yakni pertama human asset, kedua, physical asset, ketiga, site asset, dan keempat dedicated asset.

Pertama, seorang peternak sapi penghasil susu pastilah memiliki sumber daya produktif yang melekat dalam tubuhnya (human asset), seperti kebugaran, kesamaptaan, keterampilan kaki, keterampilan tangan, dan kepiawaian seluruh indera tubuh, terkait dengan usaha beternak.

Kedua, orang itu juga memiliki sumber daya fisik (physical asset) berupa sapi perah, kandang, dan alat-alat produksi lainnya.

Ketiga, site asset dicerminkan oleh lokasi spasial di mana peternak tersebut bermukim. Keempat, yang juga sangat penting adalah dedicated asset, yakni iptek produktif, seluruh rantai nilai peternakan.

Investasi transaction-spesifik

Dengan memiliki ke empat jenis sumber daya produktif itu, seorang peternak pada dasarnya dapat menjadi peternak mandiri; atau membentuk korporasi bisnis peternakan dan pabrik pengolahan susu; atau bersama peternak lain membentuk Koperasi Peternakan Susu.

Setiap pilihan mengandung konsekuensi, termasuk kesempatan berkembang, kebutuhan modal, tata kelola, ancaman internal dan eksternal, serta kemungkinan bangkrut.

Apabila beberapa peternak bersepakat membentuk Koperasi Peternakan Susu, masing-masing anggota mengikatkan diri dengan sangat kuat, semua jenis aset spesifiknya, ke dalam investasi dalam bentuk entitas bisnis koperasi itu. Masing-masing peternak sepakat terikat pada transaction-specific investment.

Pada tahap ini, empat jenis asset specificity tumbuh menjadi dua kategori, yaitu pertama yang dimiliki dan dikelola oleh tiap anggota, dan kedua yang dimiliki dan dikelola bersama dalam manajemen koperasi.

Yang terakhir ini, bila dikonstruksi dengan baik dan benar, dapat mengelola dedicated asset, berupa instalasi pabrik pengolahan susu dengan sukses, sama dengan bila dikelola dalam korporasi.

Bedanya, pabrik yang satu dikelola tanpa motif untung berdasarkan prinsip one man one vote, sedangkan pabrik lainnya dikelola dengan motif untung dan berbasis one share one vote.

Jelas bahwa kekuatan one man one vote terletak pada pengelolaan secara utuh ke empat jenis sumber daya produkitf yang masih melekat pada tiap anggota, dan yang sudah menjadi bagian dari entitas koperasinya itu.

Ancaman: eksternal dan internal

Sama dengan korporasi, koperasi juga menghadapi ancaman, yang berpotensi menghambat pertumbuhan organisasi.

Ancaman eksternal dapat berasal dari pesaing bisnis non koperasi (korporasi) yang beroperasi di wilayah sekitar, selain ancaman yang justru berasal dari regulator pembentuk undang-undang terkait dunia usaha.

Sementara itu, ancaman internal berasal dari anggota dan pengurus koperasi, yang tidak memiliki komitmen, dan cenderung mengejar keuntungan sendiri dengan curang (opportunism).

Berbagai cara dilakukan oleh Pemerintah Jepang dalam meminimalisasi ancaman internal ini.

Pertama, setiap koperasi hanya dan harus dibentuk berdasarkan prinsip pengelolaan ke empat jenis sumber daya produktif yang melekat pada anggotanya itu.

Seorang peternak hanya boleh berhimpun dalam satu Koperasi Peternakan Susu bersama peternak lain yang dikenalnya, yaitu sesama peternak tetangganya (tonari), se desa (mura, cho, son), se kabupaten dan se prefektur (to, do, fu, ken), sehingga organisasinya bertingkat sampai nasional (zenkoku).

Kedua, entitas bisnis yang berjenjang ini tidak boleh mengejar untung, tapi menyelenggarakan usahanya (core business) untuk memenuhi seluruh kebutuhan produktif transaction-specific investment anggotanya, yaitu para paternak.

Meskipun proliferasi secondary business saat ini, termasuk juga melayani kebutuhan konsumtif seluruh keluarga anggotanya.

Ketiga, pada awal pertumbuhannya, semua koperasi dikelola dengan prinsip gandeng renteng, unlimited liablity (mugen sekinin), walaupun saat ini, karena organisasi koperasi sudah berkembang dewasa dan matang, diberlakukan prinsip limited liability (yugen sekinin).

Ringkasnya, setiap koperasi primer di Jepang dibangun berdasarkan landasan moral (moral embededdness), sosial (social embededdness), dan kewilayahan (spatial and geographical embededdness) pada level komunitas.

Karena itu, gotong royong dan self-help dapat hidup dan terus kokoh di dalam diri dan komunitas orang-orang yang saling mengenal, bertetangga, dan memiliki ketergantungan produktif sesamanya.

Dengan sangat tepat, Parlemen Jepang merumuskan Pasal 1 UU Koperasi Pertanian (Nokyo) tahun 1947, yang tidak pernah diubah sampai sekarang: “The law aims at encouraging the development of farmers’ cooperative organization whose object is to increase the productive power and to improve the economic and social status of agrarian people, as well as at bringing forth constructive influences upon the economic life of the nation at large”.

Koperasi pertanian dibangun untuk memajukan usaha tani produktif, bagi petani setempat, guna meningkatkan status sosial dan ekonomi petani di tempat itu, serta secara keseluruhan menyumbang pada pembangunan ekonomi nasional.

Konstruksi organisasional serupa juga diberlakukan untuk koperasi perikanan, koperasi perhutanan, koperasi konsumen dan jenis koperasi lainnya.

Meskipin tanpa Kementerian Koperasi, tetapi terdapat tiga Kementerian dan dua Badan Nasional di dalam Kabinet Jepang yang diberi kewenangan dan tugas pembinaan koperasi.

https://money.kompas.com/read/2023/11/06/080000726/koperasi-soko-guru-ekonomi-jepang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke