Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah di Tahun Politik

Pertama, konflik geo-politik yang masih terjadi, bahkan bertambah berat. Konflik geo-politik tersebut bertambah berat karena semula hanya ada perang Rusia-Ukraina, yang sampai sekarang belum selesai, sekarang bertambah konflik Hamas-Israel.

Dua konflik besar itu berdampak negatif yang sama, yaitu naiknya harga sebagian besar sumber energi dan pangan.

Kenaikan harga sumber energi dan pangan karena negara-negara yang terlibat konflik, yaitu Ukraina, Rusia, dan Israel merupakan negara sumber pangan dan energi yang besar di dunia.

Ketika ada konflik atau perang di negara-negara tersebut, maka pasokan energi dan pangan dunia terganggu sehingga harganya naik.

Kenaikan sumber energi dan pangan akan menyebabkan terjadinya kenaikan tingkat inflasi di negara-negara besar pengimpor, seperti AS dan Jepang.

Kenaikan inflasi di negara-negara maju dan besar tersebut akan diredam dengan menaikkan suku bunga acuan atau kebijakan masing-masing.

Memang The Fed – Bank Sentral AS- di luar perkiraan banyak pihak baru-baru ini menahan suku bunga kebijakannya, yaitu Fed Rate di tingkat 5,25 sampai 5,5 persen.

Namun, tidak berarti pada masa depan Fed Rate akan dipertahankan. Ada kemungkinan masih akan dinaikkan mengingat inflasi di AS saat ini masih tinggi sebesar 3,7 persen (year on year) pada September 2023, masih jauh dari target The Fed sebesar 2 persen.

Untungnya, untuk sementara waktu Bank of England (Bank Sentral Inggeris) dan Bank of Japan (Bank Sentral Jepang) juga menahan suku bunga acuannya.

Tapi sekali lagi, tidak berarti bank-bank sentral itu tidak menaikkan suku bunga acuannya kalau situasi konflik geo-politik tidak mereda.

Dampak suku bunga di negara-negara maju yang masih tinggi dalam jangka panjang (higher for longer) tersebut berpotensi mengeluarkan modal asing (capital outflow), yang bisa menyebabkan nilai tukar rupiah, khususnya terhadap dollar AS melemah.

Tahun Politik

Kedua, tahun politik menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Akhir 2023, pemanasan kampanye antarcalon sudah mulai terjadi.

Bila tak dikelola dengan baik, maka akan membuat stabilitas harga terganggu. Distribusi barang bisa terganggu karena sudah dimulainya rapat-rapat umum, meski belum dimulainya masa kampanye.

Kenaikan tingkat inflasi akan menyebabkan nilai tukar rupiah akan melemah. Hal tersebut akan berlanjut menjelang digelarnya pemilu pada Februari 2024.

Banyak pihak berpendapat, pemilu 2024 nanti hasilnya sulit ditebak karena ketiga pasang capres-cawapres ternyata warna politiknya tak berbeda jauh. Ketiganya tak menunjukkan kontras warna politik yang jelas. Di ketiganya ada unsur nasionalis.

Ketidakpastian itu pasti akan diikuti sikap menunggu (wait and see) dari para pemilik uang yang biasanya akan memindahkan uang, khususnya valuta asing ke luar.

Mereka menunggu, apakah pelaksanaan pemilu berjalan lancar dan aman serta apakah nanti hasilnya sesuai harapan para pelaku pasar. Hal tersebut juga akan melemahkan nilai tukar rupiah.

Sumber inflasi lain pada tahun politik adalah pada pelaksanaan pemilu 2024. Dana APBN yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pemilu 2024 mencapai Rp 74 triliun. Belum lagi dana kampanye yang dikeluarkan tiap partai dan juga calon pemimpin.

Dana yang besar itu memang akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun di sisi lain juga akan menyebabkan naiknya tingkat inflasi. Naiknya tingkat inflasi Indonesia tentu akan menyebabkan melemahnya nilai tukar.

Langkah antisipatif Bank Indonesia

Namun berbagai tekanan terhadap nilai tukar rupiah tersebut tampaknya sudah diantisipasi oleh Bank Indonesia (BI) dengan beberapa kebijakan.

Pertama, kebijakan untuk menaikkan bunga acuan (BI7DRR) dari 5,75 persen menjadi 6 persen. Kebijakan ini untuk mengantisipasi kalau nantinya the Fed menaikkan suku bunga acuannya yang akan menyebabkan pelarian modal asing dan melemahkan rupiah.

Kebijakan ini juga dimaksudkan meredam inflasi karena berbagai faktor yang disebutkan di atas.

Kedua, kebijakan memberikan insentif agar Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) disimpan di bank dan lembaga non-bank di Indonesia. Tujuan kebijakan ini untuk menambah cadangan devisa.

Dengan bertambahnya cadangan devisa, maka akan membuat nilai tukar rupiah menguat. Hasilnya meskipun belum optimal, tetapi sudah terlihat ada dana DHE SDA yang masuk ke Indonesia.

Ketiga, kebijakan insentif likuiditas makroprudensial, yaitu memberikan potongan giro wajib minimum untuk sektor-sektor prioritas antara lain sektor yang melakukan hilirisasi pertambangan.

Hal ini dimaksudkan untuk menekan permintaan terhadap dollar AS karena dengan melakukan hilirisasi hasil tambang, maka Indonesia tidak perlu impor hasil tambang jadi.

Dengan tidak mengimpor, maka permintaan terhadap dollar AS dapat ditekan sehingga kurs dollar AS terhadap rupiah tidak mengalami apresiasi atau kurs rupiah tidak terdepresiasi terhadap dollar AS.

Keempat, dengan kebijakan menggunakan mata uang lokal untuk transaksi ekonomi (Local Currency Setlement) antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN yang sudah melakukan persetujuan dengan Indonesia.

Hal ini juga akan mengurangi permintaan terhadap dollar AS sehingga depresiasi rupiah terhadap dollar AS bisa dikurangi.

https://money.kompas.com/read/2023/11/10/055300426/stabilisasi-nilai-tukar-rupiah-di-tahun-politik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke