Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Milenial Minta Pekerjaan, Kok Disuruh Jadi Pengusaha?

Dialog tersebut membahas mengenai lapangan pekerjaan yang cukup sulit saat ini.

Salah seorang perempuan menyampaikan keresahannya terhadap sistem rekrutmen pekerjaan yang mengabaikan kualifikasi dan kompetensi.

"...Baru pulang S2 gitu, dan kebetulan saya merasa bahwa saya kan menemukan kaum anak milenial. Dan saya merasa bahwa lapangan pekerjaan sekarang, itu sangat sulit digapai, karena banyaknya permainan orang dalam. Apa solusi terbaik?" ujar perempuan tersebut.

Cawapres tersebut menjawab singkat, "Jadi pengusaha,"

Terdengar suara tertawa lalu diikuti tepuk tangan dari para peserta acara.

"S2 masa nggak berani jadi pengusaha. Masih mau melamar kerja?" tanya cawapres itu.

Cawapres itu lalu menekankan untuk menjadi pengusaha, menciptakan lapangan kerja, tidak bekerja untuk orang lain.

Apa masalahnya dari dialog itu, sehingga perlu dikritisi? Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari dialog tersebut sebagai pengamat dunia ketenagakerjaan.

Pertama, konteks jawaban tidak sesuai pertanyaan. Pertanyaan perempuan itu adalah perihal lapangan pekerjaan, bukan dunia kewirausahaan.

Perempuan itu ingin mengetahui apa solusi untuk membuka lapangan pekerjaan jika terpilih kelak.

Saran agar menjadi pengusaha adalah jawaban bertolak belakang dari substansi pertanyaan. Dunia usaha dan lapangan pekerjaan adalah dua alam yang berbeda.

Dunia kewirausahaan adalah kegiatan seseorang mencari nafkah dengan cara membuka usaha sendiri atau bersama, seperti membangun industri (memproduksi barang/jasa) dan berdagang (menjual barang/jasa).

Sedangkan dunia pekerjaan adalah kegiatan seseorang mencari nafkah dengan cara bekerja kepada seseorang atau kelompok (perusahaan).

Perbedaan lainnya adalah pelaku wirausaha mendapatkan keuntungan dari bisnis mereka sendiri. Sedangkan pekerja adalah pelaku menerima gaji atau upah tetap serta mungkin beberapa tunjangan atau bonus.

Jadi, kedua karakteristik tersebut memerlukan pendekatan berbeda. Seseorang mencari pekerjaan tidak bisa serta-merta disuruh menjadi wirausaha, apalagi sudah memiliki kompetensi untuk berkarier di perusahaan yang menjadi impiannya.

Seseorang menjadi wirausahawan membutuhkan mental dan jiwa entrepreneurship yang kuat dan sudah terbentuk pada dirinya. Jiwa kewirausahaan dapat muncul atau diperkuat melalui pengalaman hidup, pendidikan, atau kesempatan bisnis yang muncul kemudian hari.

Beberapa orang mungkin menemukan panggilan kewirausahaan setelah bekerja di berbagai industri atau setelah menghadapi tantangan tertentu yang memicu keinginan untuk menciptakan perubahan melalui bisnis.

Kedua, substansi pertanyaan tentang persoalan lapangan pekerjaan untuk rakyat. Isu ini sangat penting, karena menyangkut hidup matinya rakyat banyak mencari nafkah.

Isu ini mulai mendapat perhatian publik pada Pilpres 2024. Publik ingin mengetahui kemampuan para Capres-cawapres menyediakan lapangan pekerjaan jika terpilih kelak.

Di negara manapun, jumlah wirausahawan/pengusaha sangat jauh perbandingannya dengan jumlah pekerja. Di China, rasio wirausahawannya diperkirakan terbentuk 12,7 persen.

Di Amerika Serikat, rasio wirausahawannya diperkirakan terbentuk 12,5 persen dan di Singapura 8,5 persen.

Sementara wirausaha terbentuk di Indonesia hanya 3,4 persen. Sebanyak 96,6 persen menggantungkan hidupnya sebagai pekerja.

Adapun pemerintah mencoba mendongkrak dunia kewirausahaan, hanya akan bisa mencapai angka 7 persen. Artinya masih tetap persentase pekerja di atas 90 persen.

Begitu banyaknya jumlah pekerja dibandingkan wirausaha, maka publik butuh mempertanyakan kemampuan pemimpin selanjutnya menyediakan lapangan pekerjaan.

Rakyat butuh penciptaan lapangan pekerjaan baru mengingat permintaan lapangan pekerjaan sebesar 3,6 juta per tahun. Ditambah angka penganguran mencapai 8,42 juta orang.

Sementara dari investasi tidak mampu menyerap angkatan kerja yang muncul setiap tahunnya.

Persoalan ini harus dijawab oleh semua pasangan capres-cawapres. Tidak bisa semata-mata menyuruh rakyat menjadi wirausahawan.

Jadi, pertanyaan perempuan tersebut tepat ditanyakan, mewakili pertanyaan publik.

Ketiga, persoalan praktik nepotisme dalam perekrutan tenaga kerja. Perempuan itu menanyakan solusi terbaik mengatasi banyaknya permainan orang dalam (baca: nepotisme)

Masalah tersebut tidak dijawab sama sekali. Sementara kasus nepotisme merupakan penyakit kronis yang terus menggerogoti peradaban Indonesia. Nepotisme membuat peradaban bangsa Indonesia menjadi primitif.

Praktik nepotisme yang terjadi selama ini merugikan masyarakat karena penempatan orang berdasarkan hubungan keluarga daripada kemampuan atau kualifikasi.

Masyarakat mengalami ketidaksetaraan, kurangnya keadilan, dan kurangnya efisiensi dalam pengambilan keputusan.

Sisi lain, praktik nepotisme juga menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan merugikan pengembangan bakat yang lebih luas.

https://money.kompas.com/read/2023/11/29/055426426/milenial-minta-pekerjaan-kok-disuruh-jadi-pengusaha

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke