Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengomunikasikan ESG

Jangan sampai tidak ngeh, apalagi kudet pada apa yang sedang menjadi tren dunia dan termasuk Indonesia.

Salah satu diksi yang terus populer di Tanah Air adalah komunikasi ESG, kepanjangannya adalah Environment, Social, dan Governance.

Ini seolah meneruskan diksi popular sebelumnya yang PR gaungkan, seperti komunikasi CSR (Corporate Social Responsibility), good practises, ISO (International Standard Organization), hingga GCG (Good Corporate Governance).

Sekilas mirip-mirip, tentang laku dan polah perusahaan yang baik kepada sekitarnya. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ESG punya beda signifikan.

Merujuk pada undangan kegiatan yang penulis terima dari Corporate Communication PT Telkom dalam Telkom ESG Day di Yogyakarta, pertengahan November lalu, berikut dua diferensiasi utama komunikasi ESG dengan terma-terma sebelumnya.

Pertama, ESG terkait erat kewajiban regulator terhadap emiten di pasar modal. Karenanya, komunikasi tersebut relevan dan valid bagi perusahaan yang telah go public, ketika indeks ESG/ESG Risk Rating tak hanya sebatas kewajiban, tapi juga bisa menjadi pemicu naik hingga ambrolnya harga saham.

Komunikasi tertulis dalam bentuk laporan aktivitas ESG menjadi persyaratan mutlak bagi para emiten yang harus disetorkan bundel-nya secara rutin kepada otoritas IDX (Indonesia Stock Exchange) atau Bursa Efek Indonesia (BEI).

Dari indeks dan laporan tersebut, maka akan tampak ukuran eksposur perusahaan terhadap risiko ESG yang riil sekaligus pada waktu bersamaan, terlihat seberapa baik perusahaan mengelola risiko tersebut.

Dengan merujuk faktor Enviroment, nilai tersebut mengukur bagaimana kinerja perusahaan yang mempertimbangkan dampak operasional bisnis terhadap lingkungan beroperasi serta bagaimana perusahaan dapat turut berperan serta dalam posisi sebagai penjaga lingkungan.

Untuk nilai Social, adalah ukuran kinerja sosial perusahaan yang mempertimbangkan hubungan dan reputasi perusahaan terhadap stakeholder-nya (masyarakat, komunitas, pemasok, konsumen, karyawan, dan pihak terkait dari perseroan).

Pada nilai Governance, merupakan ukuran kinerja perusahaan yang mempertimbangkan bagaimana perusahaan membangun kepemimpinan yang mampu menjalankan prinsip tata kelola yang baik, sehingga selaras dengan aneka regulasi yang menaunginya.

Selain tiga aspek ini, IDX juga memasukkan poin Tingkat Kontroversi pada indeks ESG, yakni identifikasi perusahaan terlibat dalam suatu kejadian yang dapat berdampak negatif pada pemangku kepentingan, lingkungan, atau operasi perusahaan.

Nilai/indeks ESG ini dikelompokkan lima kategori, yaitu Negligible, Low, Medium, High, dan Severe.

Severe artinya parah, indeks ESG di tiga sektor sangat buruk, sehingga riskan memicu sentimen negatif investor yang gilirannya bisa merontokkan harga saham perusahaan.

Setelahnya, High berarti beresiko tinggi, Medium (menengah), Low (resiko rendah), dan Neglible (tak berarti).

Negligible memiliki skor 0-10, Low (10-20), Medium (20-30), High (30-40), dan Severe (di atas 40).

Semakin rendah skornya, semakin rendah risiko keparahan ESG dari emiten tersebut.
ESG Risk Rating dinilai dan diklasifikasikan secara independen oleh IDX untuk menjadi pegangan para pihak di bursa saham.

Maka itu, dari satu poin penjelasan ini saja, komunikasi ESG jelas beda dengan komunikasi CSR, misalnya.

Sebab, tanggungjawab sosial perusahaan lebih dominan melaksanakan amanah berbagi ke sekitar sebagai mandatori Pasal 27 dari UU No 40/2007 tentang PT (Perseroan Terbatas).

Lebih menukik lagi, komunikasi CSR lebih dominan pada sisi Social saja, sehingga tidak ada ada kaitan langsung dengan performa dan penilaian perusahaan di bursa saham.

Kedua, komunikasi ESG mengakomodasi perubahan tren perilaku pelanggan yang lebih peduli pada keberlangsungan perusahaan, pengguna, hingga lingkungan.

Sederhananya, ini bisa kita ambil contoh, dengan aksi embargo produk asal China di Eropa, beberapa waktu lalu, imbas penggunaan bahan tidak ramah lingkungan serta sistem kontrak kerja tidak manusiawi.

Merujuk hal ini, simak paparan Dirut PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk Ririek Adriansyah dalam kegiatan tersebut, “Banyak pelanggan kita yang sudah mulai sadar juga. Apalagi pengguna data center, sudah mulai beberapa itu mensyaratkan ESG. Pemegang saham kita, terutama perusahaan asing juga sudah menuntut itu. Kita sudah mulai menggunakan clean energy, seperti bekerja sama dengan Medco Energy yang punya pasokan gas alam, juga penggunaan solar panel di beberapa lokasi operasional.”

Menurut dia, pihaknya pun sudah mulai berbicara dengan PLN dan Pertamina terkait data center. Sekiranya kedua BUMN tersebut mereka bisa menyuplai energi untuk operasional, Telkom memilih akan gunakan energi renewable.

Selain tuntutan ekonomi hijau dari kustomer, Indra Cahya, Senior Equity Research Analyst, Macquarie Sekuritas Indonesia, juga dalam acara sama menekankan tuntutan kontemporer pelanggan pada perusahaan teknologi adalah data privasi dan keamanan data, pengelolaan limbah produk akhir, persaingan kompetitif, manajemen risiko, hingga mitigasi gangguan teknologi.

Dengan pendekatan penggunaan keseharian itu, PR dengan komunikasi ESG-nya harus menjadi corong terdepan manakala ada isu dan krisis sensitif.

Semisal gangguan satelit pada tahun 2017 serta rumor Bjorka meretas data pelanggan pada 2022, yang bisa ditangani secara komunikasi sehingga selain menenangkan pelanggan, juga tetap mengatrol saham perusahan di lantai bursa.

https://money.kompas.com/read/2023/12/05/100000226/mengomunikasikan-esg

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke