Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengurai Polemik Kenaikan Pajak Hiburan

Polemik ini bermula dari amandemen tarif pajak hiburan dalam Undang-Undang (UU) No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Salah satu muatannya menetapkan batas tarif pajak hiburan tertentu paling rendah sebesar 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Namun, perlu ditegaskan bahwa perubahan tarif ini sebenarnya hanya berdampak pada lima jenis jasa hiburan saja, yaitu diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa.

Sebaliknya, sektor hiburan lainnya seperti wahana rekreasi dan penayangan film, justru mengalami penurunan tarif dari maksimal 35 persen menjadi 10 persen.

Lebih lanjut, penetapan batas tarif tertinggi sebesar 75 persen sebenarnya bukanlah isu baru. Sebelumnya, aturan tersebut sudah ada dalam UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Polemik timbul ketika UU HKPD akhirnya memutuskan untuk mengatur batas tarif terendah. Hal ini menjadi perhatian karena UU PDRD sebelumnya tidak pernah mencantumkan aturan mengenai batas tarif minimum.

Meskipun wewenang pemungutan dan pendapatan pajak hiburan berada di tangan pemerintah kabupaten dan kota, kehadiran UU HKPD menjadi landasan hukum yang mengikat bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pajak daerah setempat.

Penetapan batas tarif minimum mewajibkan pemerintah daerah untuk menetapkan tarif pajak hiburan tertentu minimal sebesar 40 persen. Dampaknya terlihat dalam lonjakan tarif yang terjadi di berbagai daerah, yang sebelumnya menerapkan tarif lebih rendah.

Sebagai contoh, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Kota Batam awalnya menetapkan tarif pajak hiburan tertentu sebesar 25 hingga 35 persen.

Meski bukan dikenakan langsung atas penghasilan pelaku usaha hiburan, kenaikan tarif ini akan meningkatkan harga yang harus dibayar konsumen. Hal ini akan tetap memberikan dampak yang signifikan bagi pelaku usaha.

Kenaikan harga ini berpotensi mengurangi minat konsumen pada sektor hiburan yang masih berangsur pulih setelah pandemi. Namun, mengapa polemik baru mencuat sekarang padahal UU HKPD telah disahkan sejak Januari 2022 silam?

Hal ini lantaran UU HKPD memberikan periode transisi selama 2 tahun bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikan kebijakan pajaknya. Pada 5 Januari 2024, seluruh daerah diharuskan sudah menerapkan aturan tersebut, baik dengan atau tanpa amandemen peraturan daerah.

Contohnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengesahkan Peraturan Daerah No. 1/2024 tentang PDRD tepat pada 5 Januari lalu. Isinya menetapkan tarif pajak 40 persen bagi hiburan jenis tertentu dan 10 persen bagi jenis hiburan lainnya, sesuai batas yang diatur UU HKPD.

Kenaikan tarif juga terjadi di kota-kota lain, seperti Batam dan Medan, yang masing-masing mengalami kenaikan sebesar 5 hingga 10 persen.

Kendati demikian, tidak semua pemerintah daerah sejalan dalam menetapkan aturan tarif pajak minimal 40 persen.

UU HKPD dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 35/2023 tentang Ketentuan Umum PDRD memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk memberlakukan insentif fiskal.

Salah satunya, Pemerintah Kota Denpasar mewujudkan insentif tersebut dengan menetapkan tarif sebesar 15 persen, di bawah batas yang diatur dalam UU HKPD.

Selain itu, pemerintah pusat saat ini juga tengah mempertimbangkan insentif berupa diskon pajak penghasilan badan sebesar 10 persen bagi bisnis hiburan yang terdampak.

Namun, rancangan kebijakan ini mungkin merugikan pengusaha perseorangan yang tidak dapat memanfaatkan insentif tersebut meskipun ikut terdampak.

Kenaikan tarif pajak hiburan tertentu sejatinya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan daerah dengan berfokus pada jasa nonesensial yang hanya dikonsumsi segmen masyarakat tertentu.

Namun, pada praktiknya, kebijakan ini justru menuai keberatan tidak hanya dari pelaku usaha, tetapi juga sejumlah pemerintah daerah.

Polemik ini menjadi pelajaran penting, penyusunan kebijakan tidak bisa semata-mata didasarkan pada asumsi dan kerangka teoritis saja.

Diperlukan pemahaman mendalam tentang dinamika dan realitas di lapangan, serta keterlibatan semua pihak terkait, termasuk pelaku usaha dan pemerintah daerah dalam proses perumusan kebijakan.

Terutama ketika kebijakan tersebut berkaitan dengan perpajakan yang bersifat sensitif dan berdampak langsung pada hajat hidup orang banyak.

https://money.kompas.com/read/2024/01/29/070000626/mengurai-polemik-kenaikan-pajak-hiburan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke