Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Teknologi Kereta Api, Ubah Perilaku Masyarakat

Contoh akibat buruknya terjadi pada kecelakaan Cicalengka beberapa waktu lalu, sementara di banyak jaringan KA sudah menggunakan sistem persinyalan elektrik yang lebih maju sedikit, pada jalur ganda.

Di saat sama perubahan terjadi menyangkut perilaku penumpang KA dengan tumbuhnya dislipin mereka, baik di stasiun maupun di dalam kereta.

Penerapan standar pelayanan minimum (SPM) dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) mempercepat transformasi perilaku penumpang.

Dari pantauan di stasiun-stasiun sekitaran Jabodetabek, arus penumpang masuk-keluar stasiun atau kereta tidak lagi semrawut seperti yang hingga kini terjadi di terminal-terminal bus.

Tertib, tanpa serobotan dan nyaris tidak ada penumpang tanpa tiket di stasiun dan kereta, diawali kewajiban tap kartu elektronik.

Kereta dan stasiun bersih, di mana-mana ada petugas yang siap membantu, kamar kecil kering dan wangi, kios-kios aneka jualan tampil kecil, sempit namun memadai. Tak ada yang merokok atau membuang sampah sembarangan, karena petugas selalu siap menegur dengan sopan.

Petugas lapangan yang dibayar cukup, standar upah minimum plus-plus, mampu membuat suasana stasiun dan kereta mirip di mal yang pengunjungnya golongan menengah-atas.

Padahal penumpang KRL (kereta rel listrik) yang dikelola PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), misalnya, adalah golongan menengah ke paling bawah.

Jarang terlihat orang berlari tergesa-gesa, tak ada penyerobot antrean. Orang mulai merencanakan perjalanan, kapan masuk stasiun untuk naik KA ke tujuan karena jadwalnya jelas dan tepat waktu.

Mushalla tersedia di tiap tempat, selalu penuh usai adzan atau saat-saat umat melaksanakan shalat sunnah.

Sepuluh tahun terakhir, DJKA melakukan revitalisasi 110 stasiun, tidak hanya di Jabodetabek. Untuk diketahui, pembangunan jalan rel dan stasiun menjadi tugas DJKA, penggunanya ada 9 operator, antara lain PT KAI dan PT KCI, MRT, ada juga PT KCIC (KA Cepat Indonesia – China) yang mengelola KA Super Cepat Whoosh.

Flash butt

Teknologi maju perkeretaapian dimulai dengan modernisasi cara penyambungan rel yang berefek pada peningkatan kecepatan kereta api (KA). Rel yang mulus membuat kereta bisa melaju cepat lebih dari 350 km/jam, rel yang buruk menahan lajunya.

Penggunaan rel mulus belum diterapkan di jalur-jalur KA milik PT KAI (Kereta Api Indonesia) di Jawa dan Sumatera.

Selain digunakan KA cepat Whoosh Jakarta – Bandung sepanjang 144 km, baru sebagian jalur KA antara Makassar – Parepare sepanjang 100 km dan LRT (lite rail transit) Jadebek sepanjang 60 km yang memakai rel mulus.

KA “bendera” kelas Argo, maksimal baru bisa melaju hingga 120 km/jam dengan rata-rata 90 km/jam. Kecepatan tinggi KA bukan hanya ditentukan kuatnya lokomotif, namun juga jenis bogie (perangkai roda) yang digunakan dan rel yang mulus.

Rel untuk kecepatan tinggi haruslah yang tebal dan berat, halus sambungannya. Sambungan rel benjol – walau setebal kuku – akibat pengelasan kurang cermat dapat mengguncangkan KA ke kanan-kiri.

Indonesia sudah mulai menggunakan teknologi penyambungan rel flashbutt welding, menyambungkan dua rel dengan cara dilas listrik ujung-ujungnya, menjadikannya tampak seolah tanpa sambungan.

Beda dengan cara thermite welding yang dilakukan manual dengan membakar kedua ujung rel dan disambungkan sambil ditekan ketika keduanya sudah membara merah.

Untuk KA yang berteknologi maju seperti Whoosh, rel disambung-sambung di pabrik sampai 600-an meter, baru dibawa ke lapangan untuk dipasang.

Bagi rel-rel yang sudah dioperasikan, penyambungan dilakukan di tempat, dan untuk itu tersedia mesin penyambung rel.

Rel yang akan disambung tadi ditempelkan dengan akurasi tinggi, ditekan dari kedua ujungnya lalu dialiri listrik berkekuatan 600 ampere yang menghasilkan panas sekitar 800 sampai 900 derajat celcius.

Ujung-ujung rel membara, meleleh, dan menyatu, kemudian digerinda untuk menghaluskannya, dan itu hanya memakan waktu 10 sampai 30 menit.

Menuju 160 km/jam

Sebenarnya KA konvensional kita bisa melaju hingga 120 km/jam. Kendala sosial berupa banyaknya persilangan sebidang liar tanpa penjaga yang membuat masinis terpaksa menahan kecepatan KA.

Orang banyak tidak paham, rangkaian kereta bermassa besar dan berat – ratusan kali berat mobil pribadi – tidak bisa segera berhenti begitu tuas rem ditarik. KA berkecepatan 90 km/jam perlu jarak 400 meter untuk berhenti.

Jumlah persilangan liar pun terus bertambah sesuai perkembangan permukiman sekitarnya dengan risiko makin banyak kecelakaan maut.

Ditjen KA merencanakan, kecepatan maksimal KA akan ditingkatkan dari 120 km/jam menjadi 160 km/jam. Syaratnya, kondisi rel harus mulus, dilakukan penggantian bogie (perangkai roda kereta), dan tiadanya perlintasan liar atau perlintasan sebidang.

Jika itu pun terlaksana, masih jauh dari kecepatan puncak KA Whoosh yang jadi tonggak kemajuan teknologi di perkeretaapian kita.

Whoosh akan diperpanjang dari Bandung hingga Yogyakarta, kemudian Surabaya dengan masa perjalanan sekitar 4 jam. Entah berapa biayanya.

Di China, layanan KA kecepatan tinggi sudah merata, panjangnya sekitar 40.000 km. Kecepatan KA mereka malah akan ditingkatkan menjadi 600 km/jam dan tidak sampai pindah dekade ini, kecepatan puncak akan menjadi sekitar 1.000 km/jam. Lebih cepat dari pesawat jet penumpang yang rata-rata 880 km/jam.

Pembangunan Whoosh kita, yang semula dirancang “hanya” Rp 86,67 triliun, membengkak menjadi Rp 112 triliun akibat adanya tambahan-tambahan biaya selama pembangunan (overrun).

Panjang jaringan Whoosh 144,1 km dengan 13 terowongan dari Stasiun Halim Jakarta Timur hingga Tegalluar, Bandung timur.

Sementara Bandung – Surabaya (lewat Yogyakarta) jaraknya sekitar 725 km.

https://money.kompas.com/read/2024/02/12/130028526/teknologi-kereta-api-ubah-perilaku-masyarakat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke