Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rupiah Sempat Hampir Sentuh Rp 16.000 Per Dollar AS, Apa Penyebabnya?

JAKARTA, KOMPAS.com - Nilai tukar rupiah pada hari ini, Senin (1/4/2024), sempat hampir menyentuh level Rp 16.000 per dollar AS, tepatnya Rp 15.926 per dollar AS. Namun demikian, kurs rupiah ditutup pada level Rp 15.899 per dollar AS.

Pergerakan rupiah dalam beberapa waktu terakhir diyakini banyak dipengaruhi aspek eksternal.

Menurut Chief Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede, ketidakpastian terkait arah suku bunga global meningkat pada beberapa minggu terakhir. Bank-bank sentral utama dunia cenderung divergent dalam menentukan arah kebijakan moneter.

Dia menjelaskan, Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Inggris (BoE) memberikan sinyal dovish, di mana pemotongan suku bunga acuan kemungkinan besar dapat terjadi lebih cepat pada tahun ini.

"Hal ini dipicu oleh proses disinflasi berlanjut dan kondisi ekonomi kawasan Eropa dan Inggris Raya yang sudah mencatatkan technical recession atau kontraksi ekonomi dalam dua kuartal berurutan," kata Josua ketika dihubungi Kompas.com, Senin. 

Sementara itu, Swiss National Bank (SNB) menjadi bank sentral utama dunia yang pertama kali melakukan pemangkasan suku bunga acuan pada tahun ini, sejalan dengan tingkat inflasinya yang secara konsisten sudah berada di bawah target sasarannya.

Berbeda dengan kebanyakan bank sentral, bank sentral Jepang atau Bank of Japan (BoJ) malah memutuskan untuk keluar dari zona suku bunga acuan negatif dengan menaikkan suku bunga jangka pendeknya.

"Hal ini dilakukan karena inflasi Jepang yang terus berada di atas target dan adanya risiko inflasi ke depan dari kenaikan gaji tertinggi dalam tiga dekade terakhir," ungkap Josua.

Meski demikian, BoJ tetap akan akomodatif dalam menjaga suku bunga jangka panjangnya walau menghilangkan kebijakan Yield Curve Control (YCC), dengan tetap mempertahankan jumlah pembelian Japanese Government Bond (JGB) dan akan menambah jumlah pembelian jika yield dirasa naik terlalu tinggi.

Sementara itu, bank sentral AS Federal Reserve atau The Fed pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) terakhir justru merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi inti Amerika Serikat untuk tahun ini. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat masih relatif solid dan resilient.

Perkembangan kondisi ekonomi Amerika Serikat terkini pun menunjukkan bawah pasar tenaga kerja masih relatif ketat dan proses disinflasi mulai menunjukkan perlambatan. Walau begitu, the Fed tetap memberikan sinyal bahwa pemotongan suku bunga acuan tetap terbuka pada tahun ini meski menyatakan tidak akan terburu-buru dalam melakukannya.

The Fed kembali menegaskan bahwa keputusan moneternya ke depan akan tetap berdasarkan perkembangan indikator ekonomi terkini.

Menurut Josua, perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung divergent tersebut membuat sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali meningkat.

"Hal ini terlihat terutama pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year to date. Banyak investor dan traders cenderung kembali memindahkan portofolionya ke safe-haven assets sehingga memicu capital outflow dari pasar keuangan negara berkembang dan mendorong pelemahan mata uang Asia termasuk rupiah," papar Josua.

Di sisi lain, Indonesia juga harus dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.

Data terakhir menunjukkan bahwa surplus neraca dagang Indonesia terus menyusut, sejalan dengan berlanjutnya normalisasi harga komoditas dan kondisi ekonomi China, mitra dagang utama Indonesia, yang cenderung terus melemah. Hal ini meningkatkan risiko pelebaran defisit pada neraca transaksi berjalan pada tahun ini.

"Dari sisi fiskal, terjadi ketidakpastian terkait dengan program-program pemerintahan ke depannya yang mana banyak pihak menilai cukup agresif sehingga dapat mendorong peningkatan belanja negara cukup signifikan," terang Josua.

Di sisi lain, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas. Data terkini menunjukkan bahwa APBN masih mencatatkan surplus, namun jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus cenderung menurun.

"Hal ini memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. Tercatat bahwa kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun dari awal tahun," sebut Josua.

Tantangan-tantangan tersebut, baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun domestik, akan mempengaruhi keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menentukan timing dan besar pemotongan BI-rate ke depan.

Dalam jangka pendek, ditambah dengan risiko inflasi yang meningkat terutama dari sisi harga pangan, akan membuat Bank Indonesia cenderung akan mempertahankan BI-rate pada level saat ini dengan ruang pemotongan kemungkinan terjadi pada paruh kedua tahun ini.

"Lebih lanjut, Bank Indonesia pun sudah dan akan terus melakukan langkah-langkah stabilisasi seperti triple intervention di pasar spot USD/IDR, pasar DNDF dan pasar obligasi," ungkap Josua.

Selain itu, BI akan mengoptimalkan penguatan strategi operasi moneter yang pro-market untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).

"Dengan berbagai langkah stabilisasi tersebut, dalam jangka pendek ini rupiah diperkirakan akan cenderung stabil di kisaran Rp 15.900-an," terang Josua.

https://money.kompas.com/read/2024/04/01/190509526/rupiah-sempat-hampir-sentuh-rp-16000-per-dollar-as-apa-penyebabnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke