Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pajak Inflasi dalam Kolapsnya Mata Uang Zimbabwe

Sebelum menjadi salah satu negara termiskin di dunia, Zimbabwe sebenarnya pernah menikmati kemakmuran ekonomi di masa awal kemerdekaan pada 1980 silam.

Produksi gandum dan tembakau yang melimpah membuat ekonomi Zimbabwe kala itu tumbuh paling kuat di kawasan Afrika.

Namun, mulai 1990, praktik korupsi di pemerintahan yang kian agresif justru membalikkan keadaan. Ditambah keterlibatannya dalam Perang Afrika dan kebijakan anti-warga keturunan Eropa, ekonomi Zimbabwe pun jatuh ke dalam krisis yang berlangsung hingga kini.

Bertahun-tahun hiperinflasi telah membuat sektor keuangan di Zimbabwe kolaps hingga tingkat kemiskinan dan pengangguran pernah menembus angka 70 persen.

Namun, yang paling menuai perhatian internasional adalah ketika dollar Zimbabwe menjadi satu-satunya mata uang di dunia yang memiliki pecahan hingga triliunan dalam satu lembar.

Ketika hiperinflasi memuncak di 2008, harga komoditas di Zimbabwe naik hingga 79.600 kali lipat. Dollar Zimbabwe menjadi tidak bernilai sama sekali hingga bank sentralnya harus menerbitkan uang kertas hingga nominal 100 triliun dollar per lembar.

Namun, Zimbabwe bukan satu-satunya negara yang pernah diterjang hiperinflasi.

Jerman dan Hungaria juga pernah mengalami krisis inflasi setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia. Di dunia modern, Argentina dan Venezuela juga saat ini tengah menghadapi kemelut hiperinflasi.

Namun, dari seluruh kasus tersebut, ada kesamaan penyebabnya. Pencetakan uang baru secara agresif oleh pemerintah menimbulkan pajak inflasi yang tinggi bagi perekonomian.

Pajak inflasi merupakan istilah ekonomi yang merujuk pada turunnya nilai uang di masyarakat akibat bertambahnya jumlah uang beredar dari adanya uang baru yang dicetak oleh pemerintah.

Pajak inflasi tidak seperti pajak pada umumnya yang langsung dipungut dari penghasilan dan konsumsi masyarakat. Efek pajak inflasi bersifat senyap yang dampaknya dirasakan secara tidak langsung oleh masyarakat lewat naiknya harga-harga barang.

Salah satu prinsip fundamental yang mendasari bidang ekonomi adalah bahwa ketika jumlah suatu komoditas semakin banyak, maka komoditas tersebut akan semakin tidak bernilai. Sebaliknya, komoditas yang jumlahnya sedikit dan langka akan memiliki nilai yang tinggi.

Prinsip tersebut sejatinya juga berlaku atas nilai mata uang. Ketika jumlah uang yang beredar di perekonomian terlalu banyak, nilai uang pun akan berkurang. Akibatnya, harga-harga barang menjadi lebih mahal.

Garis besarnya: peningkatan uang beredar juga meningkatkan laju inflasi.

Namun, adanya konsep ini tidak lantas berarti pencetakan uang baru sebaiknya tidak dilakukan. Ada berbagai tujuan mengapa bank sentral mencetak uang dan mengedarkannya dalam perekonomian.

Dalam praktik moneter yang lazim dilakukan di banyak negara, pencetakan uang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan uang fisik di masyarakat dan sebagai bagian dari kebijakan moneter yang mengatur laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Ini menjadi salah satu alasan positif mengapa bank sentral melakukan pencetakan uang.

Yang menjadi tidak dapat dibenarkan adalah ketika pencetakan uang justru dilakukan untuk menjadi penopang utama belanja pemerintah. Padahal, fungsi tersebut harusnya dijalankan oleh penerimaan pajak, pendapatan bukan pajak dari pemanfaatan sumber daya alam, atau bentuk pembiayaan anggaran lainnya.

Inilah yang terjadi dalam kasus Zimbabwe, Venezuela, dan Argentina, yang kini mengalami hiperinflasi karena pencetakan uang baru justru dilakukan secara tidak terkendali oleh pemerintah untuk mendanai anggaran.

Ketika bank sentral mencetak uang baru dan mengedarkannya, pemerintah sebenarnya memperoleh keuntungan dari selisih antara nilai nominal uang yang dicetak dengan biaya untuk mencetaknya. Dalam disiplin ekonomi, keuntungan ini dikenal sebagai seigniorage.

Sebagai contoh, di Amerika Serikat, pencetakan selembar uang satu dollar hanya membutuhkan biaya sekitar 5 sen. Artinya, ada keuntungan pemerintah sebesar 95 persen dari setiap lembar dolar yang dicetak.

Sementara itu, Bank Indonesia sepanjang 2022 juga mencetak uang senilai Rp 1.431 triliun dengan biaya cetak dan distribusi sebesar Rp 4 triliun. Terdapat selisih yang besar antara nominal uang dan biaya mencetaknya.

Meski demikian, aktivitas pencetakan uang oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed, dan Bank Indonesia dapat dibenarkan karena memang bukan ditujukan untuk menjadi penopang utama anggaran pemerintah.

Di Amerika Serikat, keuntungan cetak uang hanya sebesar 430 juta dollar atau tidak lebih dari 0,01 persen total pendapatan negara sepanjang 2023 sebesar 4,4 triliun dollar AS.

Sama halnya dengan pencetakan uang oleh Bank Indonesia yang diimbangi dengan penarikan uang tidak layak edar dan siklus kebijakan moneter, sehingga jumlah uang kertas dan logam yang beredar sepanjang 2022 hanya meningkat Rp 66 triliun.

Namun, di Zimbabwe pada awal tahun 2000-an, pencetakan uang secara berlebihan dilakukan pemerintah untuk mendanai masifnya belanja militer akibat terlibat dalam Perang Besar Afrika.

Parahnya lagi, uang yang dicetak juga digunakan untuk kebutuhan pribadi pejabat pemerintah, membuat Zimbabwe menjadi negara ke-32 terkorup di dunia menurut Transparency International pada 2023.

Hal yang sama juga terjadi di Venezuela. Ketika harga minyak dunia jatuh sejak 2013, industri migas yang menjadi sumber utama pendapatan pemerintah ikut kolaps.

Untuk mengisi kekosongan anggaran, pemerintah Venezuela yang dipimpin oleh diktator baru, Nicolas Maduro, justru memilih jalan pintas dengan mencetak uang dibanding mencari penerimaan pajak dan pembiayaan utang.

Kemudian, di Argentina, kebiasaan pemerintah yang terus mencetak uang untuk mendanai belanja yang berlebihan juga memicu kolapsnya nilai mata uang peso.

Sejak merdeka pada 1916, Argentina telah pailit sebanyak sembilan kali hingga harga barang bisa naik mencapai 50 kali lipat.

Ketika bank sentral mencetak uang secara berlebihan, hasil akhirnya hampir pasti selalu sama. Sistem moneter akan kolaps bersama dengan perekonomiannya. Akhirnya, masyarakat yang harus selalu menanggung akibatnya melalui pajak inflasi ketika harga-harga mulai naik tajam.

Pajak inflasi menjadi konsep yang penting dipahami masyarakat karena berdampak pada nilai uang yang dimiliki. Sayangnya, bagi banyak orang, pajak inflasi justru menjadi konsep yang hampir tidak pernah didengar.

Di banyak negara yang sistem keuangannya lebih kuat, seperti Amerika Serikat, banyak warganya memiliki pemahaman keuangan yang memadai.

Oleh karena itu, keputusan yang dibuat bank sentral The Fed senantiasa menjadi berita yang diperhatikan oleh banyak orang di sana.

Namun, hal yang sama tidak terjadi di negara-negara yang literasi keuangannya masih rendah. Keputusan moneter yang diambil bank sentral, seperti perubahan suku bunga dan operasi pasar terbuka, sering menjadi kebijakan yang diabaikan oleh masyarakat dan jarang menuai sorotan.

Padahal, kebijakan moneter, sama halnya dengan kebijakan pajak, akan memengaruhi nilai penghasilan dan pengeluaran yang diperoleh masyarakat. Ini yang menjadi dasar dari pentingnya memahami konsep pajak inflasi.

Banyak masyarakat belum memahami bahwa mencetak uang secara berlebihan untuk mendanai kebutuhan pemerintah bukan merupakan praktik moneter yang lazim dilakukan untuk menjaga keberlanjutan.

Ini juga menjadi jawaban mengapa pemerintah tidak dapat begitu saja mencetak uang untuk membayar utang, mengatasi kemiskinan, dan mendanai program pembangunan.

Zimbabwe menjadi sebuah pelajaran penting, di mana masyarakat dan pemerintah saat ini yang harus menanggung krisis akibat kebijakan moneter destruktif yang terus berulang dari dua dekade lalu.

Banyak cara sebenarnya sudah diupayakan pemerintah Zimbabwe untuk keluar dari kemelut krisis tersebut.

Baru-baru ini, pada April 2024, Zimbabwe resmi menjadi satu-satunya negara yang menerapkan standar emas setelah bank sentralnya menerapkan mata uang baru berbasis emas. Dukungan emas ini ditujukan agar nilai mata uangnya tidak jatuh kembali.

Namun, untuk mengatasi hiperinflasi, yang sebenarnya dibutuhkan Zimbabwe adalah reformasi menyeluruh atas institusi moneter dan pemerintah.

Selama pemerintah Zimbabwe masih mencetak uang secara berlebihan, mata uang baru tersebut akan kembali kolaps meskipun didukung oleh cadangan emas.

Pada akhirnya, masyarakat yang harus kembali menanggung akibatnya lewat pajak inflasi.

https://money.kompas.com/read/2024/05/13/083904226/pajak-inflasi-dalam-kolapsnya-mata-uang-zimbabwe

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke