Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Obligasi Alternatif Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan

SDGs berperan sebagai kerangka utama dalam pembangunan global dan perkembangannya terus dipantau secara berkala.

Salah satu tantangan utama dalam pencapaian SDGs adalah kebutuhan pembiayaan yang signifikan.

Menurut “2024 Financing for Sustainable Development Report: Financing for Development at a Crossroads (FSDR 2024)”, yang mengkutip OECD, diperkirakan bahwa 2,5 triliun dollar AS per tahun diperlukan untuk memenuhi target-target SDGs.

Namun, dampak pandemi COVID-19 telah meningkatkan kebutuhan tersebut menjadi 4,2 triliun dollar AS per tahun.

Di Indonesia, pascapandemi COVID-19, kebutuhan dana untuk mencapai SDGs hingga tahun 2030 diperkirakan mencapai Rp 122.000 triliun, dengan defisit pembiayaan yang mencapai Rp 24.000 triliun.

Angka ini meningkat pesan dibandingkan sebelum pandemi, yang diperkirakan butuh Rp 66.000 triliun dan defisit pembiayaan sebesar Rp 14.000 triliun.

Situasi ini menunjukkan perlunya strategi pembiayaan yang inovatif dan kolaborasi antarsektor untuk mengatasi kesenjangan tersebut.

Obligasi SDG

Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengeluarkan obligasi SDG, yang dikenal sebagai SDG Bond, dengan nilai 500 juta Euro pada September 2021.

Menurut "SDG Bond Allocation and Impact Report 2022", obligasi ini memiliki tenor 12 tahun dengan kupon tahunan sebesar 1,3 persen dan yield sebesar 1,35 persen.

Berdasarkan laporan tersebut, dana yang diperoleh dari investor telah digunakan untuk membiayai tiga jenis kegiatan utama.

Pertama, pembiayaan imunisasi dasar meliputi MR, DPT-HB-Hib, BCG, dan polio untuk 30 juta balita, khususnya dari keluarga rentan terhadap penyakit menular.

Kedua, pendanaan untuk Program Indonesia Pintar (PIP) di Madrasah Ibtidaiyah yang dikelola oleh Kementerian Agama, serta Kegiatan Belajar (Kejar) Paket A yang dikelola oleh Kemendikbudristekdikti.

Lebih dari 11 juta siswa mendapat manfaat dari program ini, termasuk lebih dari 28.000 siswa penyandang disabilitas dan lebih dari 9.000 siswa di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Ketiga, pembangunan menara base transceiver station (BTS) untuk meningkatkan akses komunikasi di wilayah 3T, dengan skema kerja sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Lebih dari 2,100 BTS telah dibangun di enam provinsi, di mana 96 persen di antaranya terletak di Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.

Dari seluruh dana yang diterima, Kejar Paket A menyerap hampir separuh dari dana tersebut. Sementara itu, pembangunan menara BTS menyerap lebih dari sepertiga dari dana SDG Bond.

Indonesia layak mendapat apresiasi sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang mengeluarkan SDG Bond, menunjukkan pendekatan pembiayaan inovatif untuk mengatasi kesenjangan finansial dalam mencapai SDG di Indonesia.

Berdasarkan ‘SDG Bond Allocation and Impact Report 2023’, Indonesia menerbitkan SDG Bond senilai 210 juta dollar AS atau Rp 3,26 triliun sebanyak dua kali pada tahun 2022.

Semua obligasi tersebut memiliki tenor 8 tahun, dengan kupon tahunan sebesar 7,38 persen dan yield antara 7,2 – 7,5 persen.

Dana yang diperoleh digunakan untuk pembiayaan berbagai kegiatan, termasuk: (1) biofortifikasi untuk meningkatkan kandungan nutrisi dalam benih padi, (2) Program Indonesia Pintar (PIP) untuk Madrasah Ibtidaiyah, (3) pendidikan dan pelatihan vokasi di bidang maritim dan perikanan, (4) Program Keluarga Harapan (PKH), (5) program rehabilitasi sosial untuk anak-anak, dan (6) Program Tenaga Kerja Mandiri (TKM).

Green Sukuk dan skema pembiayaan lainnya

Selain SDG Bond, Indonesia juga telah menerbitkan Green Sukuk senilai 1,25 miliar dollar AS pada 2018. Dana tersebut dialokasikan ke proyek-proyek ramah lingkungan yang sesuai dengan Kerangka Hijau (Green Framework) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Meskipun tidak secara eksplisit menggunakan label SDG Bond, inisiatif seperti ini dapat dianggap sebagai solusi pembiayaan untuk SDG.

Dari tahun 2018 hingga 2023, tercatat bahwa Green Sukuk global yang telah diterbitkan bernilai 6,9 miliar dollar AS melalui 10 penerbitan.

Dari total sukuk yang diterbitkan, 5 miliar dollar AS merupakan sukuk global, 1,5 miliar dollar AS berkategori ritel (retail), dan 0,5 miliar dollar AS adalah sukuk berbasis proyek (project-based sukuk).

Dari total pendanaan yang diterima, lebih dari 85 persen disalurkan ke tiga sektor utama: transportasi berkelanjutan (sustainable transport), ketahanan terhadap perubahan iklim (resilience to climate change), dan manajemen air dan pengelolaan air limbah yang berkelanjutan (sustainable water and wastewater management).

Sementara sisanya didistribusikan ke beberapa sektor lain, termasuk energi terbarukan (renewable energy), konversi energi dan manajemen sampah (waste to energy and waste management), bangunan hijau (green building), dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan (sustainable management of natural resources).

Mengutip kembali dari laporan FSDR 2024, defisit pembiayaan menjadi masalah utama yang harus diperhatikan oleh semua negara untuk mencapai SDG sesuai target, terutama dalam menghadapi tren global yang tidak biasa saat ini.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa diskusi mengenai sustainable finance mengalami peningkatan.

Dalam konteks Asia Tenggara, di mana saya pernah bekerja selama hampir empat tahun di ASEAN Secretariat, dua topik yang menjadi fokus utama adalah transformasi digital dan sustainable economic development.

Terkait dengan sustainable finance, ASEAN Taxonomy Board telah menerbitkan setidaknya tiga edisi dari ‘ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance’, yaitu pada November 2021 (Versi 1), Maret 2023 (Versi 2), dan Desember 2023 (Versi 3).

Secara singkat, dokumen tersebut dirancang sebagai kerangka kerja yang seragam untuk standarisasi praktik sustainable finance di ASEAN, meskipun mereka memiliki sistem ekonomi dan kebijakan yang beragam.

Dokumen ini mendukung pencapaian tujuan utama seperti adaptasi iklim, perlindungan ekosistem, dan ketahanan sumber daya, untuk mendukung upaya perbaikan untuk transisi berkelanjutan.

Terakhir, Indonesia perlu terus menjadi pelopor dalam memperluas skema keuangan berkelanjutan untuk mendorong pencapaian SDG.

Seperti yang telah saya tegaskan sebelumnya, skema ini tidak harus selalu menggunakan label SDG. Namun, label lain seperti ekonomi hijau (green economy), ekonomi biru (blue economy), dan ekonomi inklusif, yang saat ini menarik perhatian publik, juga penting.

https://money.kompas.com/read/2024/05/22/100840126/obligasi-alternatif-pembiayaan-pembangunan-berkelanjutan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke